Ini tentang Islamku, teman.Bukan Islammu, bukan Islam menurut ustad, atau Islam menurut Kitab. Tapi Islamku. Islamyang kurasa, yang kupikir. Pernah kubaca dan kudengar bahwa Islam adalahpenerimaan atas apapun yang diputuskan-Nya. Dia, Tuhan Yang Maha Berkehendak.Akalku bertanya, jika Dia Maha Berkehendak, mengapa Dia menciptakan kehendaklain, yaitu pikiran kita, manusia. Jika kutanya hal itu pada ustad sepertimu,kau pastilah akan menuduhku kafir. Dan kau akan menjawab; Tuhan punya rahasiayang tidak akan kita mengerti. Setelah itu diam. Seolah jawaban itumenyelesaikan persoalan. Sesungguhnya aku punya ratusan pertanyaan serupa.Akalku yang berkehendak atas kehendak Tuhan ini tidak bisa begitu saja puasdengan jawaban sapujagad; Tuhan berkuasadan maha mengetahui segala, maka dari itu jangan pertanyakan apapunkeputusan-Nya meskipun keputusan itu tak kau pahami. Inilah jawaban sapujagaduntuk semua pertanyaan tentang Tuhan. Pertahanan terakhir para ustad. Inilah Islamku, kawan. Islamyang penuh kegalauan. Dan bagiku inilah Islam yang sebenarnya. Pencarian yangtak boleh berakhir. Jika kegalauanku berakhir dan aku mencapai puncakketenangan, mungkin aku tidak butuh Islam. Seperti perintah sholat yang takpernah putus. Selalu berulang-ulang gerakaan dan bacaan yang itu-itu sajasetiap hari. Bagiku itu adalah simbol dari pencarian yang tak pernah putus.Itulah sebabnya aku tak ingin keluar dari kegalauan dan menemukan kebenaransejati. Karena jika kebenaran sejati kutemukan, maka untuk apa Islam buatku? Lalu apa yang aku cari denganIslamku? Yang kucari adalah harmony, teman. Harmony adalah kesatuan dariperbedaan. Keindahan dari keberagaman. Aku tak pernah ingin merubah Islamku sepertiIslammu. Dan kau pasti tak akan merubah Islammu menjadi sepertiku. Kauberkali-kali sudah katakan Islamku sesat dan kafir. Itu baru kita. Belum lagiagama lain. Perbedaan akan semakin meruncing. Apapun keyakinan selain Islam adalahkafir dan hanya Islam satu-satunya agama yang diridhai-Nya. Lalu kenapa agama-agama laintetap eksis dan berjaya. Bukankah seharusnya Tuhan menghancurkan agama-agamaitu karena satu-satunya agama yang direstui-Nya hanyalah Islam? Ternyatajawabannya adalah harmony. Dalam firman-Nya kutemukan; jika Aku ingin, maka akanKu-buat kalian satu umat saja. Tapi Aku ingin menguji kalian dengan perbedaan.Apakah kalian bisa menciptakan harmony dengan perbedaan itu atau malah membuatkegaduhan? Demikian Tuhan kita berkata. Islamku seumpama kumpulan alat musikyang menjadi harmony dalam perbedaan. Perbedaanlah yang membuat gitar, drum, bass, piano,dan yang lainnya bisa menciptakan harmony yang indah. Islamku terasa lebihindah justru karena kehadiran yang lain. Aku percaya bahwa kepercayaan selainapa yang kupercayai adalah cara Tuhan membuat kepercayaanku terasa lebih indah.Bayangkan jika di dunia ini hanya ada satu warna. Langit putih, awan putih,gunung putih, laut putih, semua putih. Perbedaanlah yang membuat dunia inimenjadi indah. Itulah Islamku, teman. Islamku adalah Islam apaadanya. Islam yang tidak menutupi kehinaan dengan jubah dan gamis. Yang takmenutup noda dengan jenggot dan slogan. Aku adalah pendosa. Dan aku tidak malumenjadi pendosa. Karena Tuhan menciptakan manusia memang sebagai pendosa. Yangseharusnya malu adalah para pendosa yang membungkus dirinya dengan jubahkesucian, ayat-ayat kemunafikan, khutbah-khutbah kebohongan. Bagiku parapendosa berjubah ini terlihat lebih menyedihkan. Aku baru sadar kenapa Tuhanmengampuni segala dosa kecuali musyrik dan murtad. Dosa adalah jalan manusiamenuju tangga yang lebih tinggi. Jika engkau berdosa, mengakuinya, dan