abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Sabtu, 04 Juni 2011

JATUH CINTA

Diposting oleh abrar aziz

Jatuh cinta. Tentulah teman pernah merasakannya. Saya juga pernah, teman. Dulu waktu saya masih tinggal di kampung halaman. Bertahun-tahun yang lalu. Itu yang pertama. Dan yang kedua, sekarang. Kalau teman merasa senang dengan cerita cinta-cinta. Baiknya teman teruskan membaca. Tapi jika teman tidak suka, baca jugalah. Kasian, saya sudah capai juga menulisnya. Saya ceritakan dulu lah baiknya kisah cinta zaman dahulu itu.

Kampung kami berada di pesisir pantai sebalah barat pulau Sumatera. Bukan kampung kaya, memang. Waktu itu, sekitar tahun 80-an akhir. Ketika saya masih SMP. Bukan bermaksud tinggi hati teman. Tapi rasa-rasanya rupa saya tidak terlalu buruk. Jika saya diizinkan memberi nilai muka saya ini. Kira-kira angka tujuh setengah bisa juga saya dapatkan. Atau kalau teman ingin menilainya juga, silahkan. Asalkan nilainya jangan kurang dari itu.

Ramlah nama perempuan itu. Pandai sekali dia mengaji. Kalau sudah dia yang mengaji di surau, orang-orang yang sedang main domino di lapau pun akan tertegun karena keindahan suaranya. Kalau soal rupa, nilai tujuhlah kira-kira. Apalagi kalau melihat siapa bapaknya, Haji Munir, pemilik kebun kelapa terluas di kampung kami. Bujang mana yang tidak jatuh hati padanya. Keningnya jilah umpama landasan pacu lapangan terbang. Matanya bulat bak buah kapundung. Bibirnya tebal bagai ruas limau purut. Dagunya lonjong laksana sarang lebah. Ah, berdosa nanti kalau kita teruskan. Nanti teman tak bias tidur dibuatnya.

Sebenarnya ada juga gadis yang senang dengan saya. Julia namanya. Nama aslinya Yulinar. Tapi katanya nama itu kurang modern. Maka di gantilah namanya jadi Julia. Dia berteman akrab dengan Rosa. Kalau yang ini nama aslinya Rosmaini, tapi seperti si Yulinar, dia tidak senang dengan namanya yang kampung itu. Julia sudah terang-terang mengatakan rasa senangnya pada saya. Tapi saya enggan dekat-dekat dengannya. Pasalnya bedaknya terlalu tebal. Tambah lagi rambutnya saban hari dikasih minyak kemiri punya ibunya. Tak tahan hidung saya dibuatnya.

Jadilah saya satu dari sekian bujang yang menaruh hati pada Ramlah. Dia satu kelas dengan saya, kelas tiga SMP. Agak pintar dia kalau sudah soal hitung-hitung, tapi agak lemah menghafal. Tak satupun jantan di kelas itu yang tak suka padanya. Tapi saya sedikit beruntung. Pelajaran agama dan soal-soal hafalan agak saya kuasai sedikit. Kalau jantan-jantan yang lain, tak ada kepandaiannya selain bagadele atau bercerita besar. Si Pendi misalnya, setiap hari dia bercerita tentang ayahnya yang pulang pergi ke Jawa. Padahal saya lihat ayahnya hilir mudik saja di kampung membawa pedati. Atau si Miral, tak ada kepandaiannya selain berkoar kalau dia sering melihat hantu. Pernah dia melihat, katanya, hantu yang menari-nari di belakang rumahnya. Begitu dia membuka pintu, hantu itu lari tunggang langgang. Besar sekali mulutnya. Padahal semua orang, kalau pulang mengaji sudah lewat jam sepuluh, pastilah dia akan ikut tidur di surau bersama guru mengaji karena dia tak akan berani jalan sendiri ke rumahnya yang harus melewati kuburan. Itulah bujang-bujang di kelas saya. Saya kadang-kadang hobi juga bagadele, sedikit-sedikit saja. Tapi karena ayah saya guru agama, kepandaiannya turun juga pada saya, walaupun tidak banyak.

