abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Selasa, 26 Agustus 2008

Tak Cukup dengan Kegiatan Karitatif

Diposting oleh abrar aziz



Menguatkan identitas keagamaan dan semangat intoleransi memperlemah integrasi sosial komunitas lintas agama.


Meski kekerasan-kekerasan sosial maupun komunal di beberapa daerah seperti Aceh, Maluku, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat telah mereda. Namun, konflik kekerasan komunal mulai muncul di daerah-daerah yang sebelumnya dikenal relatif damai. Bentuknya pun beragam, dari sekadar ancaman, pemukulan, hingga pengrusakan sarana ibadah dan simbol-simbol keagamaan lainnya serta perlakuan diskriminatif baik oleh aparat negara maupun kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas.



Fakta-fakta di atas terekam dalam Focus Groups Discussion (FGD) yang dihelat Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20-21 Agustus lalu.


FGD yang mengangkat topik “Revitalisasi Kelompok Moderat: Memperkuat Integrasi Sosial Komunitas Lintas Agama” ini diikuti 23 peserta dari 7 komunitas agama dan penghayat kepercayaan, yakni Buddha, Hindu, Protestan, Katolik, Penghayat Kepercayaan, Khonghucu, dan Islam.


Diskriminasi dan sikap intoleran yang kerap terjadi di beberapa wilayah di tanah air ini biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang dianggap keluar dari mainstream dan oleh aparat negara kepada warganya. Sikap intoleran ini kadangkala dilegitimasi oleh elite keagamaan, atas nama kesucian doktrin agama dan ‘kebenaran’ yang dianut kelompok maenstream.


Aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat merupakan contoh konkret diskriminasi agama yang dilakukan kelompok mayoritas atas kelompok minoritas. Sedang perlakuan diskriminatif oleh aparat negara kepada warganya juga terjadi di beberapa daerah di tanah air.


“Saya masih kesulitan menyantumkan identitas agama Khonghucu di KTP dan KK saya sendiri,” tutur Suryani yang tinggal di Pamulang, Banten ini. Tak hanya itu, petugas Kelurahan pun mengintimidasinya dengan mengatakan dirinya tidak tahu diri.


Setali tiga uang, putri Suryani yang masuk sekolah di SMP Negeri di Pamulang pun mendapat perlakuan yang sama. Saat gurunya menanyakan apa agamanya, dan dijawab Khonghucu, guru tersebut menukasnya dengan berkata: “Khongucu?” Guru pun melanjutkan dengan pertanyaan lanjutan: siapa nabinya, apa kitab sucinya, dst. “Pertanyaan-pertanyaan itu seolah hendak memberitahukan ke siswa-siswa lain apa betul Khonghucu itu agama atau bukan,” kata Suryani yang mengaku anaknya sangat stress pasca ‘intrograsi’ di sekolah itu.


Soal sulitnya mendapatkan ijin pendirian rumah ibadah seperti gereja juga mengemuka dalam forum itu. Termasuk juga pengrusakan gereja dan mesjid milik Jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah. “Ini menunjukkan bahwa persoalan tak hanya dalam konteks antaragama, tetapi juga intra agama,” tukas salah seorang peserta Muslim.


Sulitnya mendirikan rumah ibadah seperti gereja dan vihara ditengarai karena tidak adanya komunikasi dan interaksi antar pemuka agama dan antar masyarakat di satu tempat yang berbeda, sehinga, ketika satu kelompok hendak mendirikan rumah ibadah, kelompok lain yang berbeda agama langsung menolak.


Komunikasi dan interaksi itu pun sebetulnya dapat dilakukan dalam beragamam bentuk. “Agar rencana pendirian Vihara di Aceh bisa terwujud, kami berbaur dulu dengan masyarakat di sana. Dalam peringatan 17 Agustus kemarin misalnya, kami turut berbagai lomba Agustusan seperti panjat pinang dan sebagainya,” ujar Renny Turangga, aktivis Buddha Dharma Indonesia. “Masyarakat di sana heran, koq ada orang Tionghoa yang mau main panjat pinang,” imbuh Renny menirukan komentar masyarakat Aceh.


Pernyataan Renny diamini oleh Yosep Setiawan. Pengajar agama Buddha di kawasan Cina Benteng, Tangerang ini menuturkan bahwa orang-orang Tionghowa sudah lama berbaur dengan masyarakat pribumi asli. “Kami di Tangerang ini sudah sejak ratusan tahun yang lalu. Suku-suku lain seperti Batak, Jawa, atau Padang lah yang merupakan pendatang di Tangerang, bukan kami yang Tonghoa,” tandasnya.


“Justru para pendatang inilah yang kerap membuat masalah di Tangerang. Misalnya, begitu berdiri rumah Padang di satu tempat, langsung disampingnya didirikan Warteg oleh orang Tegal. Kemudian muncullah persoalan,” imbuh pemuda yang mengaku lebih pribumi ketimbang pribumi asli.


Ia juga tak menampik bahwa Kristenisasi itu memang ada. Pengalaman dia menunjukkan hal itu. Pernah ia dibujuk oleh seseorang untuk masuk Kristen. Menurut seseorang yang dulunya Buddha itu, dari segi nama, Yosep sudah mirip orang Kristen. “Tetapi saya menolak tegas bujuk rayu itu. Tidak tahu apa kalau saya ini guru agama Buddha,” kata dia sambil tertawa.


Berbagai kebijakan pemerintah menurut sebagian peserta juga dinilai bermasalah. Alih-alih dapat memperkuat integritas sosial, yang ada justru merusak tatanan dan kerukunan antar masyarakat yang plural ini. Keberadaan Bakor Pakem Kejaksaan Agung yang dapat menilai sesat tidaknya suatu agama atau aliran agama adalah salah satunya. Lembaga tersebut justru bertentang dengan semangat UUD 1945, terutama pasal 28 dan 29 yang mengatur soal kebebebasan beragama.


Majelis Ulama Indonesia (MUI) meskipun bukan lembaga pemerintah, tetapi karena kerap pemerintah mengamini fatwa-fatwa yang dikeluarkan organisasi Islam ini, turut memberikan andil terhadap disintegrasi sosial. Fatwa-fatwa MUI dinilai bertentangan dengan semangat kebhinekaan. Pengharaman terhadap paham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme adalah salah satunya,” ujar Abrar Azis dari Ikatan Remaja Mughammadiyah.


“Sekularisme, pluralisme, dan liberalisme itu kan pemikiran. Bagaimana mungin pikiran bisa dihakimi?” imbuh Azis mempertanyakan fatwa itu.


Selain itu, Tap Pres No. 1/1065 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No. 8 & 9/2006 yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah, dan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008/ No. 199 Tahun 2008 tentang peringatan terhadap penganut Ahmadiyah juga dinilai bermasalah karena bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 45.


Melihat fakta-fakta ini, peserta FGD sebetulnya memiliki harapan besar terhadap media massa. Peran media massa sebagai salah satu pilar demokrasi diharapkan mampu menjadi piranti integrasi sosial. Tetapi, yang kerap terjadi adalah karena medialah konflik sering terjadi.


“Media massa sering melakukan simplifikasi terhadap fakta-fakta di lapangan, sehingga fakta yang sesungguhnya kerap tidak terungkap,” tutur Trisno Suhito dari Himpinan Mahasiswa Islam MPO. Mantan wartawan di Banyuwangi ini menyontohkan, media mengatakan HMI dan HMI MPO telah berislah. Padahal menurut dia, tidak ada islah itu.


Peserta FGD juga kecewa terhadap media massa karena hanya mengangkat peristiwa-peristiwa kriminal atau kejadian buruk di masyarakat. Keterjebakan pada ‘idiologi’ bad news is good news masih belum bisa ditinggalkan, sehingga kegiatan-kegiatan seperti upaya-upaya perdamaian sering tidak terekam oleh media.


Terlepas dari itu semua, para pegiat lintas agama ini sudah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat integrasi sosial. Hanya saja, dinilai masih sebatas karitaif dan elitis. Misalnya dengan menggelar dialog antar agama, live in, youth camp, kunjungan ke rumah-rumah ibadah, dll.


“Belum ada kegiatan-kegiatan antarumat beragama yang berjalan permanen,” tandas Jesaya A. Wagimin dari WKPUB Jakarta Timur. Tapi, ia mengakui, baru pada tahap itulah yang sekarang ini bisa kita lakukan.


Tantangan-tantangan lain yang mengemuka adalah tiadanya ruang interaksi di antara masyarakat yang plural ini. Masyarakat urban seolah kehilangan tempat untuk saling bertemu, berinteraksi, dan kemudian saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Dari intereksi inilah diharapkan akan menepis prasangka atau kecirigaan yang masih ada di diri kita masing-masing.