insyafatas dosa itu, maka kau akan naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi jika kauberdosa, tidak mengakuinya. Malah menunjuk-nunjukkan jarimu ke hidung oranglain, maka kau akan semakin terpuruk dalam kemunafikan. Sabar dulu, teman. Aku tidakingin mengatakan bahwa buatlah dosa sebanyak-banyaknya jika kau ingin menjadimulia. Sama sekali bukan itu. Tapi yang ingin kukatakan adalah; dosa sebagaisalah satu sifat yang menyatu dengan manusia sejak diciptakan bukan sesuatuyang bisa diingkari keberadaanya. Kita semua adalah pendosa. Dan sikap kitaterhadap dosa itu akan mempengaruhi tangga kemuliaan kita. Itu Islamku, teman.Pasti berbeda dengan Islammu. Dan aku harap kau menikmati perbedaan itu. Islamku bukanlah Islam yangberbahan baku hukum haram, halal, qishash, rajam, atau cambuk. Aku percayaTuhan menciptakan kehidupan ini bukan sekedar untuk bermain sepak bola dimanakau akan terhukum jika melakukan pelanggaran. Bahan baku Islamku adalah cintakasih. Dan penciptaan ini adalah bukti ke-Maha Cinta-an-Nya. Seperangkat hukumdan aturan dibuat hanyalah untuk menjamin agar harmony bisa tetap berjalan. Jika kau hidup dengan cinta kasih, kau takakan membutuhkan hukum-hukum itu. Saat Islammu berbeda dengan Islammereka, cintailah mereka yang berbeda itu tanpa kau harus merubah pendirianmu,maka kau akan merasakan nikmatnya perbedaan. Tak perlu kau mengacungkan pedanghukum dan menakut-nakutinya dengan dosa dan kekafiran. Tak perlu juga kaumemaksa mereka agar memandang Islam seperti cara pandangmu. Cinta adalah hukumtertinggi. Jika kau mencintai Tuhan dan semua makhluknya dengan tulus, tak akanada hukum yang kau langgar. Itulah Islamku, teman. Islam penuh cinta. Islamku adalah Islam yang takpernah menemukan kebenaran. Aku percaya Tuhan tidak akan membebani manusiadengan perintah yang tak mungkin bisa dilakukannya, yaitu menemukan kebenaran.Karena Dia sendiri yang memastikan bahwa Dia-lah pemilik kebenaran. Islamkuadalah Islam yang mencari, bukan menemukan. Kegalauanlah yang membuatkubertahan dalam pencarian. Jika aku merasa sudah benar dan tak lagi galautentulah aku akan berhenti mencari. Itu berarti aku kehilangan Islamku. Makakunikmati galau ini untuk terus mencari. Sebuah pencarian tak berujung. Inilah Islamku, teman. Akumerasa ini adalah jalan yang benar meski aku tak mengatakan jalanmu salah.Kuharap jalan yang berbeda-beda ini memiliki muara yang sama, yaitu kedamaiandi hadapan Tuhan, Sang Kebenaran Sejati. Namun jika kau dan teman-teman kitayang lain tetap menganggapku tersesat dan kafir, akan kunikmati itu sebagaiwarna dari pertemanan kita. Bukankah Imam Ali dikafirkan Khawarij karena menerimatahkim, para cendekiawan seperti Ibnu Sina dan Al Farabi dikafirkan ImamGhazali karena filsafat mereka, dan guru kita, Kiyai Dahlan dikafirkan KiyaiPenghulu Kamaludiningrat karena gagasan pembaruannya. Apakah mereka menjadihina dengan pengkafiran itu? tidak, teman. Aku tetap mencintaimu dan semua yangberbeda denganku. Karena itulah Islamku. Desa Batang Tajongkek, 20April 2013, 1.45 WIB.
- antara
- CSRC
- detik
- DPR RI
- ICRP
- IMF
- indonesia
- Integrasi Sosial
- Interfidei
- irm
- Islam Emansipatoris
- Jaringan Islam Liberal
- kompas
- kota pariaman
- lppinsight
- Maarif Institute
- masmulyadi
- mudzakkir
- muhammadiyah
- okezone.com
- padang ekspres
- PSIK Paramadina
- republika
- ridho alhamdi
- suara muhammadiyah
- sumiati ali
- The Wahid Institute
- UIN JKT
- WALUBI
- wikipedia
- world bank
gambar
Muktamar
"Tuhan mengasahmu lebih tajam daripada pedang,
Merubahmu dari pengendara unta menjadi pengembara nasib,
Takbirmu, shalatmu, jihadmu ...