Pendek cerita, disebabkan alasan sering belajar bersama itulah mulai ada rasa-rasa senang diantara kami berdua. Panjang ceritanya kalau saya kisahkan semua. Tapi akhirnya kami saling mengakui apa yang kami simpan dalah hati. Wah, lapang sekali dunia ini rasanya waktu dia mengatakan dalam suratnya kalau dia menaruh hati juga pada saya. Tak cukup rasanya halaman kertas untuk menuliskan apa yang bergejolak di hati saya waktu. Saya yakin teman juga pasti sudah pernah juga merasakan rasanya cinta berbalas cinta. Jika teman belum pernah, saya ikut prihatin dan berdoa semoga teman segera merasakannya.

Karena di kampung kami berjalin kasih antara gadis dan bujang adalah aib yang bisa menjadi bahan cela dan hina, terpaksalah kami bercinta kasih dengan sembunyi-sembunyi. Setiap minggu kami berkirim surat. Amboi,, tiba-tiba saja saya menjadi penyair, teman. Dalam surat-surat kami, kami serasa pujangga yang sedang menulis syair. Indah sekali rasanya. Benar kata orang tua kita, kalau hati sudah tercuri seorang gadis, rasa-rasanya dunia ini seperti punya kita saja.

Masa-masa itu berlalu dengan cepat sampai akhirnya saya harus merantau kesini, ke Jakarta ini. Berat rasanya hati meninggalkan kampung halaman. Atau tepatnya meninggalkan Ramlah. Tapi apa daya saya tak kuasa menawar perintah buya untuk sekolah agama di Jakarta. Saya yakinkan pada Ramlah kalau jodoh tak akan kemana.

***

Selain kuliah, saya dapat juga mengajar honor di sebuah sekolah agama di Jakarta. Sudah tiga tahun saya di Jakarta. Untuk tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Si Ramlah sudah dikawinkan bapaknya dengan si Burhan anak Haji Kadir, pemilik penggilingan padi terbesar di kampung kami. Terbaca jelas oleh saya raut kesedihan Ramlah ketika menulis surat tahun lalu. Tapi apa mau dibilang. Nasi sudah jadi bubur.

Nah, sekarang saya jatuh cinta lagi, teman. Jatuh cinta pada murid saya. Macella namanya. Nampaknya nama ini tak ada di kampung saya yang tersuruk itu. Apa pula kata si Yulinar kalau mendengar nama ini. Pastilah dia bertengkar habis dengan Rosmaini untuk memperebutkannya.

Marcella tidak terlalu pintar di kelas, terlalu bodoh juga tidak. Dalam mata pelajaran saya, nilai paling rendahnya adalah enam. Tapi itu jugalah nilai tertingginya. Kalau pelajaran lain nilainya berputar-putar di angka enam dan tujuh saja. Tapi dia agak pendiam dan ramah. Entah apa yang saya pikirkan. Yang jelas saya senang dan diapun senang pada saya. Bapaknya juga tidak masalah dengan hubungan kami. Rupanya disini, di Jakarta ini, urusan cinta-cinta seperti ini bukanlah urusan aib.

