abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Selasa, 10 Agustus 2010

Puisi Jalaludin Rumi

Diposting oleh abrar aziz

Menangislah!

Matsnawi, Buku Kelima 65-149

Karena tangisan awan, taman pun tersenyum
Karena tangisan bayi, air susu pun mengalir

Pada suatu hari ketika bayi tahu cara, ia berkata
“Aku akan menangis agar perawat penyayang tiba”

Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat Agung
Tidak akan berikan susu jika kamu tidak meraung

Tuhan berfirman, “Menangislah sebanyak-banyaknya”
Dengarkan, anugrah Tuhan kan curahkan air susunya

Tangisan awan dan panas mentari
Adalah tiang dunia, rajutlah keduanya

Jika tak ada panas mentari dan tangisan awan
Mana mungkin bakal kembang semua badan

Mana mungkin musim silih berganti
Jika kemilau dan tangis ini berhenti

Mentari yang membakar dan awan yang menangis
Itulah yamg membuat dunia segar dan manis

Biarkan matahari kecerdasanmu terus-menerus terbakar
Biarkan matamu, seperti awan, kemilau karena airmata yang keluar

Menangislah seperti rengekan anak kecil, jangan makan rotimu
karena roti jasmanimu akan mengeringkan air ruhanimu

Ketika tubuhmu rimbun dengan dedaunan yang subur
Siang malam batang rohmu melepaskannya seperti musim gugur

Kerimbunan tubuhmu adalah kerontangan rohmu
Segeralah, jatuhkan tubuhmu, tumbuhkan rohmu!

Pinjami Tuhan, pinjamkan kerimbunan tubuhmu
Tukarkan dengan taman yang merkah dalam jiwamu

Berikan pinjaman, kurangi makanan badanmu
Biar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu

Ketika badan mengeluarkan semua kotoran keji
Tuhan mengisinya dengan mutiara dan kesturi

Orang itu telah menukar kotoran dengan kesucian
Dari “Dia sucikan kamu” ia peroleh kenikmatan

Terjemahan: Jalaluddin Rakhmat

Minggu, 25 April 2010

Sambutan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah
Untuk Muktamar XIV Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Manusia adalah makhluk pencipta sejarah. Setiap zaman melahirkan pelaku-pelaku sejarah yang selalu di bincang sepanjang masa. Tentu saja hanya mereka yang mampu berperan signifikanlah yang mendapat tempat khusus dalam lembar sejarah. Apa yang membuat Soekarno selalu dibicarakan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia? Apa yang dilakukan Simon Bolivar hingga tidak ada seorang sejarawanpun yang melupakannya saat membicarakan kemerdekaan Negara-negara Amerika Latin? Yang mereka lakukan adalam mengambil peran yang sangat signifikan hingga mustahil mereka terlewatkan saat kita membicarakan kemerdekaan Negara mereka masing-masing.
Sejarah juga sepertinya sudah terlanjur mempercayakan kepada mahasiswa untuk melakukan perubahan. Sebut saja ketika revolusi mengusir Uni Soviet dari Hungaria tahun 1956 dimotori oleh Dewan Mahasiswa Revolusioner melalui Manifesto 14. Union National des Etidiants de France (UNEF) - wadah perjuangan mahasiswa Perancis – memelopori pemogokan umum menyeluruh selama dua bulan pada Mei - Juli 1968. Aksi ini memicu “Krisis Mei” yang tercatat dalam sejarah sebagai krisis paling hebat di Prancis sepanjang abad 20.
Di Sudan, University Student’s Union, gerakan mahasiswa disana, dengan kuat menekan rezim Jenderal About tahun 1964 dengan melakukan pemogokkan umum dan berhasil memaksa sang Jenderal memberhentikan menteri-menterinya yang korup.
Di Indonesia, gerakan para mahasiswa Indonesia di Belanda yang awalnya bernama Indische Vereeninging, dan kemudian dikenal dengan Perhimpunan Indonesia, melakukan propaganda kemerdekaan Indonesia. Sepanjang sejarah kemerdekaan dan masa pembangunan bangsa pasca-proklamasi, gerakan mahasiswa tidak pernah absen untuk menorehkan namanya dalam lembar-lembar sejarah bangsa.
Dalam hal ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang lahir dari rahim sejarah pergolakan bangsa Indonesia pada 1964 juga terus bergerak mengawal kemerdekaan. Melalui pencerahan intelektual dan praksis gerakan – sebagaimana semangat gerakan Ahmad Dahlan – IMM berperan besar dalam proyek pencerahan tersebut. Sebagaimaa dalam deklarasi awal berdirinya; Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah (poin ketiga "Enam Penegasan IMM").
Deklrasai ini menunjukan bahwa corak gerakan IMM adalah intelektual progressive atau intelektual organic dalam istilah Gramci, Karl Mannheim, atau Ernest Gellner. Menurut mereka, kaum intelektual memiliki tanggung jawab yang besar dalam memperjuangkan kebenaran guna mewujudkan keadilan dan kebebasan. Model intelektual seperti ini yang juga diteladankan oleh KH. Ahmad Dahlan. Beliau adalah cendekiawan ulung sekaligus aktivis yang selalu bergerak melakukan pencerahan umat. Sebuah teladan yang harus selalu diikuti oleh semua ortom, termasuk IMM.
Muktamar XIV Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tahun ini merupakan momentum untuk kembali mengambil peran sejarah untuk kebaikan negeri ini. Hiruk pikuk dan sirkus politik yang terjadi dewasa ini harus segera diakhiri. Masa transisi demokrasi – sejak reformasi – sudah berjalan terlalu lama hingga diperlukan sebuah gerakan yang mengakhiri masa “transisi” ini dan menggantikannya dengan masa demokrasi seutuhnya. Dan bagaimanapun, gerakan mahasiswa – yang oleh sejarah terlanjur dipercaya untuk melakukan perubahan – harus berada digarda untuk menjalankan misi tersebut.
Dalam konteks inilah, Muktamar kali menjadi sangat penting maknanya. Yaitu untuk mempertajam misi amar maruf nahi munkar, baik dalam ikatan, persyarikatan, dan lebih-lebih dalam problematika kebangsaan. Tema yang diusung; Menorehkan Tinta Emas Menuju Indonesia Sejahtera, merupakan niat luhur yang harus diwujudan dalam ikhtiar mengambil peran membangun bangsa.
Sejarah harus mencatat IMM dengan tinta emas karena perjuangan panjang yang telah dilakukan. Dan IMM harus terus mengukir perjuangan itu jika tidak ingin terkubur dalam rimba sejarah yang gulita. Karena waktu terus bergulir dan hanya mereka yang mampu mengambil peran signifikanlah yang akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Muktamar kali ini, sekali lagi, adalah momentum untuk kembali menorehkan tinta emas tersebut.
Selamat ber-Muktamar…!!!
Jayalah IMM jaya,,, abadi perjuangan kami,,,!!!