Sayangnya, inisiator mewujudkan ruang interaksi itu juga masih langka. Ada pegiat lintas agama, tetapi dinilai masih terlalu karitatif dan kurang massif. Kelemahan lain adalah tiadanya komunikasi dan koordinasi antar pegiat lintas agama itu sendiri.Untuk itu, ke depan, para aktivis lintas agama ini, bertekad untuk merumuskan dan mengupayakan instrumen-instrumen yang memungkinkan antar kelompok masyarakat bisa saling bertemu, berinteraksi dan berbagi.


Harapan besarnya, moderasi beragama menjadi pilihan masyarakat Indonesia daripada beragama dengan menghalalkan kekerasan atau beriman dengan pedang yang memberikan rasa takut dan ketidaknyamanan pada yang lain. [ ] Ahmad Nurcholish

Rabu, 30 Juli 2008

Teologi Al Maun; Landasan Teologis Membela Kaum Tertindas

Diposting oleh abrar aziz

Harian Singgalang,
Jumat, 25 Juli 2008

Oleh Abrar Aziz

Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah 2006-2008, Direktur Qalam Institute for Education and Democracy

Sejarah umat manusia adalah sejarah penindasan dan perbudakan. Menurut Ali Syari`ati, simbol-simbol peradaban manusia sesungguhnya dibangun atas nyawa dan darah jutaan orang. Dibalik kemegahan Piramid, simbol peradaban Mesir kuno, tersimpan cerita memillukan tentang sebuah rezim penindasan dan perbudakan. Dibutuhkan 800 juta keping batu yang harus di bawa sejauh 980 km dari Aswan menuju Mesir hanya untuk membangun kuburan para terkutuk itu. Jutaan nyawa budak manusia adalah harga yang harus dibayar demi ambisi Fifaun, sang penindas.

Seiring perjalanan waktu, penindasan dan perbudakan terus bergulir dengan berbagai bentuknya. Hari ini kita tidak lagi melihat tragedi perbudakan untuk membangun kuburan. Namun dengan sangat jelas dapat dilihat bahwa proses penindasan masih terus terjadi dengan berbagai motif tapi dengan tujuan yang sama, yaitu memuaskan nafsu segelintir orang. Hari ini perbudakan terjadi dengan modus yang lebih halus. Atas nama perang terhadap teroris, ribuan tentara AS harus terbunuh atau membunuh orang yang tidak pernah mereka kenal di Irak dan Afghanistan. Bahkan penindasan bisa terjadi atas nama agama sekalipun.

Sebaliknya, jika sejarah manusia adalah sejarah penindasan, maka sejarah kenabian adalah sejarah pembebasan terhadap kaum tertindas (mustadh^afin). Kehadiran mereka di muka bumi bukanlah sekedar penyampai wahyu Tuhan, namun juga memimpin kaumnya dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan. Karena itu, tidak jarang mereka harus berhadapan dengan penguasa yang zhalim dan tiranik. Nabi Musa AS harus bersusah payah mengeluarkan kaumnya dari perbudakan Firaun. Nabi Isa AS harus menjadi buronan Raja Herodes karena terus-menerus menyuarakan perlawanan teradap penguasa zhalim itu. Dan Rasulullah SAW sendiri, harus rela meninggalkan kampung halamannya demi menyelamatkan kaumnya dari penindasan.

Sepanjang masa kenabiannya, Nabi Muhammad SAW telah berhasil membebaskan kaum lemah Arab, terutama dari kebodohan dan perbudakan. Posisi kaum perempuan yang sebelumnya sangat hina, bahkan bisa diwariskan dan diperjual belikan, diangkat menjadi makhluk yang mulia bahkan berhak atas harta warisan. Para budak yang biasanya diperlakukan sebagai barang dagangan diberikan kebebasan sebagai manusia merdeka yang memiliki hak yang sama dengan manusia lain, bahkan dengan nabi sekalipuin.

Orang musyrik Mekkah seringkali mencela Islam dengan mengatakan bahwa pengikut Muhammad hanyalah kaum miskin saja. Sementara kaum bangsawan dan pemuka suku Quraisy tidak besedia mengikuti seruan Islam. Hal yang sama terjadi pada nabi Nuh AS.

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. (QS Nuh 27)

Begitulah, kaum dhu’afa memang sangat dekat dengan para rasul, dan sebaliknya keberadaan mereka sangat dibenci dan dihina oleh kaum penguasa. Para penguasa lalim tersebut tentu saja tidak senang jika kelompok tertindas tersebut melakukan perlawanan terhadap kekuasaannya. Sehingga berbagai cara dilakukan agar perbudakan tetap terjadi sehingga kelompok tertindas tersebut tetap berada dalam kesulitan. Cerita tentang penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap para budak tentu sangat sering kita dengar dalam sejarah perjalanan nabi.

Membumikan Teologi al Ma’un

Dalam surat al Ma’un dijelaskan bahwa pengingkar Tuhan bisa datang dari orang yang beribadah namun tidak memiliki kepekaan sosial. Dalam tafsirnya, Al Maraghi mengatakan bahwa pengingkar Tuhan adalah orang yang rajin beribadah tetapi riya. Penanda keriyaan itu adalah ketidakpedulian kepada kaum mustadh’afin. Al Quran, melalui ay at ini, dan pada banyak ayat yang lain, menegaskan kritiknya kepada perilaku kapitalsitik.

Bahkan dengan sengat jelas Al Quran memberikan defenisi kebajikan (al birri). Menurut Al Quran, yang disebut kebaikan adalah keterpaduan antara keimanan (transendesi) dengan praksis gerakan (QS. Al Baqarah 177). Al Quran dengan tegas melakukan kritik terhadap praktek ritual yang individualistic Ritual ibadah menjadi tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan aksi nyata untuk kemanusiaan. Islam bukan hanya masalah kalkulasi dosa dan pahala. Islam juga bukan sekedar mengiming-imingi manusia dengan surga dan menakut-nakutinya dengan neraka. Lebih dari itu, Islam adalah ajaran rahmat bagi seluruh alam. Islam adalah cara Tuhan untuk melakukan transformasi dari zaman penindasan menuju zaman pembebasan. Dan umat Islam, dengan demikian, adalah agen yang diperintahkan Tuhan untuk membawa misi pembebasan tersebut.

Jika agama hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seseorang dan Tuhan-Nya, maka tidaklah berlebihan kiranya tuduhan bahwa agama hanyalah candu. Agama hanya membuat manusia “terlena” dengan kenikmatan ritual tanpa peduli dengan realitas disekelilingnya. Bagaimana mungkin di negara yang warganya mayoritas muslim ini ternyata budaya korupsi, suap dan free sex menjalar seperti jamur di musim hujan? Bagaimana mungkin angka kemiskinan terus meningkat ditengah makin bertambahnya jumlah jamaah haji dari Indonesia? Ini membuktikan bahwa kehidupan umat Islam ternyata masih jauh dari nilia-nilai lihur yang diperjuangkan para nabi, yaitu kemanusiaan.

Menurut Asghar Ali, konsep tauhid bukan sekedar bermakna keesaan Tuhan tapi juga bermakna kesatuan manusia. Tauhid adalah jalan untuk pembebasan kemanusiaan. Untuk itu, penanaman tauhid yang kokoh mestilah diikuti dengan komitmen kemanusiaan yang kokoh pula. Menurut Hasan Hanafi, pada dasamya Islam memiliki perangkat yang cukup untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan. Selama ini, kita sering menjadikan ritual-ritual sebagai tujuan. Padahal, ikrar kita bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti ikrar bahwa setiap penindasan harus dihancurkan. Karena penindasan adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Tuhan.

Dengan landasan teologis tersebut, maka setiap ritual ibadah haruslah memiliki misi kemanusiaan. Seperti shalat harus memilki fungsi sebagai yang mampu melepaskan manusia dari kemungkaran dan sifat kikir. Puasa harus mampu merasakan rasa lapar dan penderitaan orang lain. Sehingga ibadah puasa mampu meniadi motifasi dalam membela kaum tertindas. Terakhir, sebagai muslim, kita sepertinya perlu melakukan kaji ulang terhadap cara keberislaman kita. Misi pembebasan sebagaimana lerdapat dalam surat Al Ma’un haruslah menjadi semangat keberislaman. Islam harus benar-benar ditempatkan sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Islam bukan agama yang diciptakan untuk kepentingan Tuhan. Islam diciptakan bukan untuk meyenangkan Tuhan. Karena Tuhan tidak butuh apapun kecuali diri-Nya sendiri. Jadi Islam adalah agama manusia dan oleh karena itu umat Islam haruslah senantiasa komitmen memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.