Yang menjadi soal adalah bagaimana dengan nilainya. Saya tidak mungkin membiarkan nilainya terus di angka enam karena itu bisa membuatnya tidak naik kelas. Tapi otaknya memang hanya cukup menampung angka enam itu. Bapaknya sering memohon supaya membantu anaknya agar naik kelas. Terpakasa jugalah saya naikkan nilainya yang enam menjadi tujuh setengah pada mata pelajaran saya supaya Marcella naik kelas. Pastilah saya telah berbuat tidak adil karena murid-murid saya yang lain tidak saya naikkan nilainya. Tapi saya juga sudah menyelamatkan hidup kekasih saya, dan itu juga berarti hidup saya juga. Yang penting, setelah kenaikan kelas itu, saya bisa lebih leluasa bertandang ke rumah Marcella. Bahkan kadang-kadang bapak ibunya sengaja ada urusan keluar rumah kalau saya sedang bertandang ke rumahnya. Begitu rupanya orang Jakarta memperlakukan kekasih anaknya. Sungguh perbuatan yang terpuji.

ANAK KEBANGGAAN

Diposting oleh abrar aziz

Ali Akbar Navis

Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila di panggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua itu. Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen. Maka sempatlah ia mengumpulkan harta yang lumayan banyaknya. Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki.

Mula-mula si anak di namainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta karena perempuan, ditukarnya nama Edward jadi Ismail. Sesuai dengan nama kerajaan Mesir yang pertama. Ketika tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan membunuh, Ompi naik pitam. Nama anaknya seolah ikut tercemar. Dan ia merasa terhina. Dan pada suatu hari yang terpilih menurut kepercayaan orang tua-tua, yakin ketika bulan sedang mengambang naik, Ompi mengadakan kenduri. Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman. Namun si anak ketagihan dengan nama yang dicarinya sendiri, Eddy. Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah di belakangnya dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun dalam hati Ompi masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang sekarang. Calon dari nama tambahan itu banyak sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli kekayaan akan punah. Tapi itu tak dapat dicapai dengan kenduri saja. Masa dan keadaanlah yang menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dnegan hati yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Di tulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.

"Ah, aku lebih merasa berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong," katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit.

Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, "Ah sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah."

Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai pasti. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.

Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. "Ah, Anakku," katanya pada diri sendiri, "Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu.

Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku. Mengapa tidak?"

Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi semua orang tahu, bahkan tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi semata. Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya. Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang di capai anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama baik anaknya.

"Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi ayah mengerti, kalau mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya dalam sepucuk surat.

Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi membicarakan Indra Budiman padanya. Malah sebaliknya kini, semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-muji.

"Ooo, anak Ompi itu. Bukan main dia. Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di rumah," kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi.

"Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa tersinggung. "Kalau studen tidak menghafal, tahu? Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah."

"O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."

"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga sekali. Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam."

Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia. Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap cintanya."

Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumnya. "Bukan main. Bukan main. Indra Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak tergila-gila kepadanya. Ha ha ha. Ah, datanglah kau ke rumahku nanti. Ada oleholeh buatmu."

Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang di kenalnya, ditegurnya: "Hai, kaukenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan padamu. Biar kau dipinangnya. Ha ha ha."

Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira. Akan tetapi ketika Ompi tahu aku bakal kawin, dia dapat ilham baru. Dia pun merasa pula, bahwa Indra Budiman sudah patut di tunangkan. Dan pada sangkanya, tentu Indra Budiman akan gembira dan bertambah rajin menuntut ilmu, sebagai imbangan budi baik ayahnya yang tak pernah melupakan segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya pula kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya. Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu harapan Ompi tinggal harapan saja. Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik. Bahkan bukan kepalang meradangnya Ompi, jika ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yang cantik tanpa mempedulikan Indra Budiman lebih dulu. Tak masuk akal, orang orang tak menginginkan anaknya, si calon dokter itu. Lama-lama rasa dendamnya pada mereka bagai membara.

"Awaslah nanti. Kalau Indra Budimanku sudah menjadi dokter, akan kuludahi mukamu semua. Sombong."

Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih mementingkan studi daripada perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dengan gadis kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku. Gadis yang sederajat dengan titelmu kelak," penutup suratnya.

Celakanya Indra Budiman yang selama ini menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui oleh orang kampungnya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sungguh percaya, bahwa sudah banyak orang yang datang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya.