Pada semua itulah tergantung Timur dan Barat ... "
(Sir Muhammad Iqbal)
gambar
Jaringan
10 artikel terdepan
copy right © 2008 ajo muslim all reserved
blog developed by Pascal Muda
Sabtu, 11 Mei 2013
Aku ingin berbagi kisah denganmu, teman. Kisah semasa aku di Jakarta dulu. Seperti yang mungkin kau mafhum, Jakarta tak pernah tidur. Jika di waktu siang hiruk pikuk kemacetan menjadi detak jantung ibukota, maka di malam hari musiklah detak jantungnya. Kau penikmat musik, bukan? cobalah berkeliling Jakarta di malam hari. Setiap sudut kota ini akan memanjakan telingamu dengan berbagai alunan musik. Kalau kau penikmat musik dangdut dan kebetulan sedang tidak memegang banyak uang, kau bisa minum teh di pinggiran jalan Prumpung, Jatinegara. Suguhan dangdut jalanan akan membuatmu sulit menghentikan goyangan. Tapi hati-hati, disana banyak laki-laki berwujud wanita seksi yang akan menggoda imanmu. Kalau punya uang agak lebih, sebuah café kecil di pinggiran Manggarai bisa jadi pilihan. Dari café inilah cerita akan ku mulai. Sebut saja namanya Laksmi. Jika kau ingin menemuinya kau bisa berjalan kaki dari halte Busway Halimun kira-kira seratus meter ke arah selatan. Di sebelah kiri jalan, sebuah café kecil dengan lampu temaram berkedap kedip akan menyambutmu. Disinilah Laksmi bekerja. Tugasnya adalah menemani para tamu untuk sekedar minum atau bercengkrama. Atau jika ingin penghasilan yang lebih besar, layanan lebihpun harus siap diberikan. Usianya dua puluh enam tahun. Menikah di usia tujuh belas tahun dan bercerai di usia dua puluh tahun dengan satu anak laki-laki. Kondisi inilah yang membawa Laksmi meninggalkan kampungnya, Cianjur, dan mencari hidup sendirian di Jakarta. Sementara si buah hati diasuh oleh neneknya. Dan di café ini laksmi berjuang menafkahi putra tercinta. “Aku hanya menginginkan anakku menjadi anak yang pintar dan sholeh”. Ucapnya sambil memandangi temaram lampu. Di sela jarinya terselip sebatang rokok yang hampir habis. Sebuah gelas besar berdampingan dengan botol bir hitam selalu setia menemaninya. Setelah mengisap rokoknya sedalam yang dia sanggup, menghembuskan asapnya sekuat yang dia bisa, Laksmi kembali bercerita. “Jika ada kerjaan yang lebih baik tentu aku tak akan mau kerja disini. Setiap hari aku berdoa agar Tuhan memberi jalan yang lain. Tapi sampai saat ini hanya inilah pilihan yang ku punya. Sepertinya hanya jalan ini yang disediakan Tuhan untukku. Ya, aku terima saja pilihan-Nya ini”. Sulit ditebak rona wajah datar itu. Bagi Laksmi, hidup adalah perjuangan membesarkan anaknya. Dia sedari awal telah menyadari betapa besar resiko yang harus dihadapi dengan pekerjaan ini. Sebagai remaja yang lahir dan besar di tengah lingkungan yang religius, Laksmi mengerti betul ancaman siksaan akibat perbuatannya. Tapi dia rela membayar semahal itu demi membesarkan anaknya. “Biarlah aku yang dipanggang di neraka asalkan anakku bisa menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi agama”. Kalimat itu meluncur tanpa beban dari bibir tipisnya. Menjelang subuh, Laksmi pulang ke kontrakan kumuhnya dekat stasiun Manggarai dan tidak pernah lupa sholat subuh sebelum tidur. Bukan hanya subuh, sholat lainpun ternyata tak pernah ia tinggalkan. Kiriman uang untuk biaya sekolah anak tak pernah telat setiap bulan. Dari hasil “jasa kenikmatan” itulah anaknya sekolah, belajar mengaji, membeli al Quran, pakaian muslim dan buku-buku agama. Dengan bangga dia memperlihatkan foto anaknya. Seorang bocah sekitar delapan tahun berpakaian muslim lengkap dengan peci haji bergaya seadaanya. Putra kebanggaanya. Inilah dunia Laksmi, dunia yang tak pernah bisa kupahami. Pahamkah kau dunia apa yang sedang ditinggali Laksmi ini, teman? Setidaknya uang dua ratus ribu rupiah harus kau sediakan jika ingin berbincang dengan Laksmi. Ingat, hanya berbincang. Seratus ribu untuk membayar bir hitam dan rokonya, seratus ribu untuk nafkah anaknya. Tapi jika kau ingin lebih dari sekedar berbincang, kantongmu harus kau keruk lebih dalam. Ada banyak wanita seperti Laksmi di Jakarta. Perkiraanku ribuan jumlahnya. Mulai dari yang bertarif lima puluh ribu di pinggiran rel kereta Jatinegara, persis di depan LP Cipinang, atau di pinggir jalan Hayam Wuruk, ada juga di pinggir gerbang tol Kemayoran, sampai yang kelas menengah di tempat-tempat hiburan kawasan Gajah Mada atau Glodok Plaza, bahkan yang bertarif jutaan di hotel-hotel berbintang lima. Perjalananku di lanjutkan ke Utara Jakarta, tepatnya beberapa puluh meter dari Mangga Dua TownSquere. Sebelah kanan dari arah Pasar Senen. Tempatnya sangat mudah di temukan. Sebuah bangungan berlantai empat dengan empat tiang besar gaya Yunani kuno. Terlihat sepi jika kau lihat dari luar. Tapi jika kau masuk