Jumat, 30 Mei 2008

Kenaikan BBM, Kado Ulang Tahun Reformasi

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Jumat, 30 Mei 2008

Oleh : Abrar Aziz, Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah Periode 2006-2008, Direktur Qalam Institute for Education and Demokracy

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pada tahun 2005 pemerintahan SBY – JK memberikan kado istimewa atas setahun pemerintahannya kepada rakyat, yaitu kenaikkan harga BBM sebesar 126% hingga harga bensin premium mencapai angka Rp. 4.500,-. Pemerintah mengatakan bahwa mulai saat itu sudah tidak ada istilah subsidi lagi, karena harga BBM di dalam negeri sudah sama dengan harga minyak mentah yang setiap beberapa kali sehari ditentukan oleh New York Mercantile Exchange.

Memang betul, bahkan lebih tinggi sedikit, karena ketika itu harga minyak mentah US$ 60 per barrel.

Ketika harga minyak mentah menurun hingga 57 US$, harga BBM ternyata tidak ikut menurun. Dan sekarang, pemerintah memberikan kado istimewa lagi kepada rakyat atas sepuluh tahun reformasi, yaitu kenaikan harga BMM 28,7% yang menyebebkan harga bensin premium melonjak hingga Rp. 6000,-. Alasan pemerintah tentu saja sudah bisa kita tebak, yaitu terus melejitnya harga minyak dunia serta ketidak tesediaan dana yang cukup untuk melakukan subsisdi. Alasan yang menurut sebagian orang sangat menyesatkan.

Sementara bantuan langsung tunai (BLT) yang merupakan bagian dari skema pengamanan sosial sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ternyata juga belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Bantuan tersebut hanya diperuntukkan bagi 19,1 juta orang miskin. Padahal menurut catatan BPS, jumlah keluarga miskin tahun ini mencapai 41,33 juta jiwa. Itu berarti masih banyak keluarga miskin yang tidak mendapat bantuan langsung tunai.

Kebijakan sepihak ini tentu saja hanya akan menambah lirih jeritan rakyat miskin. Para pejabat, presiden, para mentri, gubernur, dan walikota maupun bupati tidak akan merasakan dampak dari kebijakan anti-rakyat miskin ini. Karena semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan fasilitas Negara, yang sebagian besarnya adalah hasil dari pungutan pajak rakyat juga.

Di negara seperti Venezuela, sebagaimana dikutip worldnews.about.com, harga minyak hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, dan di Mesir Rp 2.300/liter. Cina adalah importer minyak terbesar ketiga di dunia. Tapi harga minyak di Cina hanya Rp 5.888/liter. Padahal penduduk negara itu lebih besar dari Indonesia (1,3 milyar jiwa). Di Indonesia harga Pertamax menapai Rp. 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS yaitu Rp 8.464/liter. Padahal Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia hanya US$ 85 per bulan sementara di AS US$ 980 per bulan.

Dengan memakai patokan harga Internasional US$ 125/barrel maka rakyat AS yang UMRnya US$ 980/bulan masih bisa menabung US$ 955/bulan sementara rakyat Indonesia yang UMRnya hanya US$ 95/bulan harus ngutang sebanyak US$ 30/bulan.

Kenyataan yang telah disebutkan diatas adalah bukti bahwa ternyata memang mental inlander masih tertanam dalam diri sebagian penyelenggara bangsa ini. Bagaimana mungkin Indonesia yang dianugerahi Tuhan kekayaan yang berlimpah namun rakyatnya harus menanggung beban yang luar biasa berat akibat kebijakan sepihak pemimpinnya sendiri. Nasib rakyat ini memang seperti ayam yang mati di lumbung padi.

Kenaikan BBM, benarkah satu-satunya jalan?

Menurut pemerintah, sebagaimana disampaikan Wapres Jusuf Kalla dan Mentri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan harga BBM adalah langkah terakhir yang “terpaksa” dilakukan pemerintah. Naiknya harga minyak dunia yang tidak terkendali merupakan alasan yang kerap kali digunakan. Jika kita perhatikan kondisi global, memang kenaikan harga minyak dunia tidak bisa dikendalikan. Produksi minyak dunia mencapai 85 juta barrel per hari, padahal permintaan minyak dunia sehari 87 juta barel. Hal ini mendorong pelaku pasar membuat prediksi provokatif tentang harga minyak dunia dengan asumsi bahwa dunia akan kesulitan memenuhi kebutuhannuya akan minyak.

Harga minyakpun melesat tak terkendali. Para pemimpin Negara merasa bimbang karena mereka hanya memiliki sedikit pilihan untuk menyelamatkan keuangan Negara. Bagi pemimpin Negara yang enggan bekerja keras dan berkorban untuk rakyatnya, pencabutan subsidi merupakan satu-satunya kemungkinan yang dapat dipilih. Meskipun sesungguhnya mereka menyadari bahwa pilihan itu akan menambah beban rakyat.

Tapi apakah kenaikan harga minyak dunia itu berdampak buruk bagi Indonesia? Seharusnya tidak karena Indonesia memiliki minyak sendiri yang mempu memproduksi satu juta barrel perhari. Menurut hitungan para ekonom, jika harga minyak melambung hingga US$ 100 per barrel sekalipun, dengan harga minyak sebelum dinaikkan (Rp. 4.500,-), Negara masih untung sebesar US$ 18 milyar atau Rp. 168 triliun. Hal ini karena produksi minyak kita jauh lebih besar ketimbang impor.

Menurut Kwik Kian Gie, jika harga premium bensin kita Rp. 2000,- per liter, negara masih untung Rp. 1.350,- karena ongkos produksi hanya Rp. 650,- per liter. Produksi minyak kita dianggap masih mencukupi kebutuhan minyak nasional yaitu 3,5 juta kiloliter pertahun. Bahkan menurut Kwik, jika kebutuhan minyak nasional mencapai 60 juta kiloliter sekalipun, itu berarti setara dengan 377,36 juta barrel pertahun, dan pemerintah harus melakukan impor minyak, negara masih untung sebesar Rp. 35,71 trilyun. Karena lifting (minyak mentah yang disedot dalam perut bumi Indonesia) kita mencapai 339,28 juta barrel per tahun atau setara dengan Rp. 293,31 triliun pertahun dengan kurs Rp. 9.100,- per US Dolar. Lalu kenapa pemerintah mengatakan negara tidak punya uang?

Pertanyaan ini yang membuat rakyat semakin bingung dalam lubang kesengsaraan. Bagaimana mungkin negara yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa ini ternyata memiliki angka kemiskinan yang prestisius, 44,33 juta jiwa. Di negara kaya ini ternyata masih banyak rakyatnya yang tidak bisa bersekolah karena sekolah itu mahal, masih banyak ibu-ibu yang bayinya ditahan di rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya persalinan, masih ada anak yang gantung diri karena tidak mampu membayar SPP. Siapa yang menghisap harta kekayaan negeri ini?

Sementara di istana, gedung parlemen, kantor mentri, dan rumah para pejabat daerah, puluhan mobil mewah berjejer dengan angkuhnya. Apakah para pemimpin itu tidak sadar bahwa mereka diberi amanah untuk mensejahterakan rakyat. Bukan untuk menguasai dan mensejahterakan diri dan keluarga sendiri. Berbagai kebijakan yang dibuat, seperti kenaikan BBM, ternyata malah membuat semakin sengsara. Negara menjadi penggusur orang miskin, bukan penggusur kemiskinan.

Agaknya rakyat hari ini hanya bisa memohon kepada Tuhan agar para pemimpin ini diberi petunjuk oleh-Nya sambil terus menyuarakan protes terhadap kebijakan yang tidak berpihak. Kita memang tidak bisa menggulingkan pemerintahan yang nyaris gagal ini ditengah jalan. Karena konstitusi mengamanatkan mereka memimpin bangsa ini selama lima tahun. Namun jika kepemimpinan sekarang ternyata tidak mampu mensejahterakan rakyat, maka perlu kiranya dipertimbangkan untuk tidak lagi memberikan amanah kepemimpinan kepada mereka pada periode yang akan datang. Karena orang yang beruntung adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi. Dan kita tentu tidak mau terperosok dua kali pada lubang yang sama. Jika sudah gagal, kenapa tidak cari yang lain?. Wallahu a’lam bis shawab.(***)


Senin, 26 Mei 2008

Pilkada Kota Pariaman, Dari Elitisme Menuju Kepemimpinan yang Egaliter

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Selasa, 6 Mei 2008
Abrar Aziz
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah periode 2006-2008, dan Direktur Qalam Institute for Education and Democracy

Kota Pariaman tahun ini akan menyelanggarakan perhelatan demokrasi akbar, yaitu pemilihan kepala daerah langsung. Hajatan besar ini merupakan kali pertama yang dilaksanakan di kota tabuik ini. Sebagaimana Pilkada langsung lainnya, Pilkada langsung kali ini tentu saja diharapkan bukan hanya menjadi ajang pertempuran politik antar elite di pentas yang lebih terbuka. Disebut elite karena dalam banyak Pilkada langsung partisipasi masyarakat hanya berkutat pada saat kampanye dan hari pencoblosan saja. Sisanya, masyarakat hanyalah penonton dari sebuah dagelan politik.