Lupa ia bahwa semua mata orang kampungnya yang tinggal di Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang bejat. Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu si anak yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak yang percaya. Lalu si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimu foto-foto gadis yang dicalonkan.

Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus dengan harapan semoga anaknya tidak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andaikata tidak ada sebuah pun dari foto-foto itu yang berkenan di hati anaknya. Disamping itu ia sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan berakhir juga pada suatu masa. Anaknya pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul kesulitan lain yang tak mudah di selesaikan.

Tapi rupanya Tuhan mengasihi ayah yang sayang kepada anaknya. Persis ketika Ompi kehabisan foto para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra Budiman tak datang lagi. Antara rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya.

Layaknya macan lapar yang terkurung menunggu orang memberikan daging. Pasai ia menunggu, dikiriminya surat. Ditunggunya beberapa hari. Tapi tak datang balasan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak terbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal menunggu terus.

Pada suatu hari yang tak baik, di kala Ompi sudah mulai putus asa, datanglah Pak Pos dengan di tangannya segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar karena ia bahagia. Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu Cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia tak percaya bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia seperti merasa bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang melayang di tiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang kali. Lalu di bukanya dan dibacanya satu persatu. Dan

tahulah ia, bahwa semuanya memang surat untuk anaknya yang ia kirimkan dulu.

Tapi ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia kepada Tuhan, agar apa yang terjadi adalah memang mimpi.

Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya oleh badannya yang kian mengurus. Tapi mata yang lebar itu tiada cemerlang. Redup.

Akan tetapi setiap sore, diantara jam empat dan jam lima, Ompi kelihatan seperti orang sakit yang bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke pintu depan. Dan cahaya matanya kembali bersinar-sinar. Karena pada jam itu biasanya Pak Pos biasanya mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi saat-saat seperti itu, yang membiarkan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah dalam luka hatinya, hingga lebih meroyak. Sebab selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman. Dan kalau Pak Pos itu telah lewat tanpa singgah, reduplah lagi mata Ompi.

Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan, sehingga ia akan serta-merta dapat melihat Pak Pos mengantarkan surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada setiap jam empat hingga jam lima sore, matanya akan menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja. Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak peduli pada segalanya. Kami tak pernah lagi memanggil dokter setelah tiga kali ia datang. Karena kedatangan dokter hanya akan memperdalam luka hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. Kedatangan seorang dokter di pandangnya sebagai suatu sindiran, bahwa anaknya masih juga belum berhasil menjadikan cita-citanya tercapai.

Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang, dokter hanya menggelengkan kepala saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila perlu, meski dengan resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya."

Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu dekat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Di samping itu secara samar-samar aku elus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali.

Kukarang cerita masa lalu dan angan-angan masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati yang kecut. Aku pun tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu yang dikehendakinya. Surat dari Indra Budiman. Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan telah mendapat titel dokterya. Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi aku selamanya bimbang, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yang lebih fatal. Maka tak pernah aku coba menulisnya. Pada suatu hari terjadilah apa yang kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan berlangsungnya. Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk telegram. Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali.

Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Dan jika perlu akan kuubah isinya. Agar terelakkan saat-saat yang menyeramkan.

Akan tetapi semua kejadian datang dengan serba tiba-tiba. Hingga gagallah recanaku. Tak sempat aku membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku,

Ompi yang sudah lumpuh selama ini, telah berada saja di belakangku. Sesaat ketika aku menerima dan menandatangani resi telegram itu. Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.

"Bukalah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata seperti ia memerintah orang-orang di waktu mudanya dulu.

Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.

"Telegram dari anakku? Apa katanya? Pulanglah dia membawa titel dokternya?" Ompi bertanya dengan suara yang mendesis tapi terburu-buru berdesakan keluar.