Jakarta, 7 April 2010
Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Rabu, 24 Maret 2010

Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo

Diposting oleh abrar aziz

Zainal Abidin Bagir

Center for Religious and Cross-cultural Studies, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
Secara garis besar, ada dua gagasan utama Kunto yang dibahas di sini: pengilmuan Islam dan integrasi ilmu dengan etika. Meskipun di tulisan-tulisan awalnya (80-an dan awal 90an) ia tampak bersimpati pada gerakan islamisasi ilmu, belakangan ia membedakan gagasannya tentang pengilmuan Islam dari gerakan tersebut, bahkan mengatakan bahwa “gerakan islamisasi ilmu mesti ditinggalkan”. Kuntowijoyo meyakini objektifitas ilmu, namun menolak klaim bebas-nilainya, dalam artian netralitas/ketakberpihakan. Di satu sisi, Islam mesti dijadikan ilmu (diobjektifikasi); di sisi lain, ilmu-ilmu (khususnya sosial) mesti menyatakan keberpihakan yang jelas, yaitu kepada cita-cita profetik universal agama-agama: humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Almarhum Kuntowijoyo pernah membawakan kisah yang dikutipnya dari Bakdi Sumanto. Alkisah, Pak Fulan bin al-Jawi, seorang pensiunan, duduk di kursi goyang sambil memutar tasbihnya. Ia gelisah, “Apa yang kurang ya?” Pajak … sudah, zakat … sudah, premi asuransi sudah, Takaful sudah…. Tiba-tiba ia teringat: Tuhan menyuruhnya masuk Islam secara total. Padahal, mobil Kijangnya yang baru belum masuk Islam. Ia pun mengambil gergaji dan jongkok di samping mobilnya. Ketika ditanya istrinya, ia menjawab, “ternyata mobil kita belum masuk Islam. Maka saya sedang menyunat, memotong ujung knalpotnya.” [2]

Tak sembarangan kiranya jika Kunto mengambil kisah ini untuk menggemakan peringatannya. Kisah ini adalah satu sisi krusial dari beberapa persoalan besar yang ingin dipecahkannya. Sebagai seorang Muslim pemikir, Kunto ingin menemukan bagaimana janji Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat dijadikan kenyataan. Haruskah untuk itu Islam dijadikan ideologi? Atau paradigma keilmuan? Haruskah hermeneutika diterapkan untuk memahami pesan al-Qur'an? Atau strukturalisme?

Kisah pembuka tulisan ini memang amat sinis, tapi juga merupakan ilustrasi amat kuat tentang bagaimana menjadikan Islam sebagai rahmat alam semesta dapat dipahami sebagai gerakan “islamisasi semua bidang kehidupan demi menjalankan Islam kaaffah” dalam wujudnya yang naif. Sebagai seorang ilmuwan, Kuntowijoyo menggali pandangan-pandangan alternatif yang berputar di sekitar beberapa konsep kunci: objektifikasi, pengilmuan Islam (atau Islam sebagai ilmu), dan cita-cita profetik. [3]

Secara harfiah, frasa “pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dari sini saja bisa muncul banyak pertanyaan. Pertama, perlu diperhatikan bahwa ia tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, misalnya. Tapi Islam itu sendiri yang merupakan ilmu. Dengan “pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam adalah caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.



Objektifikasi Islam: dari mitos dan ideologi menjadi ilmu

Satu cara untuk memahami gerak “pengilmuan Islam” adalah dengan memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan Muslim yang dibuat Kunto. (ISI, 80-81) Periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu. Keputusan baik yang diambil di suatu periode belum tentu akan bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos , lalu sebagai ideologi , dan terakhir sebagai ilmu . Pembahasan lebih dalam mengenai ini ada di cukup banyak tulisan Kunto yang tersebar sejak tulisan-tulisan awalnya mengenai analisis sosisal politik umat Islam Indonesia . Untuk keperluan makalah ini, cukuplah dikemukakan beberapa unsur terpentingnya saja.

Periodisasi ini sesungguhnya awalnya dibuat untuk membagi sejarah politik umat Islam (khususnya di Indonesia ). Namun karena pembagian ini dibuat berdasarkan sistem pengetahuan masyarakat, ia berguna pula untuk memahami gerakan pengilmuan Islam yang diusulkan untuk periode terakhir umat Islam ini. Pada periode pertama, Islam dipahami lebih sebagai mitos ; sebagai sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, dijaga kemurniannya dari campuran-campuran non-islami, dan jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar. Karenanya Kunto menyebut bahwa tradisi ini biasanya bersifat deklaratif atau apologetis. (MTM, 102-103). Sebuah indikasi menarik yang diajukan Kunto adalah mengenai maraknya buku-buku jenis itu yang diterbitkan Bina Ilmu atau Gema Insani Press.

Islam sebagai ideologi sudah bersifat lebih rasional, tapi masih terlalu apriori/ nonlogis. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam bidang politik, ciri utama gerakan ini adalah berdirinya organisasi-organisasi politik, dan ditandai dengan gagasan pembentukan Negara Islam. Islam eksis hanya jika ia eksis secara institusional-formal. Karena itu, ketika di Indonesia semua ormas diharuskan berasas Pancasila, ini dipahami sebagai upaya de-islamisasi. Padahal, kata Kunto, ini juga bisa dilihat sebagai isyarat bahwa Islam perlu memasuki babak baru, yaitu periode Islam sebagai ilmu.

Dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam, yang akan di bahas di bawah. Untuk mengambil contoh aktifitas dalam periode ini di bidang politik, Kunto memahami benar bahwa bagi para founding fathers Indonesia yang Muslim, menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta amat berat dilakukan, namun toh akhirnya dilakukan juga. Keputusan yang sama beratnya mesti diambil ketika pada masa Orde Baru terjadi marjinalisasi keterlibatan politik Muslim. Namun, kata Kunto, “sekali lagi diminta kesadaran bahwa umat menjadi bagian dari bangsa yang plural.” (ISI, 50) “Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … [Padahal] Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” (ISI, 82) Gagasan objektifikasi Islam diharapkan “dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi, umat sendiri, dan nonumat.” (ISI, 83)

Secara kurang tepat namun mungkin cukup instruktif, bisa dikatakan bahwa dengan melakukan objektifikasi, “baju Islam” (“Islam sebagai baju”) ditanggalkan, dan Islam secara substansial tampil secara universal. Nilai-nilai Islami menjadi sesuatu yang bisa diterima orang, Muslim ataupun non-Muslim, karena kebaikan nilai-nilai itu sendiri, bukan karena nilai-nilai itu disebut “Islami”. [4] Dengan cara ini, Islam menjadi rahmat untuk alam semesta.

Namun ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar ia benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya memenuhi keinginan eksklusif sebagian kaum beragama tertentu untuk menegaskan identitasnya. Persis itulah yang menjadi salah satu tujuan objektifikasi, yaitu untuk menghindari dominasi satu kelompok agama atas kelompok-kelompok lainnya. (ISI, 65) Dengan ini, Muslim masih dapat tetap menjadikan al-Qur'an sebagai sumber hukum. Namun, “Objektivikasi Islam akan menjadikan al-Qur'an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara.” (ISI, 66) Muslim tak dapat serta merta menerapkan syari'ah menjadi hukum negara, misalnya, tapi itu hanya dapat dilakukan jika ada kesepakatan dari semua, termasuk non-Muslim. Ini hanya bisa dicapai jika nilai-nilai Islam itu telah diobjektifikasi sehingga tampil sebagai nilai-nilai yang dapat diterima semua orang lepas dari latar belakang/sumber nilai-nilai itu.