Jika tradisi elitis ini masih berlanjut, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan mengalami apatisme politik. Tingginya angka ketidak ikutsertaan masyarakat dalam beberapa pilkada langsung merupakan indikasi ke arah ini. Lemahnya partisipasi politik masyarakat ini boleh jadi merupakan isyarat kejemuan masyarakat dengan bualan kaum elite. Karena jika Pilkada dilakukan dengan gaya yang tidak egaliter, maka jalannya pemerintahan juga akan sangat elitis dimana rakyat hanya dijadikan objek, bukan sebagai partner pemerintah. Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis keparcayaan terhadap pemimpin.

Pemimpin yang amanah dan egaliter adalah dambaan setiap orang, tidak terkecuali masyarakat kota Pariaman. Namun menemukan pemimpin yang demikian tentu saja bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Tetapi sepertinya tidak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan model kepemimpinan amanah tersebut. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia telah memberikan pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Jalan hidup orang-orang seperti Mohammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Sudirman, dan tokoh pendiri bangsa lainnya adalah sebuah pelajaran tentang apa yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu kesederhanaan dan keberanian.

Para kandidat Walikota dan Wakil Walikota Pariaman tentu harus belajar banyak kepada para tokoh pendiri bangsa tersebut. Mereka harus diingatkan bahwa tidak ada cerita sukses bagi pemimpin yang korup, lemah, dan elitis. Fidel Castro merebut kemerdekaan Kuba bukan dari kamar sebuah hotel, melainkan dalam belantara hutan Kuba bersama sahabatnya, Che Geuvara. Muammar Khadafi berhasil menjatuhkan pemerintahan korup bukan dari restoran mahal, melainkan dari sebuah kemah yang panas di gurun pasir Libya.

Mencari Figur yang Berpihak

Kepada siapa pemimpin harus berpihak? Jawabannya tentu saja kepada rakyat. Bukan kepada kepentingan politik elite, atau kekuasaan modal. Namun realitas menunjukkan bahwa modal masih menjadi penguasa sesungguhnya. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang selama ini dilakukan pemerintah masih berwajah kapitalisme. Menurut Jurgen Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis, setiap pemerintahan yang menginduk kepada kapitalisme, maka pemerintahan tersebut dengan mudah akan dihinggapi berbagai krisis. Habermas menyebut krisis kepercayaan, krisis ekonomi, dan krisis legitimasi sebagai akibat dari penghambaan kepada modal.

Tesis Habermas ini bisa jadi benar jika dikaitkan dalam konteks ke Indonesiaan. Banyak kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang lebih berpihak kepada kekuatan investor daripada kepada rakyat. Dapaknya, rakyatlah yang harus menanggung kebijakan yang elitis itu. Pencabutan subsidi BBM, mahalnya biaya pendidikan, sulitnya akses kesehatan, impor beras adalah sedikit dari sekian banyak kebijakan yang tidak berpihak.

Menurut Huston Smith, kapitalisme juga membawa manusia kepada krisis yang sangat parah, yaitu krisis spritualitas. Smith menyebut dengan cara yang sama, Timur dan Barat mengalami krisis yang luar biasa. Bahkan di Barat, agama sekalipun tidak mampu mengatasi krisis ini. Maka sudah menjadi harga mati bagi para kandidat untuk menciptakan kepemimpinan yang egaliter serta berani mengatakan “tidak” kepada kapitalisme.

Butuh keberanian untuk melawan gurita kapitalisme dan memberikan perhatian lebih kepada rakyat. Karena hanya ada satu pilihan yang bisa diambil. Melawan kapitalisme dan berpihak kepada rakyat. Atau sebaliknya, mengabaikan rakyat untuk mengumpulkan modal. Pelajaran penting mungkin harus kita petik dari para pemimpin Amerika Latin dan Iran. Banyak yang bertanya kenapa Evo Morales sangat dicintai rakyat Bolivia padahal dia bukan orang kaya? Kenapa rakyat Venezuela mati-matian memebela Hugo Chaves dari kudeta militer yang digagas Amerika Serikat?

Dan kenapa Mahmoud Ahmadinejad mampu bertahan atas tekanan dunia internasional yang begitu kuat? Mengapa kondisi ini jauh berberda dengan di Indonesia? Jika jalannya pemerintahan “digoyang”, tidak ada rakyat yang membela kecuali sekelompok elite parpol yang berkepentingan mengusung pemimpin tersebut. Jawabannya tentu dapat dilihat dari fakta yang terjadi, bahwa para pemimpin besar itu adalah orang yang mampu mengambil pilihan berani yaitu meletakkan kepentingan rakyat diatas segala kepentingan lain.

Sekali lagi, ini memang bukan pilihan yang mudah. Mengambil sikap melawan kekuatan modal dan menjadi pembela rakyat adalah pilihan yang penuh resiko. Tapi pilihan inilah yang dipilih oleh para pemimpin besar dunia. Rakyat kota Pariaman sangat rindu dengan kepemimpinan yang bersih dan egaliter. Sebab, berbagai masalah yang dihadapi masyarakat hari ini tidak akan mampu diselesaikan dengan cara yang elitis. Pengangguran, kesenjangan sosial, korupsi, dan tumpukan masalah lainnya hanya bisa diselesaikan jika pemimpin negeri ini mampu mengambil langkah berani dan konsisten.

Bagi masyarakat miskin, melihat pemimpinnya tidur di istana mewah di tengah tingginya angka kemiskinan tentu saja membuat hati mereka teriris. Rakyat kecil juga tentunya akan mengumpat melihat anaknya terbangun dari tidur karena bisingnya sirine mobil pejabat yang memekakkan telinga itu. Gaya elitis seperti inilah yang akan membuat jarak antara rakyat dan pemimpin menjadi semakin jauh. Filosofi kepemimpinan kemudian bergeser dari melayani menjadi menguasai. Untuk itulah perlunya masyarakat mengingatkan kepada para kandidat pemimpin ini untuk senantiasa belajar kepada para pemimpin besar dunia tersebut.

Tindakan Evo Morales yang memotong gajinya sendiri dan seluruh pejabat di Bolivia adalah contoh paling riil bagaimana pemimpin harusnya mengambil sikap. Kita hanya bisa mengingatkan dan menunggu langkah yang akan diambil para kandidat Walikota dan Wakil Walikota Pariaman lima tahun kedepan. Tidak perlu mendengar janji mereka saat kampanye nanti, yang perlu kita lihat adalah bagaimana mereka “memperlakukan” rakyat selama ini. Jika elitisme masih menjadi gaya hidup para pemimpin, maka jangan salahkan jika rakyat akan semakin apatis dan bosan dengan semua sandiwara penguasa.(***)

Jumat, 23 Mei 2008

10 Tahun Reformasi; Perteguh Jati Diri Bangsa

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Kamis, 22 Mei 2008
Abrar Aziz
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah 2006-2008 dan Direktur Qalam Institute for Education and Democracy
Tahun ini genap sepuluh tahun usia reformasi. Peristiwa penting yang diharapkan menjadi awal sebuah perubahan. Tahun ini juga, bangsa Indonesia memperingati satu abad kebangkitan nasional. Namun, meski sepuluh tahun sudah reformasi berlalu dan seratus tahun sudah kebangkitan nasional kita peringati, kita masih saja kebingungan bagaimana kita harus merayakan momen bersejarah tersebut. Reformasi yang diharapkan sebagai awal dari proses perubahan bukan saja telah kehilangan ruhnya, namun lebih dari itu, satu dekade setelah peristiwa tersebut, bangsa Indonesia ternyata jatuh semakin dalam ke lubang kemerosotan.

Presiden boleh saja berganti, namun mental pemerintah yang menghamba pada kakuatan modal tidak pernah berubah. Pemerintah kita sangat setia menjadi pelayan bagi investor asing. Dengan membuka investasi seluas-luasnya, kita membiarkan kekayaan alam kita dijarah orang lain tanpa berani menegur apalagi melawan. Dan yang menjadi korban dari kebijakan yang berwajah kapitalistik itu tentu saja adalah rakyat. Jika kita tanyakan kepada pemerintah kenapa harga BBM terus melonjak, maka pastilah jawabannya tidak ada uang lagi untuk mensubsidi. Bagaimana mungkin tidak ada uang, produksi minyak kita mampu mencapai satu juta barrel per hari. Kemana harta kekayaan kita yang melimpah? Ternyata hampir 90% dari kekayaan minyak kita dikelola oleh asing. Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sisanya dikuasai perusahan asing.