Tak tahulah aku, apa yang harus kukatakan. Dan kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk membebaskan aku dari siksa ini. Tapi keajaiban tidak juga datang. Aku mengangguk. Sedang dalam hatiku berteriak, terjadilah apa yang akan terjadi.

Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapkan ke dadanya. "Datang juga apa yang kunantikan," katanya.

Sepi begitu menekan, sehingga aku dapat mendengar denyut jantungku sendiri. "Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraanku akan meledakkan hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar sepatah demi sepatah bisa menjalari segala saraf sarafku," kata Ompi dengan terputus-putus.

Dalam kegugupan kususun sebuah taruhan jiwa dan sesalam bagi selama hidupku. Akan kukarang kisah yang menyenangkan hatinya. Tapi telegram itu tak diberikannya padaku. Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum, serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang.

"Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini. Aku mau sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar aku jadi segar bugar pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan dokter," kata Ompi dengan gembira.

Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memicing. Selama tangannya sampai terkulai dan matanya terbuka setelah kehilangan cahaya. Dan telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya.

Republik Uang

Diposting oleh abrar aziz

Beberapa waktu lalu saya mengurus KTP dan Kartu Keluarga (KK) di kelurahan tempat saya tinggal. Tepatnya di kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Ini memang pertama kalinya seumur-umur saya berurusan dengan birokrasi seperti RT, RW, dan Kelurahan. Dan mudah-mudahan ini yang terakhir. Bagi sebagian anda yang sudah sering berurusan dengan birokrasi barangkali sudah tidak asing lagi dengan cerita saya. Saya memang sudah lama mendengar cerita tentang budaya korupsi yang menggurita sampai ke tingkat paling bawah. Tapi saya benar-benar terperangah ketika mengalami sendiri cerita itu.

Saya bersama teman yang sama-sama akan mengurus KTP dan KK awalnya ditawari jalan pintas, biasanya disebut orang KTP “nembak”. Saya menolak karena mungkin harganya akan lebih mahal dan saya kira juga tidak ada salahnya sesekali saya berurusan dengan birokrasi di tingkat paling bawah. Alasan lain adalah karena anak bu RT memang sangat cantik sehingga saya punya celah untuk bertemu. Ini alasan yang serius,, hehe,,

Tapi saya dan teman benar-benar dibuat jengkel dengan ulah pemimpin-pemimpin warga ini. Baru mulai berurusan dengan RW, kami sudah “dipalak” sejumlah uang. Saya sebut “dipalak” karena awalnya sengaja kami tidak mau memberi uang sebab di sana tertulis biaya untuk pembuatan KTP Rp. 0,-. Tapi kemudian mereka berkata sambil melotot “kasih sumbangan donk!!”. Akhirnya meluncur juga sejumlah uang ke tangan mereka. Saya jadi bertanya-tanya sumbangan macam apa ini??

Sampai di kelurahan kami disambut oleh papan pengumuman tentang biaya layanan masyarakat. Lagi-lagi tertulis biaya pembuatan KTP RP. 0,-. Beberapa lama menunggu kami belum juga dilayani, sementara beberapa orang yang baru datang langsung masuk dan urusan selesai. Saya jadi bertanya-tanya kenapa kami tidak didahulukan?. Ya, tentu saja sebuah pertanyaan untuk diri sendiri. Kemudan tiba-tiba kami dipanggil oleh seorang petugas, sebut saja namanya Bunga (ini bukan korban perkosaan lho ya,,). Ibu bunga mulai melancarkan aksinya, dia menuturkan beberapa prosedur yang harus dilewati dan proses pembuatan KTP, menurutnya, minimal 2 minggu.

Saya jelas semakin heran, atau malah semakin yakin tentang carut-marutnya negeri ini, kenapa urusan kami begitu rumit sementara yang lain begitu mudah? Jawabannya tentu sudah bisa anda tebak, kami tidak membayar sepeserpun. Karena memang begitulah seharusnya. Beberapa hari berlalu satu urusan selesai, KTP. Teman saya mendatangi ke kantor lurah dan membayar kepada petugas di sana sejumlah uang. Tinggal satu urusan lagi, KK.