Sesungguhnya, Kunto juga menyarankan bahwa semua agama melakukan hal yang sama, objektifikasi. (ISI, 67) Jika demikian, ini akan menjamin bahwa konflik dapat dihindari. Islam—dan sesungguhnya semua agama—bukan lagi berwujud identitas atau simbol yang diterjemahkan dalam label-label institusional yang menarik garis antara kelompokku dan kelompokmu, tapi justru ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif. Kalaupun, misalnya, partai Islam atau partai Kristen ingin didirikan, perjuangannya tak lagi bersifat partisan. Nilai-nilai agama tertentu bisa diusung dalam agenda perjuangannya, tapi sebagai nilai-nilai yang kebaikannya bersifat objektif, bisa dipahami semua orang.



Dua pra-anggapan filosofis: rasionalisme dan pluralisme

Beberapa paragraf terakhir di atas menyiratkan beberapa pra-anggapan filosofis Kuntowijoyo. Setidaknya ada du hal yang bisa dicatat di sini: (1) Dalam polarisasi mazhab rasionalis dan tekstualis, posisi Kuntowijoyo ada dalam “kubu” pemikiran Islam yang lebih rasionalis; (2) Ia meyakini bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa.

(1) Sejak masa awal pemikiran Islam, ada perdebatan di kalangan pemikir Muslim yang membagi mereka ke mazhab-mazhab rasionalis ( mu'tazili ) dan tekstualis. Kaum tekstualis, misalnya, memahami bahwa sesuatu perbuatan bersifat baik atau buruk karena ia diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan; kaum rasionalis, sebaliknya, melihat bahwa sesuatu perbuatan dilarang atau diperintahkan oleh Tuhan karena perbuatan tersebut bersifat baik atau buruk. Yang pertama menaruh kesetiaannya pertama-tama pada teks; yang kedua terutama melihat adanya nilai inheren yang objektif dalam agama. Ini jelas memberi ruang yang cukup besar bagi manusia untuk memikirkan rasionalitas teks. Bahkan, bagi kaum rasionalis yang cukup “ekstrem”, karena kebaikan tersebut bersifat objektif, itu berarti ia accessible untuk pikiran manusia. Implikasinya, kebenaran-kebenaran tersebut dapat dicapai tanpa melalui medium kenabian/kitab suci. (Inilah salah satu yang ingin ditunjukkan dalam novel populer Hayy ibn Yaqzhan. )

Kunto saya kira tak ingin bergerak sejauh itu. Namun secara teoretis, keyakinannya akan rasionalitas Islamlah yang memungkinkannya menggagas objektifikasi Islam. Sementara kaum tekstualis selalu ingin kembali kepada teks; kaum rasionalis seperti Kuntowijoyo berangkat dari teks namun kemudian bergerak jauh untuk menjelajahi dunia. Yang pertama biasanya bersifat amat normatif, yang kedua empiris. Inilah yang di bawah nanti akan ditunjukkan sebagai salah satu pembeda pengilmuan Islam dari islamisasi ilmu.

Ciri utama periode ilmu adalah aktifitas objektifikasi Islam agar “Islam jadi rahmat untuk semua”. (ISI, 50) Gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena ia berasal dari Islam; berasal dari Islam atau tidak, itu tak penting lagi. Yang penting adalah bahwa nilai-nilai itu bisa ditunjukkan sebagai mengandung kebaikan pada dirinya sendiri, sehingga sumber nilai-nilai itu menjadi tak penting; yang penting adalah kemampuan menjustifikasinya secara rasional, demi mempersuasi sebanyak mungkin orang untuk menerimanya.

Sebagai hasilnya, “Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.” (ISI, 57) Objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tanpa mengenal agamanya, non-agama, bahkan anti agama. “Pendeknya, dari orang beriman untuk seluruh manusia.” (ISI, 58)

(2) Hal yang persis sama berlaku untuk agama-agama lain, yang bagi Kunto juga perlu melakukan objektifikasi agar manfaatnya dirasakan semua orang. Ini karena ia tampak yakin benar bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa. Untuk ini, cukuplah mengutip pernyataannya yang paling jelas dan eksplisit dalam tulisan terakhirnya “Maklumat Sastra Profetik” (MSP) di Horison (Mei 2005). Sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, yang melampaui keterbatasan akal manusia,

“… Kitab Suci yang satu tidak lebih tinggi daripada Kitab Suci lainnya. Mereka sejajar. Islam mengajarkan (Al-Quran, 3: 64) tentang adanya kalimah sawa' (titik temu, konsensus, common denominator ). Tidak ada pertentangan tentang hal-hal yang fundamental, meskipun ada perbedaan dalam detailnya. Maka sekalipun dalam maklumat ini saya hanya mengemukakan ajaran dari satu Kitab Suci saja, saya yakin dapat mewakili semua Kitab Suci lainnya. Sebab, maklumat ini hanya akan membicarakan hal-hal yang ada titik temunya, dan yang tidak kontroversial.” (MSP, 8)

Kalimat terakhir perlu digarisbawahi: bagi Kunto, keberpihakan pada etika profetik (yang dijabarkannya menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) adalah hal-hal yang tak kontroversial, bisa diterima semua orang (kecuali mungkin nilai ketiga, yang bermakna hanya bagi kaum beragama). Bagi Kunto yang Muslim, inspirasi mengenai ketiga cita-cita profetik ini didapatnya dari Al-Qur'an 3: 110 (“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf , dan mencegah dari yang munkar , dan beriman kepada Tuhan ”). Kunto membaca ayat ini sebagai perintah untuk meperjuangkan humanisasi ( amar ma'ruf ), liberasi ( nahi munkar ), dan transendensi (beriman kepada Tuhan). Tanpa melakukan kajian lebih jauh, tampaknya tak sulit menemukan cita-cita profetik yang serupa di agama-agama lain.

Dalam tulisan terakhirnya, “Maklumat Sastra Profetik”, ia menjabarkan agenda etika profetik itu secara lebih terinci. Yang pertama, adalah melawan kecenderungan dehumanisasi (dalam wujud manusia mesin, manusia massa , dan budaya massa ). Agenda liberasi adalah pembebasan masyarakat dari penindasan politik dan negara, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender. Agenda transendensi adalah “menghidupkan kembali” Tuhan yang telah dibunuh oleh beberapa aliran filsafat Barat. (MSP, 11-16)





Islamisasi ilmu versus pengilmuan Islam

Di atas “pengilmuan Islam” dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan “pengilmuan Islam”. Dalam konteks yang berbeda, Kunto membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan islamisasi ilmu . (ISI, 6-11) Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks ke konteks; islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks; sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur'an dan Sunnah).