pada jam sepuluh malam sampai jam dua dini hari, suasananya ku jamin berbeda. Disana kau bias bertemu Diana. Usianya jauh lebih muda dari Lakmsi, sembilan belas tahun. Postur tubuhnya yang relatif pendek dengan rambut sebahu mempertegas usia remajanya. Tapi jika kau ingin masuk ke gedung ini persiapanmu harus lebih baik. Orang pakai sandal dilarang masuk. Pakailah sepatu. Kau harus registrasi dulu di lantai satu sebelum melanjutkan ke lantai dua, bar, ruang full musik. Sebuah raungan besar dikelililingi sofa berwarna merah. Dengan lampu kedap kedip, hentakan musik diiringi empat wanita muda yang menari meliuk-liuk di tengah ruangan akan memacu degup jantungmu. Semua minuman dan layanan lainnya akan dipesan melalui sebuah kartu pesanan yang kau terima saat registrasi tadi. Begitupun jika kau ingin bertemu Diana, kau harus memesanya dengan kartu itu. Jika kau bisa berbincang dengan Laksmi sampai subuh hanya dengan dua ratus ribu rupiah, maka kau harus merogoh kocek tiga ratus ribu rupiah agar dapat bertemu Diana untuk waktu dua jam. Itu belum termasuk minuman dan rokok. Kira-kira lima ratus ribu rupiah yang harus kau siapkan untuk sekali kunjungan. Diana adalah wanita cantik asal Subang, Jawa Barat. Sebagaimana Lakmsi, nikah di usia sangat muda dan bercerai dengan satu anak membuat dia rela menempuh perjalanan delapan jam menuju Jakarta. Anak perempuannya berusia dua tahun. Terlihat sangat cantik, seperti ibunya. Foto gadis mungil itu diperlihatkan padaku melalui BlackBarry Gemini putih miliknya. Awalnya dia tertarik ke Jakarta saat diajak temannya untuk menjadi pembantu. Ayahnya mengizinkan. “Yang penting pekerjaannya halal. Dapat uang sedikit tidak apa-apa”. Ucapnya menirukan kata-kata sang ayah. Tapi kenyataan sungguh berlainan. Panjang ceritanya hingga dia berakhir disini. Meski kepada orang tua di kampung Diana tetap mengaku bekerja ebagai pembantu. Saat ramai Diana bisa menemani sampai tiga orang tamu. Dengan deretan kamar yang tersedia di lantai tiga dan empat gedung itu, Diana bukan hanya bercengkrama di ruangan bar yang luas nan ramai, tetapi pada jam berikutnya harus menemani sang tamu ke dalam kamar mewah. Bayangkan kawan, dia bisa melayani tiga lelaki dalam satu malam. Itulah malam penuh kontradiksi dalam hidupnya. Satu sisi dia merasa jijik harus melayani para lelaki pendosa itu, di sisi lain dia bisa tersenyum karena lima ratus hingga delapan ratus ribu rupiah dapat dibawa pulang. Uang itu cukup untuk membeli banyak keperluan anak kesayangannya. Tapi jika malam sepi dan dia tidak mendapat satu orang tamupun, kontradiskipun kembali menghampirinya. Dia bersyukur tidak harus meladeni birahi para pendosa, tapi pulang dengan kecewa karena tak ada sepeser uangpun yang dia peroleh. Di akhir perbincangan kami, Diana masih antusias dengan harapannya untuk pekerjaan yang lebih baik. Tak seberapa jauh dari tempat Diana bekerja, ada sebuah hotel yang baru berdiri. Persis beberapa meter di belakang Hotel Sheraton. Dua kilometer sebelum gerbang Ancol. Di sana bekerja seorang wanita belia bernama Syerly. Tugasnya adalah memijat para tamu yang kesemuanya lelaki. “Tapi aku tak pernah benar-benar memijat mereka, aku kan ga bisa mijat. Jadi kubiarkan saja mereka yang memijatku, hahaha”. Aku tak percaya semua lara itu mampu diceritakannya dengan terawa. Meski tawa itu sama sekali tak menyembunyikan perih di hatinya. Beberapa pengunjung warung pinggir jalan tempat kami berbincangpun melihat Syerly dengan tatapan aneh. Mungkin mereka tau apa pekerjaan perempuan delapan belas tahun asal Parung, Bogor itu. Tempat kerja Sherly persis di seberang warung. Semua pertemuan itu terjadi lebih dari dua tahun lalu. Laksmi sudah kembali ke kampung halamannya dan bekerja di sebuah pabrik kecil. Aku tak tau kabar Diana, semoga dia sudah kembali ke Subang dan membesarkan gadis mungil kesayangannya. Sekarang usia anaknya sudah empat tahun. Pasti sangat cantik. Syerly entah ada dimana. Pertemuan di warung makan itu adalah pertama dan terakhir bagiku. Aku berdoa untuk wanita-wanita luar biasa ini. Aku ingat kisah seorang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi makan seekor anjing yang kesakitan. Mereka harusnya mendapat tempat yang lebih mulia karena perjuangan mereka. Kuceritakan semua ini kepadamu, kawan. Agar kau melihat mereka tidak seperti sebagian orang melihat mereka. Mereka tampak seperti najis bagi orang-orang yang merasa pantas menilai orang lain. Di mata orang-orang “suci” ini, Laksmi dan teman-temannya adalah sampah masyarakat, pezina yang harus dirajam, atau wanita murahan. Kuharap kau tak demikian kawan. Laksmi lebih baik dari manusia-manusia “suci” itu. Pantai Gandoriah Pariaman, 14 Maret 2013. 10.40 WIP.