Tapi ternyata urusan KTP belum sepenuhnya selesai, melalui bu RT, yang anaknya sangat cantik itu, bu Bunga protes bahwa dia tidak mendapat bagian dari uang yang kami berikan. Saya benar-benar tidak habis pikir, kenapa bu Bunga yang menurut bu RT sangat sholehah itu bisa sedemikian marah?. Kenapa dia protes karena tidak dapat bagian uang yang, menurut saya, tidak halal itu?, saya tidak tau hukumnya apa tapi saya yakin bukan “halal”. Padahal tentu saja teman saya tidak tau kalau bu Bunga tidak mendapat bagian. Itu bukan urusan kami. Yang jelas kami sudah bayar, meskipun dengan berat hati.

Akhirnya teman saya mendatangi kantor lurah menemui bu Bunga dan membayar sejuamlah uang, kali ini jumlahnya lumayan banyak. Reaksinya sudah bisa kita tebak. Dengan tanpa malu dia berkata “wah kok banyak sekali” dan bla bla bla bla. Sejak itu urusan KK jadi sangat lancar. Sekali datang semua selesai. Bahkan kami tidak perlu mengisi formulir pembuatan KK. Semua langsung diketik dan print di tempat. Hebat sekali pelayanan mereka. Agar lebih lancar lagi kami mendatangi rumah bu RT dan memberinya sejumlah uang, karena urusan ini sudah terlalu lama. Jika beruntung kami bisa ketemu anaknya yang terus-terusan mengganggu pikiran saya itu. Awalnya dia agak menolak menerima uang, mungkin karena tau kalau kami sudah mengeluarkan banyak untuk sebuah urusan yang bertele-tele ini. Tapi saya, sebagaimana anda, yakin bahwa penolakan itu basa-basi saja. Toh akhirnya diterima juga. Agak jengkel memang kami meninggalkan rumah bu RT, ditambah kami tidak bisa bertemu anaknya. Adik-adik saya yang gaul biasa menyebut situasi itu dengan istilah “jengkel tingkat dewa”. Atau biasaya kalau adik-adik saya ini jengkel dia akan menambahkan kata-kata untuk mendramatisir suasana “sumpah demi apapun gue jengkel tingkat dewa” katanya. Entah darimana mereka dapat istilah itu. Kira-kira demikianlah perasaan kami saat meninggalkan rumah bu RT. Memang tidak persis begitu. Dan sejak itu juga saya bertekad untuk tidak datang lagi kantor lurah, RW, dan RT, di manapun di Indonesia ini.

Saya kemudian membayangkan bagaimana negeri yang membentang luas sepanjang 10 juta kilometer persegi ini diurus dengan cara yang sangat riueh. Mungkin mereka tidak belajar kepada Plato tentang negara ideal. Atau bahkan mereka mungkin tidak kenal siapa Plato, atau Socrates, atau Aristoteles. Bagi Socrates, tujuan dibentuknya sebuah negara adalah untuk mensejahterakan rakyat. Yang kemudian oleh muridnya, Plato, disebut sebagai negara ideal.

Saya yakin di zaman mereka, 2400 tahun yang lalu, belum ada yang disebut negara ideal. Itu mungkin hanya ada dalam dunia ide guru-guru kita itu. Tapi dari ciri-ciri yang mereka sebut tentang negara ideal, saya pikir Indonesia memenuhi syarat untuk itu. Kekayaan alam yang melimpah sebagai sumber kesejahteraan rakyat. Kita memiliki itu. Sumber daya manusia yang pintar-pintar. Jelas kita punya. Tapi kenapa untuk urusan KTP saja harus ribet begini? Pastinya Socrates dan murid-muridnya tidak akan bisa menjawab karena mereka tidak pernah mengurus KTP. Di zaman mereka, 400 tahun Sebelum Masehi, tentu belum ada kantor lurah.