Dalam beberapa pembahasan Kunto, pengilmuan Islam terkadang sulit dibedakan dari islamisasi ilmu, dan tampaknya di tulisan-tulisan awalnya Kunto tak secara ketat membedakan keduanya. Atau, penjelasan yang menurut saya lebih memuaskan adalah bahwa Kunto sesungguhnya telah mengubah posisinya mengenai gagasan islamisasi ilmu, yang di tahun 80-an dan 90-an merupakan gagasan yang amat populer di dunia Muslim. Perubahan posisi Kuntowijoyo tampak cukup jelas dalam buku Islam sebagai Ilmu yang mengandung bab-bab yang ditulis pada 1991 hingga 2004. Sebagai contoh, di bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991) ia menyebutkan secara positif (dan eksplisit) upaya islamisasi ilmu yang dipahami sebagai upaya perumusan teori yang didasarkan pada paradigma al-Qur'an. (ISI, 26). Ia juga tak bersepakat dengan Ziauddin Sardar yang mengkritik upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. (ISI, 93) Namun dalam tulisannya yang terbit pada 2002, ia menghadapkan pengilmuan Islam sebagai alternatif bagi islamisasi ilmu. (ISI, 6). Di pengantar buku itu, Kunto bahkan secara tegas mengatakan, “… gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah ‘pengilmuan Islam'. Kita harus meninggalkan ‘Islamisasi pengetahuan'….” (ISI, 1)

Di tulisan-tulisannya yang belakangan itu, tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman ilmu dengan pengilmuan Islam. Perbedaan pertama adalah dalam hal metodologinya. Yang pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah wujud, yang dipandang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih dipahami sebagai teks. (ISI, 8) Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular. (ISI, 53) Berangkat dari keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan humanisasi), yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan peran yang cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan umat manusia. Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah bahwa yang belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat memecahkan persoalan. (ISI, 52)

Di sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan tek-teks agama; dengan kata lain, menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan Islam”. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif.

Jadi, di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekular, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikan, tapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. (ISI, 52, 57) Kerangka teoretis inilah yang ingin diturunkan Kuntowijoyo dari kitab suci (dalam hal ini, al-Qur'an).

Secara umum, bagi Kunto, modal utama untuk memperbaiki ilmu-ilmu modern adalah agama. Agama penting dilibatkan di sini justru karena keberpihakannya cukup jelas, yaitu kepada kepentingan kemanusiaan (yang, sebagaimana disinggung di atas, dijabarkan menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) . Namun, sekali lagi, ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya absah bagi pemeluknya.

Dari pemaparan sejauh ini, perlu diperhatikan bahwa meski Kuntowijoyo menyebut pengilmuan Islam sebagai alternatif islamisasi ilmu, gagasan ini tak bisa semata-mata ditempatkan dalam rubrik “ilmu dan agama”. “Ilmu dan agama” biasanya berbicara tentang hubungan ilmu dan agama (misalnya, pertanyaan mengenai apakah keduanya dalam konflik atau harmoni? Bagaimana mengintegrasikan keduanya? Perlukah ilmu menjadikan agama sebagai salah satu sumbernya?) Pengilmuan Islam sedikit banyak memang berbicara tentang hubungan ilmu dan agama, tapi juga tentang bagaimana Islam sebagai sebuah agama mesti dihayati Muslim kontemporer. Untuk yang belakangan ini, contoh-contoh terbaiknya justru berada dalam wilayah pembicaraan tentang posisi Muslim dalam ranah sosial-politik Indonesia .

Pertama , melalui analisis tiga periode yang diajukannya, pengilmuan Islam berusaha menjelaskan posisi umat Islam dalam panggung sosial politik. Kedua , tak berhenti pada memberikan penjelasan, pengilmuan Islam juga merupakan saran kemana umat Islam mesti bergerak. Ketiga , secara lebih umum, pengilmuan Islam dapat dianggap sebagai suatu teori sosial mengenai gerak sejarah umat Islam. Di sinilah tampaknya kedua makna pengilmuan Islam bertemu: karakter ilmu sosial yang digagas Kunto tak sekadar berhenti sebagai ilmu (yang fungsi utamanya adalah menjelaskan fenomena/peristiwa), tapi punya ‘ambisi' melakukan transformasi.

Dalam sebuah tulisannya, Kuntowijoyo menyinggung tentang gagasan teologi transformatif yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman, dan ia mencoba memahami mengapa gagasan ini sulit diterima kebanyakan Muslim. (ISI, 88-91) Sebabnya, bagi mereka teologi adalah sesuatu yang sudah selesai—tak perlu ada teologi baru. Dengan pembahasan di paragraf sebelum ini, kita bisa memahami mengapa kemudian dalam kesempatan itu Kunto mengajukan “ilmu sosial profetik” sebagai alternatif bagi “teologi transformatif”. “Ilmu” bisa menjadi alternatif bagi “teologi” ketika keduanya dipahami secara lebih luas. Di satu pihak, teologi dipahami bukan sebagai sekumpulan doktrin tentang masalah-masalah ketuhanan saja, tapi juga keingina n menyikapi kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan (ISI, 89); dengan kata lain, teologi adalah juga cara menafsirkan realitas empiris, dan karenanya dinamis. Di pihak lain, ilmu dipahami sebagai tak bebas-nilai (tak berpihak), tapi mengandung aspirasi transformasi sosial dalam bentuk cita-cita profetik.

Pertanyaan berikutnya: apakah ketakbebasnilaian itu tak bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif (melakukan objektifikasi)? Satu penjelasan yang bisa diajukan adalah, ketika Kunto menyebut objektifitas, yang lebih ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam artian pengalaman publik yang bisa dipahami/diverifikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subjektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof kini lebih senang menggunakan istilah trans-subjektif. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas di antara komunitas keilmuan.

Sementara itu, keberpihakan (ketakbebasnilaian) adalah persoalan lain. Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern mengklaim bersifat bebas-nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan yang tersembunyi. Beberapa contoh yang bisa diberikan adalah ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi (neo-)liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal [5] ; ilmu mengenai sumber energi yang lebih dikembangkan ke teknologi tertentu (misalnya, energi fosil dan nuklir, sembari mengabaikan energi surya); dan sebagainya. (Contoh-contoh lain diberikan dalam ISI, 57) Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini, kalaupun pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya hanya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan Kuntowijoyo adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada akhirnya, ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya. (ISI, 57) Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia.

Sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa perbedaan pengilmuan Islam dengan islamisasi ilmu terletak dalam beberapa hal. Pertama , pengilmuan Islam lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua , islamisasi ilmu lebih bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan memberikan perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga , pengilmuan Islam (dalam wujudnya sebagai ilmu sosial profetik) lebih menekankan pada berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris itu.



Penutup

Kuntowijoyo adalah suatu sosok multidimensional—seorang ilmuwan sosial, sejarawan, dan sastrawan. Dengan mengangkat gagasan pengilmuan, ia ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.

Dengan ini kita bisa memahami “ambisi”-nya melakukan outreach ke sebanyak mungkin orang, tanpa mengenal batasan-batasan identitas. Perhatian utamanya adalah kemanusiaan, dan semua aktifitas, termasuk aktifitas beragama, mesti ditujukan untuk melayani kepentingan umat manusia. Tak mengherankan jika ia sempat menolak ajakan malaikat untuk terbang ke langit, seperti disampaikan oleh puisi yang menjadi motto seminar ini. Sebagaimana ditunjukkan Nabi Muhammad, hatinya ada bersama manusia yang hidup di dunia ini, khususnya kaum yang menderita. Salah satu kisah Nabi Muhammad yang tampaknya menjadi favoritnya dan kerap disampaikannya adalah kisah yang disampaikan penyair-filosof Muhammad Iqbal mengenai penolakan Nabi untuk tetap tinggal di langit dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Ia ingin kembali ke bumi untuk melaksanakan cita-cita profetiknya. Solidaritas kemanusiaan universal inilah kiranya yang menjadi pesan utama dakwah Kunto, dan yang sulit ditolak bahkan oleh kaum pasca-modernis yang mencurigai setiap klaim universalitas.