Bahkan di Negara pasar bebas seperti Amerika sekalipun, impor barang produksi sangat dibatasi dan pemerintah memberikan subsidi sangat besar kepada produksi lokal agar mampu bersaing dengan barang impor. Anehnya, pemerintah kita malah membuka pasar seluas-luasnya hingga semua barang produksi masuk ke pasar kita dan membiarkan para petani kita kelaparan karena tidak bisa bersaing dengan produk impor. Indonesia bahkan lebih liberal dibanding Amerika sekalipun.

Dengan sangat patuh pemerintah kita mengikuti saran IMF, yang sejatinya adalah perpanjangan tangan dari kepentingan ekonomi AS, dalam mengatasi krisis ekonomi. Meskipun saran-saran tersebut sangat kental dengan aroma kapitalisme. Misalkan ketika IMF menyarankan perlunya pembatasan peran Negara dalam mengatur pasar, maka pemerintah menerbitkan UU No. 23 tahun 1999 tentang independensi BI. Dengan UU ini BI diharpkan tidak lagi menjadi kasir pemerintah seperti masa lalu. Bukan hanya itu, resep privatisasipun disambut pemerintah dengan suka cita dengan diterbiknannya UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN yang kemudian menjadi awal dari penjualan besar-besaran asset bangsa ke perusahaan asing.

Bahkan dalam Peraturan Presiden No. 77 tahun 2007 di sebutkan bahwa batas kepemilikan modal asing di sektor energi dan sumber daya mineral adalah 95% dalam bidang usaha Pembangkit Tenaga Listrik; 95% Jasa Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Lepas Pantai Indonesia Bagian Timur; 95% Transmisi Tenaga Listrik; 95% Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir; 95% Jasa Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Darat; 95% Pengembangan Tenaga Peralatan Penyediaan Listrik; dan lain sebagainya.

Peraturan yang didasari resep privatisasi dari IMF ini bukan saja telah membuat kita kehilangan kedaulatan ekonomi, lebih dari itu Peraturan ini telah memberikan izin kepada korporasi asing untuk menjarah semua kekayaan bangsa kita untuk dibawa keluar negeri dengan meninggalkan limbah kotor untuk rakyat Indonesia.

Yang lebih mengerikn adalah bahwa sektor pendidikan juga boleh dimiliki asing hingga 49% untuk bidang Usaha Pendidikan Dasar dan Menengah; 49% untuk Pendidikan Tinggi; dan 49% untuk Pendidikan Non Formal. Pendidikan yang seharusnya menjadi asset jangka panjang ternyata juga telah dijadikan barang komoditas yang bisa di dijual ke luar negeri.

Resep ini ternyata bukannya membuat kita keluar dari krisis, yang terjadi justru semakin besarnya angka kemiskinan dan semakin terpuruknya ekonomi kita. Rakyat kita ternyata harus menjadi tamu di rumah sendiri. Kekayaan yang berlimpah tidak bisa kita nikmati.
Bahkan menurut catatan Amien Rais (2008), Komite Privatisasi Perusahaan BUMN telah mengeluarkan 44 daftar BUMN yang siap digadaikan ke korporasi asing, diantaranya Garuda Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Negara, Karakatu Steel, Batara, dll. Alasan yang kerap disampaikan pemerintah atas penjualan asset ini adalah untuk menutupi devisit anggaran atau lebih jelasnya menutupi kebolongan APBN. Padahal jika sumber daya alam kita dikelola secara mandiri, maka kita tidak perlu lagi menjual asset berharga kita untuk menutupi APBN.

Jebakan Korporatokrasi

Istilah korporatokrasi diperkenalkan oleh John Perkins, sebagaimana dikutip Amien Rais (2008). Yaitu sebuah sistem kekuasaan yang dikontrol oleh korporasi besar, bank internasional dan pemerintahan. Korporatokrasi menggambarkan bagaimana sebauh pemerintah dikendalikan oleh kekuasan korporasi (perusahan) besar dengan bantuan lembaga donor intenasional. Korporasi besar tersebut dengan mudah mendikte dan mengarahkan suatu bangsa demi meraup keuntungan yang berlimpah.

Setidaknya ada tiga unsur yang terlibat dalam korporatokrasi ini. Pertama tentu saja adalah korporasi besar yang berambisi menguasai ekonomi dunia. Perusahaan-perusahaan kaya ini memiliki agenda ekonomi yang sangat barbahaya bagi Negara berkembang yang memiliki sumber kekayaan alam, seperti Indonesia. Kedua, lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, dan WTO. Lembaga-lembaga ini memebrikan janji-janji ekonomi dengan meminjamkan dana besar kepada Negara berkembang dengan syarat Negara tersebut bersedia membuka pasar seluas-luasnya bagi korporasi asing dan mencabut subsidi kepada rakyat. Dan unsur katiga adalah, elite pemerintah yang menjadi pelayan korporasi besar tersebut. Para pejabat ini dengan setia melayani segala keinginan korporasi besar demi menguasai harta kekayaan negeri ini.

Jika kita melihat data-data diatas, secara jujur harus kita akui bahwa Indonesia ternyata sudah terjebak dalam perangkap korporatokrasi. Bagaimana tidak, pemerintah kita belum mampu menolak berbagai resep IMF dalam melakukan pengembangan ekonomi. Ide privatisasi besar-besaran dan pelucutan peran Negara dalam mengelola pasar adalah indikasi kuat kearah itu.

Kasus penjarahan yang dilakukan PT. Freeport McMoran Indonesia di bumi Papua dan Exxon Mobile di Blora adalah percontohan paling nyata dari jebakan korporatokrasi. Kontrak Karya II antara Indonesia dengan PT. Freeport baru berakhir tahun 2041. Itu artinya kekayaan alam kita akan dikuras sempai 43 tahun tahun kedepan. Jika demikian, apa yang akan diwarisi oleh anak cucu kita jika semua kekayaan bangsa ini terus digadaikan kepada pihak asing? Bukan tidak mungkin generasi berikut dari bangsa ini akan semakin kelaparan karena semua sumber daya alam sudah ludes terjual.

Memperteguh Jati Diri Bangsa

Dengan berlalunya reformasi satu dekade yang lalu, maka sudah selayaknya kita kembali melakukan perbaikan diberagai sektor kehidupan agar reformasi tidak menjadi barang basi yang tidak meninggalkan apa-apa kecuali bau yang busuk. Kuncinya adalah keberanian pemerintah untuk melawan keinginan asing untuk menjarah kekayaan kita. Pemerintah harus berani membuat aturan-aturan yang lebih menguntungkan perekonomian rakyat ketimbang kepentingan asing. Pembangunan pusat-pusat perbelanjaan modern seperti mall di atas pasar tradisional harus segera di hentikan karena akan mematikan pasar rakyat tersebut.

Bahkan jika mungkin, pemerintah harus melakukan nasionalisasi terhadap asset Negara yang dikuasai pihak asing dan mengelolannya secara mandiri. Sebagaimana yang dilakukan oleh Negara Amerika Latin yang ternyata mampu mensejahterakan rakyatnya tanpa resep-resep ekonomi IMF. Atau setidaknya melakukan negosiasi ulang terhadap berbagai Kontrak Karya dengan memasukkan aturan-aturan yang lebih berpihak kepada rakyat kecil dan bukan hanya menjadi agen perusahaan asing untuk meraup harta kekayaan negeri ini. Semoga negeri yang kaya ini mampu menjadi surga bagi rakyatnya sendiri. Amiin…(***)


Senin, 17 Maret 2008

Keberpihakan Kepada Mustad`afin

Diposting oleh abrar aziz

Harian Republika, Jum`at, 23 November 2007

Apakah fungsi agama yang sebenarnya? Pertanyaan ini menjadi sangat penting jika melihat fenomena keberagamaan umta Islam dewasa ini. Ada beberapa masalah serius yang kita hadapi saat ini. Pertama, bangkitnya gerakan baru Islam yang mengusung corak islam yang doktriner dan literal. Kelompok ini memiliki kecenderungan bergerak secara konfrontatif dan ekstrim. Bahkan, tidak jarang mereka bertindak sebagai polisi syariat dan polisi moral dalam memberengus kelompok yang dianggap berseberangan dan “sesat”. Anehnya kelompok ini merasa mendapat mandat dari Tuhan untuk melakukan tindakan anarkis tersebut. Selintas kita lihat tujuan mereka sangat mulia, yaitu membela dan menegakkan agama Allah. Namun jika dilihat dari langkah anarkis yang dilakukan kita tentu akan sangat ragu dengan niat baik itu.