Disini aku lahir, disini aku besar, disini aku merasa bodoh,,, (Iwan Fals – Kotaku) Inilah kampungku, kawan. Pariaman. Sepuluh tahun lalu aku pergi meninggalkannya. Rupanya rentang waktu itu terlalu singkat untuk sebuah perubahan. Dulu, kampungku ini merupakan pelabuhan penting dalam rute dagang internasional. Sejak abad ke 15, pelabuhan Pariaman sudah dikenal oleh bangsa asing sebagai pelabuhan strategis. Catatan tertua tentang kampungku ini ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Kapal – kapal dari Gujarat setiap tahun singgah di Pariaman membawa kain untuk dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda. 21 November 1600, untuk pertama kalinya bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman, dengan dua buah kapal di bawah pimpinan Paulus van Cardeen. Tahun 1686 orang Pariaman memulai hubungan perdagangan dengan Inggris dan begitulah sampai kemudian pemerintah Hindia Belanda memusatkan semua kegiatan di Padang dengan dibukanya rute kereta api dari Padang ke Pariaman. Maka lama kelamaan pamor Pariaman memudar dan hilang sama sekali dalam panggung sejarah Minangkabau. Satu lagi, Kawan. Dan ini sangat penting. Kampungku yang berada di pesisir barat Minangkabau ini adalah pusat penyebaran agama Islam. Konon, kata Pariaman berasal dari kata “Paria”, yaitu sebuah kasta Muslim di India dan kata “Man” yang berarti laki-laki. Aku tidak tau kebenaran cerita itu. Tapi yang pasti, jika kawan berkunjung ke makam Syeikh Burhanuddin, penyebar Islam di Minangkabau, kawan akan menemukan fakta bahwa dari kampung kecilku inilah Islam diajarkan ke santero Minangkabau. Hingga kemudian terjadilah kesepakatan antara Syeikh Burhanuddin dengan Kerajaan Pagaruyung di Bukit Marapalam tahun 1668 yang melahirkan postulat Minangkabau nan terkenal itu ; Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Itulah kampungku kawan. Kampung yang dahulunya sangat religius bahkan menjadi pusat penyebaran Islam. Kenapa aku katakan dahulunya? Itulah yang ingin ku curahkan padamu. Waktu tentu tidak berhenti disini, dia terus berjalan melanjutkan detak zaman hingga akhirnya Allah benar-benar menghentikannya. Dua puluh tahun yang lalu. Ketika aku setiap pagi berangkat ke Sekolah Dasar, siangnya kami mengaji ke Sekolah Mengaji, dan malamnya kami mengaji lagi ke Surau. Itulah rutinitasku di masa kecil. Aku bersyukur karenanya. Setiap hari minggu aku dan teman-teman dengan riang gembira membersihkan Surau di kampung kami mulai dari pekarangan Surau hingga ke kuburan di belakang Surau. Itulah kami, anak-anak kampung yang di besarkan oleh Surau. Bahkan tidurpun kami jarang sekali di rumah. Lebih banyak tidur di Surau. Makanya kau jangan terlalu heran, kawan. Bagaimana mungkin aku dengan tampang berantakan tak terurus begini bisa juga sedikit-sedikit memberi ceramah layaknya seorang ustad? Itu adalah sisa-sisa didikan masa laluku, yang harus ku akui sekarang sudah banyak terlupa daripada yang teringat. Tapi tak apalah. Tetap saja harus disukuri. Jakarta memang membuat insting kebaikan menjadi tumpul, insting maksiatlah yang meruncing. Soal ini, tentu kau sudah paham, kawan. Tak perlu ku ceritakan. Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku meninggalkan kampungku ini, aroma religiusitas masih terasa. Sebelum berangkat ke Jakarta dan bertemu denganmu, aku adalah seorang guru mengaji. Eh, kau jangan kaget, kawan. Aku memang guru mengaji. Tapi itu dulu. Sebelum kau dan kotamu itu menghilangkan banyak hafalan al Quranku. Dan kini. Sepuluh tahun kemudian. Kampungku ini sudah mulai berubah, bahkan sangat berubah. Kampungku ini sudah tidak sudi lagi disebut kampung. Maunya dipanggil kota. Tapi bagiku dia tetap kampung. Meskipun dia tidak rela kupanggil demikian. Memang, sudah tidak ada