Daftar Rujukan Karya-karya Kuntowijoyo:



MSP: “Maklumat Sastra Profetik”, Horison , Mei 2005, 8-19

ISI: Islam Sebagai Ilmu , Jakarta : Teraju-Mizan, Juni 2004.

MTM: Muslim Tanpa Masjid , Bandung : Mizan, Februari 2001.

IPUI: Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan, Mei 1997.



[1] Disampaikan dalam diksusi tentang pemikiran Kuntowijoyo yang diadakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005, di UGM.

[2] Diungkapkan Kuntowijoyo dalam makalahnya untuk Seminar dan Lokarya IAIN Sunan Kalijaga, 18-19 September, 2002.

[3] Bahan terpenting untuk makalah ini adalah salah satu buku terakhirnya, Islam Sebagai Ilmu (Teraju, Juni 2004; selanjutnya disingkat ISI) Buku ini sebetulnya merupakan kumpulan tulisan dari bab-bab atau makalah-makalah yang sudah pernah diterbitkan di tempat lain. Meski demikian, ini sama sekali tak mengurangi nilainya. Benih-benih gagasan ini telah ada sejak tulisan-tulisan paling awalnya, dan tersebar di banyak tempat. Dengan menyatukannya dalam satu buku, gagasan ini mampu tampil dengan lebih utuh. Alasan lain penerbitan buku ini, seperti diakui penulisanya sendiri, adalah karena gagasan pengilmuan Islam yang digagasnya telah cukup sering dikacaukan dengan islamisasi ilmu yang memang cukup populer, tak hanya di Indonesia tapi di dunia Muslim umumnya, sejak sekitar dasawarsa 70-an.

[4] Kuntowijoyo membandingkan ini dengan gagasan Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”; substansinya mirip, tapi argumennya berbeda. (ISI, 73)

[5] Satu contoh untuk ini adalah gagasan ekonomi Pancasila yang dikembangkan Alm. Prof. Mubyarto. Secara singkat, ekonomi Pancasila adalah ekonomi rakyat; ekonomi yang meletakkan kesejahteraan rakyat, bukan pemilik modal, pada prioritas pertama. Keberpihakan kepada rakyat dalam hal ini adalah suatu nilai yang perlu diajukan tidak secara normatif, tapi dengan cara mengobjektifkannya: yaitu, meyakinkan orang lain secara argumentatif dan menggunakan data-data empiris bahwa ekonomi yang sehat harus meletakkan kepentingan rakyat pada prioritas pertama. Jadi, di sini ada pilihan etis, dan ekonomi, menurut ilmu profetik, tak seharusnya bersikap netral. Keinginan untuk netral seringkali justru berarti keberpihakan tersembunyi.



Makalah Dipresentasikan dalam Diskusi Sehari tentang Pemikiran Kuntowijoyo, Diselenggarakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005, di UGM.

Bahaya Itu Masih Ada

Diposting oleh abrar aziz



Abrar Aziz

Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Sebuah buku berjudul “Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” di luncurkan beberapa waktu lalu. Sebagaimana banyak tersiar di media bahwa buku tersebut memliki target bidikan yang sangat jelas, gerakan Islam “garis keras”. Tentu saja ini bukan karya pertama yang mengkaji tentang gerakan yang juga disebut Islam Transnasional ini. Haedar Nashir, Imdadun Rahmat, Hamid Algar, dan beberapa cendekiawan lainnya telah menyumbangkan pemikirannya tentang gerakan yang ditasbihkan kepada beberapa organisasi Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Wahabi ini. Tulisan ini tidak berniat mengomentari karya intelektual tersebut. Namun sekedar mengingatkan bahwa bahaya itu masih ada.


Sebagai sebuah bangsa dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, Indonesia jelas merupakan target dari berbagai ideologi yang berkepentingan dengan Islam. Sebuah kenyataan yang tidak begitu mengherankan. Pertarungan ideologi dan pengaruh antar gerakan Islam sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Negara ini didirikan. Contoh yang paling mudah diingat adalah khilafiah yang terjadi antara dua organisasi Islam tertua di negeri ini, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Meski apa yang terjadi sebetulnya bukanlah perang ideologi melainkan perbedaan dalam hal furu` (cabang dalam fiqh) saja. Sehingga dua ormas Islam ini tetap menjadi pilar Islam di Indonesia.

Dalam hal dasar Negara misalnya, tidak ada perbedaan pandangan bagi keduanya. Hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah final karena sejatinya sudah Islami meski tidak berlabel Islam. Sebaliknya jika hukum nasional itu dilabeli dengan stempel Islam tentu hal ini akan menimbulkan kecemburuan bagi agama lain. Selain itu, stempel Islam bertentangan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang selama ini kita anut.

Namun akhir-akhir ini dinamika pemikiran Islam di Indonesia menjadi sangat menarik untuk disimak dengan hadirnya beberapa organisasi Islam yang memiliki ideologi berbeda dengan dua ormas di atas. Para cendekiawan menyebutnya dengan Islam transnasional karena mereka membawa ideologi Islam “asing” ke Indonesia. Hizbut Tahrir (HT) misalnya, mereka hadir dengan cita-cita luhur membagun sebuah dinasti Islam yang mereka sebut Khilafah Islamiyah.

Taqiyudin Nabhani, pendiri HT, berpandangan bahwa umat Islam hari ini telah kembali ke zaman jahiliah. Hal terjadi karena umat Islam tidak bisa lepas dari cengkraman Barat. Untuk itu berdirinya Khilafah internasional dimana hukum Islam dijadikan sebagai hukup positif, merupakan sebuah keniscayaan untuk merebut kembali kejayaan Islam masa lampau. Gerakan yang berasal dari Yarusalem Timur ini telah menyebar empat puluh Negara, termasuk di Indonesia dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Sebagai sebuah hasil ijtihad, ide untuk mendirikan Khilafah Islamiyah ini tentu tidak ada masalah. Karena, sebagaimana demokrasi, hasil ijtihad manusia harus dihargai terlepas benar atau salahnya ijtihad itu. Namun jika imperium Islam itu dianggap sebagai satu-satunya sistem yang diridhoi Allah, persoalannya menjadi lain. Yang jelas sistem Khilafah sebagaimana dimaksud oleh Hizbut Tahrir sama sekali tidak memiliki rujukan teologis yang kuat sebagaimana termaktub dalam keputusan Majelis Bahtsul Masa’il Nahdatul Ulama tentang Khilafah. Selain itu, secara historis sistem ini juga bermasalah. Al Quran dan Sunnah memang menjelaskan bahwa pemimpin yang ideal itu adalah pemimpin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta juga mencintai ummatnya sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan Khalifah Rasyidin. Namun tidak ada petunjuk bagaimana membangun sistem pemerintahan. Bahkan jika kita merujuk kepada sistem kekhalifahan setelah Rasulullah sekalipun, rujukan itu tetap saja menuai masalah. Sejarah membuktikan bahwa sistem khilafah sangat rawan konflik dan perebutan kekuasaan.