Keberadaan gerakan ini tentu saja sangat mengancam iklim keberagamaan di Indonesia yang sangat plural. Bahkan konstitusi memberikan kebebasan kepada kita untuk meyakini kepercayaan tertentu. Jika ada satu kelompok keyakinan tertentu yang bertindak anarkis bahkan berniat mengusir kelompok keyakinan lain, maka itu adalah pelanggaran berat terhadap konstitusi Negara ini.

Kedua, maraknya perdagangan ayat-ayat tuhan yang bahkan dilakukan oleh kaum yang merasa santri sekalipun. Atas nama dakwah, mereka berani memasang harga hingga puluhan juta untuk sekali tampil. Dalam hal ini, aktivitas dakwah hanya menjadi tempat transaksi antara konsumen dan produsen. Jika transaksi sudah selasai, maka jamaah akan pulang dengan membawa cerita-cerita lucu dan sang da`i pun kembali dengan setumpuk uang dan ketenaran. Apa yang didapatkan dengan dakwah yang seperti ini?

Bukan hanya itu, media pun sepertinya tidak mau ketinggalan untuk meraup keuntungan dari pasar muslim terbesar di dunia ini. Berbagai tayangan yang dibungkus label islami disodorkan kepada masyarakat luas. Nuansa tahayyul dan khurafat sangat kental dalam tayangan “islami” ini. Apalagi jika tayangan itu juga diakhiri dengan ceramah seorang ustadz kondang, maka semakin kuatlah legitimasi tayangan tersebut sebagai tayangan islami. Ironisnya lagi, ditengah kekhusyukkan umat dalam menyaksikan tayangan yang katanya berreting tinggi itu, tiba-tiba diselingi dengan iklan-iklan yang menampilkan gambar-gambar yang justru sangat tidak islami. Dari sini dapat kita lihat bahwa motif tayangan tersebut ternyata hanyalah bisnis semata.

Dua masalah diatas, dan tentunya masih banyak deretan masalah lain, menunjukkan kepada kita betapa besarnya masalah yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Belum lagi jika kita saksikan fenomena yang sangat menyakitkan hati, yaitu fenomena korupsi yang justru dilakukan oleh departemen yang seharusnya diisi oleh orang-orang beriman dan shaleh. Yang lebih menyakitkan, kejahatan ini dilakukan pada saat umat ini sangat kesusahan karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kepada siapa lagi umat ini harus mengadu jika lembaga agama saja sudah tidak bisa lagi dipercaya?

Kumpulan para ulama juga ternyata tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah yang kita hadapi. Fatwa-fatwa yang diputuskan tidak jarang justru malah memicu konflik diantara umat Islam sendiri. Kita tentu saja sangat merindukan fatwa-fatwa yang berpihak pada kaum mustad`afin, fatwa tentang penggusuran atau fatwa tentang hukuman berat bagi pejabat Negara yang korup.

Hal ini mejadi sangat penting mengingat persoalan terbesar yang sedang kita hadapi adalah kemiskinan ditengah negeri yang kaya raya. Bagaimana mungkin negeri yang sangat diberkati Allah dengan bermacam kekayaan ini harus menerima kenyataan bahwa rakyatnya harus makan nasi aking dan harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan lima liter minyak tanah.

Pertanyaannya adalah, pernahkan para ulama, pengkhotbah, kaum ekstrimis yang mengaku menjadi tentara Tuhan, atau ustadz yang memasang tarif jutaan melakukan langkah kongkret untuk menyelasaikan masalah ini? Apakah cukup dengan hanya meminta umat bersabar karena setiap musibah ada hikmahnya? Atau dengan dalil bahwa Allah sangat mencintai orang yang bersabar?

Yang dibutuhkan umat adalah langkah kongkret untuk, bukan ceramah-ceramah yang tidak mampu mengatasi kelaparan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial lainnya. Bagaimana mungkin seseorang dipaksa beribadah dengan khusyu sementara perut keluarga belum terisi selama dua hari. Bagaimana mungkin seseorang harus dicambuk karena mencuri sedangkan dirumahnya tidak ada satupun yang bisa dimakan. Disinilah pentingnya kita mengkaji kembali fungsi agama bagi manusia dan kepada siapakah agama harus berpihak.

Mempertegas keberpihakan

Dalam al Quran jelas sekali disebutkan bahwa yang disebut al birri kebajikan adalah beriman kepada Allah, nabi-nabi, kitab-kitab dan senantiasa mencintai orang-orang miskin, orang yang meminta-minta, anak yatim dan memerdekakan budak (QS Al Baqarah 177). Tidak ada keraguan sedikitpun bagi kita tentang maksud ayat ini. Yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan lemah. Ajaran bahwa keimanan harus memberikan implikasi kepada dimensi sosialnya sangat jelas di dalam Al Quran. Dengan kata lain, iman tidak akan memiliki arti sama sekali jika tidak memiliki dimesi social. Tidak kurang dari tiga puluh enam ayat yang mengaitkan iman dan amal shaleh. Diantaranya QS. Al Baqarah; 62, Al Maidah; 69, Al An`am; 54, Al Kahfi; 88, Maryam; 60, dan ayat lainnya.

Langkah yang harus kita lakukan juga telah disampaikan oleh kitab suci, yaitu dengan memberikan sebagian harta kita kepada mereka, memberikan pertolongan, dan memperlakukan mereka sebagai manusia yang mulia. Bukan dengan mengajak mereka bersabar dan terus berdo`a.

Keberpihakan Islam terhadap kaum tertindas memang tidak dapat dipungkiri. Untuk itulah dibutuhkan sebuah gerakan dakwah yang membebaskan (liberaitf) umat dari belenggu ketertindasan. Dan gerakan ini tentu saja harus dimulai oleh para ulama, pemimpin Negara, dan kelompok-kelompok islam yang menjadi panutan masyarakat. Jika ulamanya hanya bertindak sebagai polisi syari`at, para ustadz terus memasang tarif selangit sambil menyuruh umat bersabar atas musibah, media terus membodohi umat, dan kelompok-kelompok agama sibuk berdebat soal mana yang sesat dan mana yang benar, maka jangan harap kondisi bangsa ini akan membaik.

Langkah kongkret harus dimulai sesegera mungkin, para ulama diharapkan mampu menjadi pembela kaum tertindas dengan mengeluarkan fatwa-fatwa tentang menunjukkan keberpihakan itu. Seperti fatwa tentang penggusuran, hukuman bagi koruptor, atau fatwa lain yang mampu melepaskan umat dari ketertinggalan. Begitu juga pemerintah agar senantiasa menunjukkan keberpihakan kepada rakyat miskin dalam membuat setiap kebijakan, ustadz-ustadz diharapkan mampu memberikan ceramah-ceramah yang menggerakan masayarakat untuk saling peduli. Dan ingat, jangan pasang tarif yang memberatkan jamaah. Mudah-mudahan negeri ini mampu menjadi surga bagi para penduduknya. Baldatun thayyibatun waraabun ghafuur. Amiin.


Transformasi Islam untuk Pembebasan

Diposting oleh abrar aziz


Islam tumbuh dalam rentang waktu dua puluh tiga tahun. Hal ini menunjukan bahwa Islam mengalami transformasi dalam pembentukan dan perkembangannya. Kita dapat menyaksikan bagaimana Islam yang awalnya hanya sebagai sebuah gerakan keagamaan kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan sosial politik pada periode berikutnya, serta dari agama perkotaan (periode Mekkah dan Madinah) menjadi agama yang menyebar luas pada masyarakat desa.



Transformasi Islam tersebut terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Hingga kini, transformasi Islam terus terjadi dalam berbagai bentuk. Wahabisme misalnya, gerakan ini mencoba melawan modernisme dengan melarikan diri kepada teks sebagai satu-satunya sumber legitimasi. Ajaran ini sangat tidak bersahabat dengan misitisme dan intelektualisme. Menurut mereka, umat Islam wajib kembali kepada pemahaman Islam yang sebenar-benarnya melalui interpretasi harfiah terhadap teks. Mereka menolak pengetahuan humanistik, apalagi menafsirkan teks dalam perspektif sejarah.

Transformasi Islam terus berkembang dengan munculnya gerakan salafisme. Gerakan yang dipelopori Muhammad Abduh, Al Afghani, dan Rasyid Ridho ini secara umum hampir mirip dengan Wahibisme. Hanya saja mereka lebih toleran terhadap perbedaan pendapat. Para penganut salafi mangidealkan zaman keemasan masa Rasulullah dan sahabat. Yang membedakannya dengan wahabi adalah, bahwa mereka didirikan oleh kaum nasionalis muslim yang menafsirkan kembali modernisme melalui teks-teks orisinil sehingga mereka tidak anti-Barat.