Bayangkan jika Socrates hidup di zaman ini, dan kebetulan beliau tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta Timur, satu kelurahan dengan saya. Apa yang beliau katakan ketika akan mengurus KTP dan bertemu dengan bu Bunga. Saya yakin bu Bunga bisa “mati berdiri” mendengar ceramah-ceramah Socrates yang tidak bisa dibantah kecuali dengan membunuhnya seperti yang dilakukan pemerintah Athena di masa lalu. Apa juga yang akan dilakukan guru kita Socrates ketika datang ke rumah bu RT dan mendapati urusan mengurus KTP ternyata begitu sulit. Saya yakin Socrates akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berceramah tentang “tugas-tugas pemimpin masyarakat”. Saya juga yakin bu RT tidak akan bisa membalas logika-logika Socrates yang sulit dibantah. Dan tentu saya akan menggunakan momen itu dengan meminta Socrates melamarkan anak bu RT untuk saya. Pasti dia tidak akan bisa menolak lamaran seorang Guru Peradaban sehebat Socrates. Yang jelas, jika Socrates dan murid-muridnya ada disini, mereka pasti akan menjadi musuh yang menakutkan bagi orang-orang seperti bu Bunga.



***

Meski demikian, saya jelas tidak bisa menyalahkan bu Bunga begitu saja. Setahu saya beliau bukan orang kaya hingga sulit dikatakan dia melakukan itu untuk memperkaya diri sendiri. Yang tepat mungkin mengatakan dia melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Atau mungkin juga beliau melakukan itu karena atasannya juga minta “jatah”, jadi mau tidak mau dia harus setor. Atau ada alasan lain. Yang pasti, ini bukan kesalahan bu Bunga seorang. Ini adalah sistem. Sehingga saya tidak mungkin memperkarakan bu Bunga ke pengadilan, meskipun sebagai warga negara saya berhak memperkarakan sejumlah uang yang raib tidak jelas itu. Selain itu, saya bisa dianggap “lebay” karena memperkarakan orang “cuma” gara-gara KTP. Jauh lebih tidak penting dibanding perkara Gayus Tambunan, artis dadakan itu, atau perkara Nurdin Halid, misalnya.

Lalu siapa yang salah dengan keadaan ini? Yang pasti bukan saya dan teman, karena secara hukum kami bisa disebut korban. Dan tentu saja banyak sekali “korban-korban” lain di seluruh Nusantara. Tapi mungkin juga bukan bu Bunga atau bu RT. Apalagi anaknya bu RT. Jelas bukan salah dia, satu-satunya kesalahannya adalah mengapa dia jarang ada di rumah kalau saya datang kesana. Dia sangat bersalah dalam urusan itu. Lalu salah siapa? Saya tidak tau persis. Yang saya tau sejak saya dilahirkan oleh ibu saya sekitar 25 tahun lalu keadaannya sudah begini. Mungkin anda yang kebetulan lahir sebelum saya bisa menjelaskan.

Saya juga tidak tau berapa jumlah kelurahan atau desa di “Republik Uang” ini. Mungkin sekitar sepuluh ribu, atau lebih atau kurang. Apalagi jika ditanya ada berapa RT dan RW, saya lebih tidak paham lagi. Dan kira-kira dari sekitar sepuluh ribu itu berapa kantor lurah atau kepala desa yang memberikan pelayanan gratis bagi masyarakat yang mengurus KTP? Saya yakin pasti ada meski saya tidak yakin bisa lebih dari sepuluh persen saja. Keyakinan saya terbukti ketika orang tua saya menguruskan KTP saya di kampung dulu, di sebuah desa di pesisir barat Minangkabau, Batang Tajongkek nama desanya, Pariaman nama kotanya. Berbagai urusan di urus dengan gratis dan langsung diantar ke rumah. Ibu saya biasanya akan memberikan beberapa rupiah sebagai ucapan terima kasih saat petugas telah menyelesaikan urusan kami. Tapi jelas ini bukan “uang pelicin”. Saya tidak yakin apakah petugas tersebut telah berkenalan dengan Socrates. Tap setidaknya mereka memiliki ide yang sama.