Kepemimpinan Khalifah Rasyidin menyisakan perih tak terkira dalam sejarah Islam. Tiga khalifah pengganti Abu Bakar Shiddiq meninggal berkuah darah. Setelah itu, cerita tentang khilafah adalah cerita tentang perang, intrik politik, fitnah, dan bahkan pembantaian keji terhadap cucu Baginda Nabi Hasan dan Hussain. Mungkinkah sejarah kelam itu akan dibangkitkan lagi. Meskipun tidak bisa dinafikkan bahwa pada masa kepemimpinan beberapa khalifah peredaban Islam mengalami kemajuan. Namun tetap saja hal itu tidak bisa menutupi fakta bahwa peradaban itu berdiri diatas simbahan darah manusia.

Selain HT, gerakan ‘import” lain yang hadir di Indonesia adalah Ikhwanul Muslimin (IM). Di Negara asalnya, Mesir, organisasi yang didirikan Hasan al Banna pada tahun 1928 ini dianggap berbahaya. Namun di Indonesia mereka mendapat lahan yang cukup “basah” terutama setelah berhembusnya angin reformasi dengan didirikannya Partai Keadilan yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Tujuan gerakan ini adalah membawa umat Islam kepada ajaran Islam yang murni. Sebuah tujuan yang sangat mulia tentunya.

Namun tujuan baik ini dilakuka dengan cara yang ekstrim. Sayyid Qutb, ideolog IM memimpin gerakan yang agressif melawan panguasa. Setelah ditangkap dan disiksa dalam penjara, Qutb menyerang pemerintah melalui tulisan-tulisannya yang keras. Dalam tulisannya Quth menjelaskan bahwa terwujudnya Negara Islam adalah cita-cita agung yang harus diperuangkan. Tulisan-tulisan inilah yang kemudian mengilhami segenap pengikutnya untuk melakukan aksi-aksi kekerasan yang mengancam keselamatan para pejabat Negara di masa itu.

Di Indonesia, gerakan ini berbagai diberbagai elemen masyarakat terutama di kampus, masjid, sekolah, dan tentu saja pemerintahan dan parlemen. Mereka lebih dikenal dengan nama Gerakan Tarbiyah. Tujuannya kurang lebih sama, yaitu kembalinya Piagam Jakarta. Hal ini dimulai dengan memberlakukan perda-perda syari`h dimana kader-kader mereka berhasil merebut kekuasaan. Seperti yang diberlakukan gubernur Jawa Barat yang mulai membatasi tradisi yang sudah melekat lama di masyarakat, tari Jaipongan.

Menurut KH. Hasyim Muzadi, ide dan gagasan formalisasi syari`at adalah gagasan yang tidak memiliki akar dalam tradisi ke-Indonesia-an. Sehingga jika dipaksakan akan menimbulkan konflik. Integrasi bangsa berada dalam ancaman serius jika syari`at Islam berlaku sebagai hukum formal. Kita harus meyakini Islam sebagai sebuah ajaran yang universal dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Menghilangkan tradisi atas nama Islam adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan.

Bukan hanya soal agenda, cara yang ditempuh kelompok ini juga membuat ormas-ormas Islam gerah. Bahkan Pimpminan Pusat Muhammadiyah merasa perlu mengeluarkan Surat Keputusan nomor 149/KEP/I.0/B/2006 yang intinya mengingatkan warga Muhammadiyah agar berhati-hati dengan ideologi tersebut. SK ini tentu tidak keluar dengan sendirinya. Kasus penyusupan kader-kader Tarbiyah ke masjid-masjid Muhammadiyah, sekolah, dan amal usaha lainnya adalah topik paling hangat dalam Muhammadiyah dewasa ini.

Dan, gerakan terakhir yang diyakini sadang melakukan import ideologi besar-besaran adalah Wahabi. Di Indonesia, gearakan yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab tahun 1703 M ini bergerak dalam berbagai gerakan seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, LIPIA, Majelis Mujahidin Indonesia, dll. Ciri gerakan ini adalah pembacaan terhadap teks secara tertutup. Mereka menolak pengetahuan humanistik, apalagi menafsirkan teks dengan perspektif sejarah. Hasilnya adalah perlawanan yang keras terhadap siapapun yang berbeda pandangan dengannya. Kekerasan bahkan perang sekalipun adalah suatu hal biasa bagi mereka.

Meskipun perang adalah salah satu jalan yang pernah ditempuh Rasulullah. Namun pelaksanaannya harus melalui institusi Negara. Bukan pribadi atau kelompok. Inilah yang menjadi titik soal dari kelompok ini. Mereka merasa berhak menyatakan perang karena menganggap Negara ini dipimpin oleh orang kafir hingga tidak perlu diikuti. Aksi kekerasan itu bukan hanya dilancarkan kepada orang-orang non Islam, tapi juga kepada sesama muslim yang berbeda paham dengan mereka. Tindakan ini tentu saja sangat bertentangan dengan semangat kasih sayang yang diajarkan Al Quran. Dan yang lebih penting lagi, otoritas kebenaran hanya milik Tuhan semata. Sehingga siapapun yang merasa berhak menghakimi keberagamaan orang lain, maka sejatinya mereka telah merampas hak Tuhan itu sendiri.

Terakhir, Islam yang hadir di bumi Indonesia seharusnya memiliki “wajah pribumi” yang pluralsitik hingga mampu berdampingan dengan kekayaan tradisi yang ada di negeri ini. Tradisi Islam yang “diimport”, baik itu dari Palestina, Mesir, bahkan Mekkah sekalipun hanya akan membuat Islam terasa asing. Sekali lagi, sebagai sebuah hasil itihad, gagasan tentang Khilafah, Negara Islam, dan apapun namanya adalah suatu hal yang patut dihargai. Namun memaksakan kehendak ditengah keberagaman merupakan tindakan yang tidak bisa diterima. Sistem apapun yang digunakan, jika masyarakatnya hidup dengan penuh kasih sayang dan saling menghormati, maka masyarakat tersebut sejatinya telah hidup dalam nuansa Islami. Meskipun bukan Negara Islam.

Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah




Agama, Kekerasan, dan Kelompok Sesat

Diposting oleh abrar aziz

Abrar Aziz

Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah


Sejarah panjang umat manusia telah dihiasi dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari kekerasan dalam skala ringan sampai kepada bentuk kekerasan yang lebih sadis seperti perbudakan dan pembantaian. Pilihan menggunakan kekerasan kerap kali diambil oleh manusia primitive yang hidup berkelompok untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Alasannya tentu bisa kita tebak, karena masyarakat primitive belum mampu mengguanakan rasionalitas dalam menyelesaikan masalah. Maka kekerasan adalah pilihan paling mudah dilakukan.

Namun menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah ternyata juga masih menghinggapi sebagian masyarakat modern yang harusnya memiliki kecerdasan melebihi keum primitive. Bahkan yang terjadi hari ini jauh lebih mengerikan. Mereka bisa melakukan kekerasan atas nama apa saja. Bahkan atas nama Tuhan sekalipun. Benarkah Allah menyuruh manusia menggunakan kekerasan untuk membela-Nya?

Yang pasti, sebagaimana disebutkan al Quran, bahwa kehadiran Islam ke muka bumi hanya memiliki satu misi, yaitu menyampaikan kasih sayang bagi seluruh alam. Kita tidak perlu mendalami ilmu tafsir sampai ke tingkat yang paling tinggi untuk memahami ayat tersebut. Maksudnya sangat jelas bahwa kehadiran Islam di muka bumi haruslah membarikan rasa aman dan damai bagi seluruh makhluk alam ini.