Transformasi Islam di Indonesia

Sebagaimana perkembangan Islam di Timur Tengah, Islam di Indonesia juga mengalami perubahan menuju format idealnya. Namun Islam di Indonesia sampai saat ini belum juga menemukan bentuk ideal yang mampu membawa bangsa ini menuju kesejahteraan. Bahkan yang terjadi adalah konflik yang berkepanjangan. Banyaknya variasi gerakan Islam membuat umat Islam di Indonesia kebingungan dan senantiasa dihantui rasa takut karena banyak konflik yang terjadi antara sesama muslim. Fenomena saling menyesatkan serta fatwa-fatwa yang memicu terjadinya konflik membuat wajah Islam menjadi semakin “mengerikan”.

Arah transformasi Islam menjadi semakin memprihatinkan dengan munculnya keinginan yang mengarah kepada formalisasi syari`at Islam. Keinginan ini muncul akibat kekecewaan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sangat menyedihkan. Barangkali inilah yang disebut Jurgen Habermas dengan krisis lagitimasi. Dimana terjadi ketimpangan antara kebutuhan akan motif-motif yang dikukuhkan oleh negara, sistem pendidikan, dan sistem dunia kerja di satu pihak, dan motivasi yang didukung oleh sistem sosial budaya di pihak lain telah melahirkan motivasi untuk menjadikan tuntutan norma-norma secara formal.

Selain itu, tuntutan yang besar terhadap formalisme agama merupakan akibat dari perasaan yang mendalam berupa kekalahan dan keterasingan dari cengkraman gurita kapitalisme. Hal ini membuat kebencian terhadap kapitalisme, yang diwakili oleh Barat, semakin besar. Akibatnya, sebagian umat Islam beranggapan bahwa apapun yang datang dari Barat adalah kafir dan satu-satunya jalan untuk melawan semua itu adalah penegakan syari`at Islam secara formal.

Kecenderungan formalistik ini membuat semangat pembebasan Islam menjadi redup. Hal inilah yang membuat gerakan Islam di Indonesia mengalami kemunduran. Islam tidak mampu menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, tapi hanya bagi mereka yang memiliki kesamaan pandangan saja. Kita kemudian lupa bahwa misi Islam adalah misi kemanusiaan yang membebaskan manusia dari kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.

Fenomena ini kemudian membuat umat Islam semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Sebagian kita menganggap orang lain sebagai musuh hanya karena perbedaan pandangan keagamaan. Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama berani melakukan pemboman di tempat keramaian dan melenyapkan ratusan nyawa yang belum tentu berdosa? Kenyataan ini diperparah dengan adanya kelompok yang merasa dirinya paling shaleh dan yang lain sesat, ada kelompok yang merasa paling rasional dan yang lain dianggap kolot, dan ada juga kelompok yang merasa berhak mewakili Tuhan sehingga memiliki wewenang untuk memvonis siapapun yang berbeda pandangan dengannya. Sebuah pandangan yang jauh dari nilai-nilai luhur keislman.

Misi Profetis Islam

Ketika melaksanakan haji wada`, Rasulullah menyampaikan sebuah pidato yang sangat penting. Beliau menyampaikan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan: pertama, untuk menyatakan kebenaran. Kedua, untuk berperang melawan penindasan dan katiga, membangun ummat yang didasarkan kesetaraan, keadilan, dan kasih sayang. Senada dengan itu, dalam al Quran juga disebutkan tiga prinsip dasar Islam, yaitu; humanisasi (kemanusiaan), liberasi (pembebasan), dan transendensi (QS. Ali Imran 110). Tiga elemen dasar inilah yang harusnya menjadi semangat keberislaman kita.

Disinilah perlunya kita menyingkirkan sikap-sikap pragmatis dalam memahami teks sehingga pemahaman kita tidak hanya berkutat pada penafsiran teks. Pandangan yang tertutup dalam memahami teks hanya akan membuat Islam terkesan bengis dan sangar serta akan memperkuat stigma buruk terhadap Islam. Misi Islam sebagai agama pembebasan menjadi terkaburkan. Yang lahir justru penjajah-penjajah baru yang merasa berwenang menghakimi “kelompok lain”.

Islam harus benar-benar ditempatkan sebagai agama kasih sayang (rahmat) agar bisa manampakkan wajah yang sejuk dan damai. Keyakinan kita akan kekuasaan Allah harus diikuti dengan kesungguhan dalam menerjemahkan perintah Allah untuk mengasihi sesama manusia, bahkan mengasihi musuh sendiri sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Perbedaan yang terjadi adalah cara Allah untuk menguji kita terhadap pemberian-Nya. Bahkan dalam al Quran dikatakan “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umay saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya Allah-lah tempat kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al Maidah 48).

Terakhir, mari kita mulai membangun kesadaran dengan spirit transformasi dari pemahaman yang literal menjadi pandangan yang terbuka, humanis, santun, dan tentu saja religius. Kemerosotan umat Islam hanya bisa diatasi jika masing-masing kelompok mampu bersikap ramah satu sama lain. Perdebatan tentang mana yang sesat dan mana yang benar paling benar hanya akan membuat kita letih sehingga persoalan umat yang lebih besar, yaitu penindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi terabaikan. Agama harus dijadikan spirit bagi kita dalam memperjuangkan nilai-nilai kemnusiaan menuju Islam yang membebaskan.



Islam Agama Kemanusiaan

Diposting oleh abrar aziz


Jurnal INSIGHT, edisi April 2008

Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai masalah yang menimpa dunia dewasa ini. Setiap muslim juga yakin bahwa Islam sangat relevan dalam setiap waktu dan tempat (shalihun li kulli zamani wa makani).

Tapi terkadang timbul pertanyaan dalam benak kita ketika melihat relitas bahwa banyak umat Islam yang bertindak jauh dari nilai-nilai luhur keislaman. Apakah benar islam yang diturunkan lima belas abad yang lalu masih mampu menyelesaikan polemik persoalan manusia modern yang sudah jauh berkembang?. Pertanyaan ini muncul setelah kita melihat fakta banyaknya insiden kekerasan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh sesama umat Islam.

Selain itu, kemajuan teknologi yang demikian pesat ternyata juga menimbulkan masalah yang tidak sederhana. Kondisi global tersebut meniscayakan terjadinya gerak arus informasi yang sangat dahsyat. Arus ini tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga nilai. Nilai-nilai yang berkembang pada akhirnya akan membawa kita pada pola hidup yang beragam. Salah satu implikasinya adalah menyebarnya nilai-nilai materialisme, pragmatisme, dan hedonisme yang pada akhirnya menyudutkan agama pada posisi yang memprihatinkan. Masyarakat kita kemudian menjadi masyarakat yang penuh dengan kelonggaran-kelonggaran, pergaulan bebas, budaya korupsi, dan gejala negative lainnya.

Kemajuan teknologi ternyata juga membawa problematika kemanusiaan. Menurut Kuntowidjoyo, dunia modern sesungguhnya menyimpan potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil menorganisasikan ekonomi, menata struktur politik serta membangun peradaban maju. Tetapi pada saat yang sama, kita menyaksikan bagaimana manusia telah menjadi tawanan dari hasil ciptaannya sendiri. Dunia modern telah berhasil melepaskan manusia dari belenggu dunia mistik yang irrasional, namun manusia gagal melepaskan diri dari belenggu yang lain, yaitu penghambaan terhadap diri sendiri. Inilah yang menyebabkan manusia menganggap orang lain sebagai subordinat dan kurang penting keberadaannya.

Dengan demikian masihkan kita harus percaya bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai masalah yang kita hadapi? sementara kenyataan menunjukkan bahwa dunia hari ini telah jauh meninggalkan dunia dimana Islam diturunkan.

Untuk menjawab keraguan itu, marilah kita mulai dengan memberikan pemahaman yang benar tentang agama. Untuk siapa agama diciptakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan sikap keberislaman kita. Dalam ayat terakhir yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad saw. jelas disebutkan bahwa Islam diturunkan untuk kepentingan manusia (al yauma akmaltu lakum diinakum). Ajaran ini diperjelas oleh Rasulullah ketika melaksanakan haji wada` melalui pidatonya yang mengatakan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan, pertama, untuk menyatakn kebenaran. Kedua, untuk melawan penindasan, dan ketiga, membangun ummat yang didasarkan kesetaraan, keadilan dan kasih sayang. Pada banyak tempat dalam al Quran juga disebutkan tentang dimensi kemanusiaan Islam. Seperti adanya prinsip humanisasi (kemanusiaan), liberasi (pembebsan), dan transendensi (Q.S Ali Imran 110). Bahkan orang yang tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan disebut sebagai pendusta agama (Q.S Al Ma`un 1-3).