Di tempat anda mungkin juga ada yang gratis. Mungkin juga ada beberapa petugas yang bijaksana seperti Socrates. Tapi saya sangat yakin kalau itu akan jarang sekali. Kenapa saya begitu yakin?? Entahlah. Tanyakan saja pada bu Bunga atau pada anaknya bu RT, yang karena kebodohan saya, sampai detik ini saya tidak tau namanya... mudah-mudahan namanya bukan Bunga dan mudah-mudahan dia tidak bekerja di kantor kelurahan.

ROBOHNYA SURAU KAMI

Diposting oleh abrar aziz

Ali Akbar Navis



Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.



Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.




Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.



Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggalah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.



Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.



Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.



Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"

"Ajo Sidi."

"Ajo Sidi?"

Kakek tidak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang2-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakukan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebut pemimpin katak.



Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek akan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi, "Apa ceritanya, Kek?"

"Siapa?"

"Ajo Sidi."

"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.

"Kenapa?"

"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya."

"Kakek marah?"

"Marah? Ya kalau aku masih mudah, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."



Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"



Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

"Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. 'Alhamdulillah' kataku bila aku menerima karunia-Nya. 'Astagfirullah' kataku bila aku terkejut. 'Masya Allah', kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."



Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku. "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"

"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.





"Pada suatu waktu,' kata Ajo Sidi memulai, 'di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan 'selamat ketemu nanti'. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.



Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

'Engkau?'

'Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.'

'Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.'

'Ya, Tuhanku.'

'Apa kerjamu di dunia?'

'Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.'

'Lain?'

'Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.'

'Lain?'

'Segala tegah-Mu kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.'

'Lain?'

'Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.'

'Lain?'



Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.



'Lain lagi?' tanya Tuhan.

'Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.' Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.



Tapi Tuhan bertanya lagi: 'Tak ada lagi?'

'O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.'

'Lain?'

'Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.'

'Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?'

'Ya, itulah semuanya, Tuhanku.'

'Masuk kamu.'

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.



Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.



'Bagaimana Tuhan kita ini?' kata Haji Saleh kemudian, 'Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.'

'Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,' kata salah seorang di antaranya.

'Ini sungguh tidak adil.'

'Memang tidak adil,' kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

'Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.'

'Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.'

'Benar. Benar. Benar.' Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

'Kalau Tuhan tidak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?' suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

'Kita protes. Kita resolusikan,' kata Haji Saleh.

'Apa kita revolusikan juga?' tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

'Itu tergantung pada keadaan,' kata Haji Saleh. 'Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.'

'Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,' sebuah suara menyela.

'Setuju. Setuju. Setuju.' Mereka bersorak beramai-ramai.



Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, 'Kalian mau apa?'

Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: 'O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, memprogandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.'



'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.

'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'

'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'

'Ya benarlah itu, Tuhanku.'

'Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?'

'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.'

Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.



'Di negeri di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'

'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'

'Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?'

'Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.'

'Negeri yang lama diperbudak orang lain?'

'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'

'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?'

'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.'

'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'

'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'



'Engkau tetap rela melarat, bukan?'

'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'

'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'

'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'

'Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?

'Ada, Tuhanku.'

'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!'



Semua pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

'Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?' tanya Haji Saleh.

'Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka kucar-kacir selamanya.



Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikitpun.' "





Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.

"Kakek."

"Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.



"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.

"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"

"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,

"dan sekarang ke mana dia?"

"Kerja"

"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.

"Ya, dia pergi kerja."