Lalu kenapa ada sekelompok umat Islam yang merasa berhak mewakili Tuhan untuk mengadili siapapun yang dianggap sesat? Kenapa mereka merasa memiliki otaritas untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah? Bukankah hanya Allah saja yang berhak menentukan kebenaran dan kesesatan? Pertanyaan diatas tentu sangat mengusik benak kita mengingat kelompok yang merasa menjadi tentara Tuhan sangat yakin sehingga senantiasa menggunakan simbol-simbol Islam dalam setiap jihadnya.

Untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita mulai dengan memberikan pemahaman yang benar tentang agama. Untuk siapa agama diciptakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan sikap keberislaman kita. Dalam ayat terakhir yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad saw. jelas disebutkan bahwa Islam diturunkan untuk kepentingan manusia (al yauma akmaltu lakum diinakum). Ajaran ini diperjelas oleh Rasulullah ketika melaksanakan haji wada` melalui pidatonya yang mengatakan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan, pertama, untuk menyatakan kebenaran. Kedua, untuk melawan penindasan, dan ketiga, membangun ummat yang didasarkan kesetaraan, keadilan dan kasih sayang. Pada banyak tempat dalam al Quran juga disebutkan tentang dimensi kemanusiaan Islam. Seperti adanya prinsip humanisasi (kemanusiaan), liberasi (pembebasan), dan transendensi (Q.S Ali Imran 110). Bahkan orang yang tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan disebut sebagai pendusta agama (Q.S Al Ma`un 1-3).

Pemahaman keislaman seperti ini menjadi sangat penting ketika kita melihat kenyataan banyak umat Islam yang menganggap bahwa Islam adalah agama Tuhan. Hal ini membuat sebagian kita merasa berhak mengatasnamakan Tuhan dan menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan. Konflik atas nama agama yang terjadi belakangan ini membuat kita sangat prihatin. Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama sampai hati melakukan kekerasan terhadap saudara seiman hanya karena beda pemahaman? Padalah Islam lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Namun, yang terjadi adalah saling curiga dan benci antar sesama kelompok Islam.

Landasan normative persaudaraan kasih sayang antar umat manusia terdapat dalam al Quran yang menyatakan bahwa keragaman suku bangsa merupakan sunatullah (ketetapan Allah), namun perbedaan itu tidak dimaksudkan agar manusia saling bermusuhan, melainkan untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan (Q.S Al Hujurat 13). Bahkan secara eksplisit Allah menyebutkan; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu…(Q.S Al Maidah 48).

Keragaman yang dibangun Tuhan dalam kosmologi kehidupan manusia ini tidak dimaksudkan untuk mensubordinatkan satu sama lain. Perbedaan tidak menunjukkan kemuliaan satu sama lainnya. Yang membedakan manusia dalam pandangan Tuhan bukanlah pada fakta perbedaan itu sendiri, melainkan upaya kita untuk memasrahkan diri (bertaqwa) dan memperbaiki kualitas diri. Dan yang meninggikan darjat manusia disisi Tuhan adalah kulaitas iman dan ilmunya (Q.S Al Mujadalah 11).

Kenapa mesti ilmu? Ilmu adalah entitas penting dalam peradaban manusia untuk mencapai kemajuan. Ilmu juga yang membuat manusia mampu menghargai orang lain. Secara kasat mata kita dapat melihat perbedaan cara menyelesaikan masalah antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Iman dan ilmu adalah syarat mutlak yang harus dimiliki agar kita dapat menempatkan agama pada posisi yang sebenarnya. Tidak ada rumusan bahwa orang yang beriman dan berilmu dapat secara membabi buta merusak dan menghancurkan rumah ibadah, meledakkan bom di tengah keramaian, atau menyerang kelompok yang berbeda pandangan dengannya. Inilah yang seharusnya menjadi spirit keberagamaan kita. Yaitu, meningkatkan kualitas keimanan kita dan diwujudkan dengan sikap menghargai pandangan orang lain.

Kekerasan dan Kelompok Sesat

Sangat jelas bahwa menggunakan kekerasan dalam menyampaikan pandangan dan keyakinan sama sekali tidak memiliki landasan teologis yang jelas. Kekerasan atas nama Tuhan yang dilakukan oleh segelintir orang Islam mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka adalah kelompok yang frustasi terhadap kondisi sosial masyarakat yang masin sembraut. Umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini ternyata tidak mampu memberikan jalan keluar, bahkan sebagian malah menjadi biang masalah. Disamping banyaknya muncul kelompok-kelompok keyakinan yang berbeda dengan keyakinan yang sudah mapan. Dan kelompok keyakinan ini ternyata tumbuh begitu pesat sehingga menimbulkan kepanikan. Dan di tengah suasana panik dan frustasi, pada saat itulah akal menjadi tumpul, dan kekerasan adalah satu-satunua jalan keluar yang tampak.

Kedua, pemahaman yang kurang tepat terhadap ajaran Islam membuat mereka memahami agama hanyalah untuk Tuhan semata. Bagi mereka cita-cita tertinggi adalah ketika gugur dalam membela tuhan-Nya. Padahal Allah tidak butuh pembelaan dari siapapun. Karena tidak satupun makhluk yang akan mampu menandingi-Nya. Allah justru menyuruh agar manusia menyampaikan kasih sayang dan perdamaian serta melakukan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Para “tentara Tuhan” ini sepertinya lupa bahwa jalan kekerasan adalah jalan kaum primitive yang tidak mampu mengoptimalkan rasionalitas. Bahkan biasanya kekerasan yang membabi buta dilakukan untuk tujuan-tujuan yang tidak baik, misalnya untuk melakukan perampokan dan penjarahan. Namun untuk menyampaikan nilai-nilai luhur agama, jalan kekerasan bukanlah pilihan yang terpuji. Bagaimana mungkin Islam yang mengajarkan kasih sayang dan perdamaian didakwahkan dengan cara kekerasan?

Jadi jelas bahwa kelompok yang menggunakan kekerasan atas nama agama telah keliru dalam bertindak. Karena mereka telah melawan kehendak Tuhan. Meskipun mereka tetap merasa telah berbuat kebajikan. Hal ini rasanya sesuai dengan apa yang difirmankan Allah “Katakanlah; Pernahkan kami kabarkan kepadamu tentang orang yang paling merugi amal perbuatannya?. (Yaitu) orang yang sesat jalan hidupnya, tetapi merasa sedang berbuat kebajikan” (QS. Al Kahfi 103-104).

Bukan hanya kelompok yang mengakui adanya rasul setelah Muhammad saja yang dianggap aliran sesat, namun kelompok yang merasa berhak menghukum siapa saja yang dianggap berseberangan dengan “kebenaran” juga dapat disebut sebagai kelompok sesat. Karena mereka telah “merampas” otoritas Allah sebagai pemegang hak kebenaran mutlak. Wallahu a`lam bis shawwab.

Prahara Kuasa dan Tunakuasa

Diposting oleh abrar aziz

Abrar Aziz

Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah



Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolute cendrung menimbulkan korup yang absolute pula)

Ungkapan bangsawan Inggris, Lord Acton di atas sangat popular dalam kamus kekuasaan di Indonesia. Bukan saja karena ungkapan itu bertebaran di berbagai tulisan dan mimbar politik, tetapi juga kerena negeri ini mengerti betul bagaimana pahitnya diperintah oleh rezim dengan kekuasaan yang absolut. Tiga puluh tahun lamanya kita dipimpin oleh kekuasaan absolut yang menyebabkan korupsi absolut pula.