lagi yang membedakan kampungku ini dengan Jakarta kecuali tugu monas dan gedung-gedung tingginya. Soal gaya hidup, kau jangan tanya kawan. Lebih metropolis, atau tepatnya lebih norak dari Jakarta. Anak-anak sekolah juga sudah menggunakan kata “loe gue” sebagai instrument komunikasi sehari-hari. Model kehidupan religius yang pernah kutemui dua puluh tahun yang lalu sudah punah, tak bersisa. Perempuan minang yang dikenal sopan dan anggun sudah jarang. Mereka digantikan gadis-gadis bernasib malang yang dikalahkan oleh obsesi mereka tentang Jakarta. Saban hari mereka mondar mandir di pinggir pantai dengan pamer paha dan dada kemana-mana. Bagiku pemandangan seperti ini biasa saja. di Jakarta ini adalah keseharianku. Tapi disini, di kampung ini, ini adalah pemandangan yang lucu. Aku kadang-kadang tertawa geli menyaksikan ulah anak-anak yang hampir tak mengenali dirinya ini. Mereka benar-benar tidak berdaya melawan arus globalisasi yang melanda bak tsunami. Mungkin zamanlah yang patut disalahkan. Dia berjalan terlalu cepat tanpa mampu dikejar oleh akal anak-anak ini. Dalam kemaksiatan kampungku ini tak mau ketinggalan dengan Jakarta. Mulai dari geng motor, narkoba, hingga prostitusi terselubungpun sudah ada di kampungku. Hebat bukan? Meskipun jumlahnya tentu tak sampai dua atau tiga. Ada lagi isu yang sama sekali tidak pernah ku dengar di masa kecilku, yaitu korupsi pejabat daerah. Sebenarnya soal korupsi ini aku tidak kaget. Di Negara ini mana ada daerah yang tidak ada kurupsinya. Desentralisasi kebijakan pasti akan menghasilkan desentralisasi korupsi pula. Itu hukum alamnya barangkali. Satu-satunya yang membuatku agak terhibur adalah jumlah Masjid dan Surau yang terus bertambah. Setiap satu desa rata-rata memiliki dua atau tiga masjid dan surau. Tapi jangan kau tanya soal aktifitasnya. Aku malu menjawabnya. Ingin rasanya aku meruntuhkan Surau-Surau tak berpenghuni itu. Sekarang, disinilah aku berdiri. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Memperbaiki? Memperbaiki apa? Atau mungkin memang seharusnya begini. Aku saja yang terlalu bodoh untuk memahami. Aku pernah mengutuk Jakarta sebagai keraknya neraka. Tapi kini, di kampung nyala api neraka sudah mulai berkobar. Entah siapa yang akan memadamkan. Aku tidak tau. Kurai Taji, Pariaman, 17 12 2012, 16.22 WIP
Dulu semasa kuliah, saya berlangganan di sebuah toko buku murah dan bisa ngutang bernama Gerak Gerik. Lokasinya di pinggir jalan Pesanggerahan persis sebelah kanan kampus UIN Jakarta. Entah sekarang toko buku itu masih ada atau tidak. Suatu hari saya menemukan buku dengan judul yang sangat provokatif. Saya lupa persis redaksi judulnya, mungkin Para Pembunuh Tuhan atau redaksi lain yang semakna. Sekarang buku itu sudah hilang entah kemana. Bagi teman yang masih menyimpan sudilah kiranya berbaik hati meminjamkan saya :). Tidak banyak yang bisa saya ingat dari buku tersebut. Yang jelas, beberapa orang telah mendeklarasikan “kematian Tuhan”. Friedrich Nietzsche adalah salah satu tokoh yang ikut dalam “deklarasi” ini. Kalau tidak salah tokoh-tokoh seperti Agustin Comte, Sigmund Freud, dan Karl Marx juga masuk rombongan. Membicarakan gagasan-gagasan orang-orang ini akan menimbulkan kerumitan tersendiri. Jadi mari kita tinggalkan mereka. Yang ingin saya urai adalah; benarkah Tuhan telah mati? kalau benar, siapa yang membunuh-Nya? Nietzsche mengatakan ; “Tuhan sudah mati… Dan kita telah membunuh-Nya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri?”