Pemahaman keislaman seperti ini menjadi sangat penting ketika kita melihat kenyataan banyak umat Islam yang menganggap bahwa Islam adalah agama Tuhan. Hal ini membuat sebagian kita merasa berhak mengatasnamakan Tuhan dan menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan. Konflik atas nama agama yang terjadi belakangan ini membuat kita sangat prihatin. Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama sampai hati melakukan kekerasan terhadap saudara seiman hanya karena beda pemahaman? Padalah Islam lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Namun, yang terjadi adalah saling curiga dan benci antar sesame kelompok Islam.

Akibat lain dari pemahaman yang kurang tepat terhadap Islam adalah lebih dominannya keberagamaan simbolik dibanding keberagamaan substansial. Umat Islam kemudian hanya mementingkan simbol-simbol agama tanpa mampu menghayati makna agama yang sesungguhnya. Yang terjadi kemudian adalah banyaknya ritual-ritual kering tanpa makna. Bukti nyata dari kondisi adalah semakin meningkatnya jumlah jemaah haji dari Indonesia ditengah semakin meningkatnya angka kemiskinan. Ironis memang, orang Islam yang melakukan ibadah haji setiap tahun terus bertambah, namun tingkat kemiskinan rakyat Indonesia tidak berkurang. Ini membuktikan bahwa keberagamaan kita telah kehilangan ruhnya. Banyaknya orang muslim yang kaya ternyata tidak membuat angka kemiskinan berkurang. Ini disebabkan oleh pemahaman bahwa ibadah adalah urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan orang lain.

Padahal dalam al Quran seringkali kata iman disandingkan dengan kata amal shaleh. Ini menunjukkan bahwa iman (orientasi ketuhanan) harus diikuti dengan amal shaleh (orientasi kemusiaan). Yang disebut kebaikan adalah ketika keimanan dan aksi sosial dilaksanakan sejalan (Q.S Al Baqarah 177). Maka dimensi keimanan tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan amal. Jika keimanan terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, maka amal shaleh adalah hubungan dengan sesama manusia sebagai wujud kongkrit dari keimanan.

Landasan normative persaudaraan kasih sayang antar umat manusia terdapat dalam al Quran yang menyatakan bahwa keragaman suku bangsa merupakan sunatullah (ketetapan Allah), namun perbedaan itu tidak dimaksudkan agar manusia saling bermusuhan, melainkan untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan (Q.S Al Hujurat 13). Bahkan secara eksplisit Allah menyebutkan; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu…(Q.S Al Maidah 48).

Keragaman yang dibangun Tuhan dalam kosmologi kehidupan manusia ini tidak dimaksudkan untuk mensubordinatkan satu sama lain. Perbedaan tidak menunjukkan kemuliaan satu sama lainnya. Yang membedakan manusia dalam pandangan Tuhan bukanlah pada fakta perbedaan itu sendiri, melainkan upaya kita untuk memasrahkan diri (bertaqwa) dan memperbaiki kualitas diri. Dan yang meninggikan darjat manusia disisi Tuhan adalah kulaitas iman dan ilmunya (Q.S Al Mujadalah 11).

Kenapa mesti ilmu? Ilmu adalah entitas penting dalam peradaban manusia untuk mencapai kemajuan. Ilmu juga yang membuat manusia mampu menghargai orang lain. Secara kasat mata kita dapat melihat perbedaan cara menyelesaikan masalah antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Iman dan ilmu adalah syarat mutlak yang harus dimiliki agar kita dapat menempatkan agama pada posisi yang sebenarnya. Tidak ada rumusan bahwa orang yang beriman dan berilmu dapat secara membabi buta merusak dan menghancurkan rumah ibadah, meledakkan bom di tengah keramaian, atau menyerang kelompok yang berbeda pandangan dengannya. Inilah yang seharusnya menjadi spirit keberagamaan kita. Yaitu, meningkatkan kualitas keimanan kita dan diwujudkan dengan sikap menghargai pandangan orang lain.

Ijtihad kemanusiaan

Kembali pada pertanyaan awal, bagaimana Islam yang diturunkan lima belas abad yang lalu mampu menyelesaikan persoalan yang hadir hari ini? Dalam Islam kita mengenal istilah ijtihad, yaitu sebuah upaya sungguh-sungguh mengokohkan ajaran Islam dari sisi ajaran yang dibawanya. Metodologi ijtihad perlu dikembangkan sesuai dengan persoalan zaman yang dihadapinya. Hal ini perlu dilakukan mengingat secara tekstual al Quran dan Sunnah adalah naskah yang statis, sementara kehidupan manusia senantiasa dinamis dan selalu membutuhkan hal-hal yang baru. Maka tugas kita adalah bagaimana menyelesaikan persoalan yang dinamis tersebut berdasarkan teks yang sangat terbatas (statis)? Upaya ini kemudian kita kenal dengan istilah ijtihad.

Upaya inilah yang dilakukan oleh para ulama. Mereka menghadapi persoalan modern bukan dengan merubah teks, melainkan melakukan re-interpretasi terhadap teks agar sesuai dengan tuntutan zaman. Interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan tafsir. Sehingga kita akan mudah membedakan antara teks al Quran dan penafsiran al Quran.

Spirit berijtihad lahir dari semangat mengfungsikan akal dengan menggunakan teks sebagai landasan. Tujuannnya tentu saja tetap pada kerangka awal keberagamaan yaitu menyelasaikan masalah-masalah kemanusiaan modern. Sebagaimana disebutkan Imam Asy Syatibi bahwa tujuan dasar ditetapkannya hukum adalah untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, meliputi; 1. Menjaga agama, 2. Menjaga akal, 3. Menjaga jiwa, 4. Menjaga keturunan, dan 4. Menjaga harta. Hal ini semakin mempertegas bahwa kemanusiaan adalah cita-cita luhur dari agama.

Membumikan Agama untuk Kemanusiaan

Kondisi bangsa Indonesia yang dilanda krisis berkepanjangan membuat orang mengharap “sumbangan riil” agama sehingga agama bisa hadir membawa kesejukan ditangah badai krisis yang luar biasa derasnya. Agama harus dapat “dibumikan” dan tidak boleh dibiarkan “mengawang-ngawang” tanpa bisa dijangkau oleh pemeluknya. Karena pada kenyataannya banyak manusia merasa terasing dari kehidupan real yang dihadapi. Problem kemanusiaan seperti ini tentu saja membutuhkan kehadiran agama untuk memberikan jawaban.

Dalam konteks inilah kita perlu membumikan pesan-pesan “langit” yang hadir melalui wahyu tersebut. Agama tentu saja membutuhkan horizon yang lebih luas, sehingga dimensi kemanusiaannya lebih dominan daripada teosentrisnya. Dominasi teosentrisme dalam agama hanya akan “melangitkan” agama dan membuatnya jauh dari manusia. Hal ini seolah membenarkan tuduhan Karl Marx bahwa agama hanyalah “candu” bagi masyarakat. Jika agama benar-benar sudah jauh dari manusia, maka pantaslah “pesta kematian Tuhan” dirayakan oleh Nietzsche, Freud, Albert Camus, dll.

Menurut Masdar F. Mas`udi, agama seharusnya tampil dengan dimansi kemanusiaannya agar agama tidak hanya hadir dalam bentuk ritual-ritual simbolik dan memiliki ketegasan dalam melakukan pembelaan terhadap kemanusiaan. Dalam al Quran disebutkan bahwa Islam dihadirkan oleh Allah sebagai pembawa kasih sayang bagi alam semesta.

Kita tentu saja tidak bisa membuat agama berpihak pada manusia tanpa memahami bahwa agama diciptakan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Tuhan tidak butuh pembelaan, penyembahan, bahkan Dia tidak butuh apapun kecuali dirinya sendiri. Manusialah yang membutuhkan agama sebagai jalan keselamatan dan kesejahteraan. Andaikan seluruh rakyat Indonesia ingkar kepada Allah sekalipun tidak akan membuat kekuasaan-Nya berkurang. Allah tetap mahakuasa dengan atau tanpa penyembahan dari manusia.

Terakhir, mari kita mulai memaknai dimensi kemanusiaan agama dengan memandang realitas secara objektif. Jika kita hendak menolong orang lain, kita tentu saja tidak perlu menayakan apa agama dan keyakinannya. Karena kehadiran Islam, sekali lagi, bukan hanya untuk umat islam saja, melainkan menjadi pembawa kasih sayang bagi semesta. Wallahu a`lam bis shawab.