Akibat yang ditimbulkan dari rezim ini sangat jelas. Rakyat tidak diberi banyak pilihan kecuali mengikuti semua kebijakan penguasa tanpa bisa menyuarakan bahwa kebijakan tersebut sangat tidak berpihak kepada mereka. Rakyat dipaksa untuk membenarkan setiap tindakan penguasa meski kadang mereka tahu persis bahwa tindakan yang dianggap benar itu sebetulnya tidak benar. Bagi yang memiliki modal keberanian untuk menyampaikan keberatan-keberatan atas kebijakan rezim, tuduhan subversif berikut berbagai siksaan siap menanti.

Saat ini, sebelas tahun setelah rezim absolut itu runtuh, Indonesia masih belum keluar dari masa transisi. Kurun waktu yang sangat lama untuk sekedar masa transisi. Tentu saja masa transisi ini harus segera diakhiri untuk memulai Indonesia baru yang mandiri dan bermartabat.

Hasil Pilpres 2009

Pemilihan umum 2009 menempatkan Partai Demokrat sebagai pemenang dan pasangan SBY – Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dengan kemenangan yang nyaris sempurna. Dengan koalisi besar yang menguasai labih dari separoh kursi parlemen, pemerintahan ini diharapkan dapat menjadi pemerintahan yang kuat. Apalagi jika Partai Golkar benar-benar bergabung dengan Partai Demokrat, maka kekuatan SBY jelas tidak akan terbendung.

Inilah pangkal masalahnya. Jika logika Lord Acton diatas kita ikuti, maka yang terbentuk bukan pemerintahan yang kuat, tetapi pemerintahan yang absolut yang pada ahkirnya berujung pada korupsi yang absolut pula. Jika Partai Demokrat benar-benar membuka diri terhadap bergabungnya Partai Golkar, dan apalagi PDIP setelah pertemuan Boediono dengan Megawati beberapa waktu lalu, maka langit demokrasi Indonesia akan runtuh dan kita akan memulai perjalanan kembali ke masa lalu; kekuasaan tanpa kontrol.

Lihat saja perilaku politik rakyat Indonesia. Faktor utama yang mempengaruhi pilihan rakyat adalah figur dan citra. Bukan lagi visi dan jejak rekam para kandidat. Ini membuktikan bahwa kekuasaan sangat efektif digunakan sebagai media pencitraan. Beberapa survei menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat telah menentukan pilihan jauh-jauh hari sebelum kampanye dimulai. Karena citra positif berhasil dibangun oleh SBY dan timnya selama memegang puncak kekuasaan. Meski apa yang dicitrakan itu belum tentu benar sepenuhnya.

Jika hal ini tidak disikapi secara jernih, maka jalan menuju kekuasaan absolut sepertinya sudah mulai terbuka. Sudah selayaknyalah partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP, bahkan termasuk Hanura dan Gerindra, berani mengambil sikap oposisi sebagai upaya menjaga agar langit demokrasi kita tidak runtuh dan untuk mencegah kekuasaan absolut tersebut.

Beberapa kasus, meskipun ini tidak bisa dipastikan keterkaitannya, menunjukkan indikasi bahwa kita sudah mulai berjalan memutar waktu. Upaya sebagian kelompok untuk mengecilkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya. Sekali lagi, meskipun kita belum bisa memastikan keterkaitannya, namun upaya memperlemah posisi lembaga yang sudah memberi harapan besar kepada kita untuk memberantas prektek korupsi ini secara sistematis nampaknya mulai dilakukan.

Sejak mencuatnya kasus ketua KPK non-aktif Antasari Azhar, KPK pun mulai digerogoti oleh beberapa kelompok. Bahkan sempat tersiar kabar bahwa beberapa anggota komisioner juga akan diperkarakan di pengadilan. Belum jelas betul siapa atau kelompok mana yang berada di balik upaya mengkerdilkan peran KPK ini. Namun yang jelas kelompok ini sangat bernafsu menghalangi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Dan itu jelas merupakan mental koruptor absolut seperti yang pernah terjadi selama puluhan tahun.

Indikasi lainnya adalah disiapkannya Rancangan Undang Undang (RUU) Rahasia Negara. Agak mengherankan memang sikap pemerintah yang bersikeras mengesahkan RUU ini secepatnya. RUU ini berupaya keras untuk mempersempit akses publik terhadap penyelenggara negara dan birokrasi. Prinsip kerahasiaan dalam RUU ini memiliki cakupan sangat luas sampai ke aspek birokrasi. Dan parahnya lagi, RUU ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada birokrasi untuk menentukan mana yang merupakan rahasia negara dan mana yang bukan. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan sangat mungkin bagi seorang pejabat birokrasi untuk melindungi diri atau koleganya dari jeratan hukum jika mereka melakukan korupsi. Karena mereka memiliki kewenangan untuk menentukan sesuatu sebagai rahasia negara.

Prahara Tunakuasa

Kekuasaan absolut memiliki kekuatan untuk meyakinkan rakyat terhadap kebijakan yang diambilnya. Dengan penguasaan media secara massif dan sistematis, rakyat dipaksa percaya kepada penguasa. Rakyat tidak memiliki pilihan lain kecuali percaya bahwa apa yang dilakukan sang penguasa adalah benar. Kondisi tidak punya banyak pilihan kecuali meyakini kebenaran penguasa inilah yang disebut tunakuasa.

Istilah tunakuasa pertama kali penulis temukan dalam tulisan Amien Rais (1999). Yaitu suatu keadaan dimana rakyat tidak memiliki akses terhadap pengambilan kebijakan. Meskipun sebenarnya mereka sadar bahwa ini adalah kondisi yang tidak layak. Namun ketiadaan akses terhadap pengambilan kebijakan serta kemampuan penguasa meyakinkan mereka bahwa setiap kebijakan yang diambil adalah sesuatu yang benar dan harus didukung membuat kelompok tunakuasa harus menerima kondisi tersebut.

Sebagaimana kekuasaan absolut merupakan musuh bebuyutan demokrasi, tunakuasa juga membawa kemudaratan yang sangat besar. Demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah akan runtuh seiring terbatasnya ruang berpendapat dan akses terhadap pusat-pusat penyelenggaraan negara. Padahal kebebasan berpendapat dan terbukanya akses terhadap pemerintahan adalah tiang utama demokrasi.

Untuk itu, langkah para elit bangsa ini sangat menentukan arah perjalanan kita nantinya. Apakah kita akan terus maju dengan memparkuat demokrasi. Atau kita harus berjalan mundur dengan menebas satu persatu pilar demokrasi. Kearifan dan kejernihan hati para politisi mutlak dibutuhkan agar kita tidak memutar arah jarum jam. Karena negara ini adalah milik seluruh bangsa Indonesia, maka partisipasi rakyat dalam setiap kebijakan harus terus menerus ditingkatkan sebagai wujud penguatan pilar-pilar demokrasi.

Minggu, 21 Februari 2010

Tanah Air Mata

Diposting oleh abrar aziz

Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana

bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata

(Sutardji Calzoum Bachri)