. Kata “mati” atau “membunuh” pastilah tidak bermakna harfiah. Mungkin yang dia maksud adalah bahwa gagasan tentang Tuhan sudah tidak lagi mampu menjadi landasan dalam kehidupan manusia. Kata “kematian Tuhan” adalah sebuah cara untuk menyampaikan kepada manusia bahwa agama sudah tidak lagi menjadi dasar perilaku dan moral. Agama menggantung jauh di langit sementara manusia asik bekerja dan berbuat semaunya di bumi. Jika makna ini yang dimaksud Nietzsche, Cs., maka saya bersedia ikut gerombolan orang-orang ini. Tidak ada perang yang lebih mengerikan selain perang atas nama Tuhan. Perang ini sudah berlangusng berabad-abad. Di era modern ini kita tiap hari mendengar satu kelompok, atas nama Tuhan, merasa berhak membunuh kelompok lain. Para “tentara Tuhan” ini berkeliaran dimana-mana seolah-olah mereka mendapat mandat dari Tuhan untuk membunuh siapapun yang dianggap musuh-Nya. Tuhan yang sebenarnya Maha Lembut dan Penyayang mereka “bunuh” untuk kemudian menciptakan tuhan imajiner dalam ilusi mereka; tuhan yang haus darah. Setiap melancarkan aksinya, orang-orang ini berteriak menyebut kebesaran Tuhan, tapi di hatinya terpendam sifat yang bertolak berlakang dengan sifat Tuhan; kebencian, dendam, keangkuhan, dan penghinaan terhadap ke-Maha Kasih-an Tuhan. Maka saya memilih untuk menempatkan orang seperti ini dalam kategori Pembunuh Tuhan. Kategori Pembunuh Tuhan yang lain adalah; mereka yang hanya menempatkan Tuhan dalam pikirannya tapi membuang Tuhan dari hatinya. Sebagian kita gemar menghafal nama-nama, sifat-sifat, dan pujian-pujian terhadap Tuhan. Tapi kita tidak pernah benar-benar menghadirkan-Nya dalam kehidupan. Di Negara-negara Islam, atau berpenduduk mayoritas Islam, sebagaimana Indonesia, korupsi justru merajalela. Bahkan di Indoensia departemen yang mengurusi urusan Agama mendapat julukan departemen terkorup. Sebagian mereka adalah para ustadz, mubaligh, ulama, atau cendekiawan. Tentulah mereka menghafal firman-firman Tuhan jauh lebih banyak. Inilah yang saya maksud dengan menciptakan Tuhan dalam hafalan namun membunuh-Nya dalam kehidupan. Orang yang secara kasat mata terlihat paling rajin beribadah justru menunjukkan sifat-sifat jauh dari Tuhan. Dalam Islam, para ahli tasawuf mengkritk cara hidup yang hanya menempatkan Allah pada hafalan semata. Ibn `Arabi menyebutnya dengan al haq al makhluk fil i`tiqad atau “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan”. Mestinya, menurut ahli tasawuf, Allah tidak hanya didefenisikan dalam sifat-sifat, tetapi harus dirasakan kehadiran-Nya. Saya jadi ingat cerita pendek populer karya Ali Akbar Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami. Dalam cerpen itu, Haji Saleh, yang semasa hidupnya menjadi orang yang paling rajin beribadah ternyata di akhirat mendapat tempat paling rendah dalam neraka. Di kerak neraka. Haji Saleh dalam cerita ini mewakili tipologi manusia yang menciptakan Tuhan dalam imajinasinya tapi membunuh Tuhan dalam hatinya. Terakhir. Kata “kematian Tuhan” juga ingin memberi petunjuk pada sebuah fenomena; agama sudah tidak penting lagi bagi sebagian manusia modern. Di lingkungan anda, berapa persen orang yang menjalani hidupnya berdasarkan norma agama? Berapa banyak anak-anak muda yang berlatar belakang pendidikan agama kemudian terjebak pembunuhan, pencurian, atau narkoba? Dimana mereka meletakkan Tuhan yang mereka pelajari? Pergilah ke tempat-tempat pelacuran. Tanyakan kepada wanita-wanita malang itu, tentu yang beragama Islam, apakah mereka bisa baca al Quran? Sebagian akan menjawab; Bisa!. Sebagian mereka bahkan tetap melaksanakan sholat dan puasa. Lalu dimana mereka menempatkan Tuhan?. Berapa banyak wanita-wanita yang rajin ke gereja tapi melakukan aborsi? Dimana mereka menempatkan Tuhannya?. Dan saya, anda, kita semua harus kembali bertanya; dimana kita telah menempatkan Tuhan? Sudahkah kita menempatkan-Nya dalam posisi yang seharusnya? Ataukah kita telah membunuh-Nya? Wallahu a`lam bisshowab. Simpang Basoka Kurai Taji, Pariaman Selatan. Sabtu, 3 Nopember 2012. 02.43 WIB.
Bagaimana jadinya jika setan sudah tidak lagi mengajak manusia ke jalan yang sesat? Bisa jadi anda akan merasa senang karena anda terselamatkan dari kesesatan? Tapi tunggu dulu, saya punya cerita tentang itu. Suatu hari di saya mampir ke sebuah musholla di Jakarta. Tidak terlalu besar memang. Tapi pada waktu maghrib biasanya musholla lebih ramai jika dibanding dengan waktu-waktu yang lain. Begitu memasuki pekarangan musholla saya menyaksikan pemandangan yang tidak biasa. Jika pada waktu-waktu menjelang sholat tiba, setan-setan akan sangat sibuk mengganggu manusia sejak dari tempat wudhu hingga tempat mereka sholat. Mereka dengan semangat juang tinggi tak kenal lelah akan menggoda manusia-manusia yang sedang sholat. Tapi senja ini suasananya berbeda sekali. Para setan terlihat begitu santai bahkan cenderung murung. Sebagian tidur-tiduran dalam musholla, sebagian duduk di depan pintu. Bahkan tidak sedikit yang duduk bermenung sambil mencoret-coret tanah persis seperti anak yang merajuk karena dimarahi bapaknya. Sebenarnya bagi saya ini berita baik. Orang-orang yang sedang beribadah di musholla akan lebih tenang ibadahnya karena para setan mungkin sedang dilanda masalah serius atau memang barangkali mereka sedang malas. Bosan mungkin. Berates ratus tahun mereka melakukan rutinitas yang sama tanpa henti. Jadi agak masuk akal kalau mereka hari ini agak bermalas-malas. Refreshing barangkali. Tapi tetap saja ini menjadi fenomena yang tidak biasa. Selepas sholat maghrib saya berbincang-bincang dengan beberapa jamaah sambil terus melirik setan-setan yang wajah mereka lebih menunjukkan rona sedih daripada malas. Selepas isya, setelah jamaah lain meninggalkan musholla, saya sempatkan menemui para setan ini. “Hei, ada apa ini”. Tegur saya sambil menepuk pundak setan yang paling besar di antara yang lain. Mungkin dia komandannya. “Apa hari ini kalian sedang libur?”. Komandan setan ini sepertinya tidak terlalu antusias menerima saya. “Ayolah, cerita padaku. Kenapa kalian tidak bertugas hari ini? Memang ini hari libur atau gimana?”. Saya terus mendesak. “Hmmmm,,, sepertinya kami akan kehilangan pekerjaan”. Kata komandan setan yang tingginya dua kali lipat di atas saya. “Maksudmu?. Kalian di PHK? Aku baru tahu kalau di dunia setan ada PHK!!”. “Bukan. Bukan itu”. Sambil menyandarkan badannya ke pintu musholla sang komandanpun menghisap rokoknya dalam-dalam. “Ini benar-benar di luar kendali kami”. Setelah semburan asap hitam rokoknya, mulut bertaring itu mulai lancar bercerita. “Sudah hampir seribu tahun aku dinas di divisi ini, baru kali ini aku menemukan masalah serumit ini”. “Rumit bagaimana?”. “Kau tau, dulu divisi ini merupakan divisi paling sulit dari semua divisi yang ada di dunia setan. Bagaimana tidak, mengganggu orang yang sedang beribadah di masjid atau musholla adalah tugas yang sangat berat jika dibanding dengan mengajak orang berjudi, mencuri, apalagi berzina. Itu semua pekerjaan mudah. Tapi aku dan teman-teman hampir seribu tahun tetap bertahan di divisi ini karena kami sangat termotivasi dengan tantangan yang berat ini”. Mata merahnya menyala memandang ke dalam musholla. “Ok. Lalu sekarang apa masalahnya?”. Sekali lagi dia menghisap rokok dalam-dalam dan membuang asapnya sekaligus. “Aku tidak habis pikir”. Lanjutnya. “Tanpa aku ganggupun, orang-orang ini sudah tidak lagi sholat sebagaimana mestinya. Raganya sholat di sini, tapi fikirannya sudah kemana-mana. Kau lihat pak haji yang pake sorban besar tadi itu. Sedang sholat masih saja dia sempat memikirkan daftar piutang harus dia tagih. Beberapa pelanggan di toko bangunannya belakangan agak sulit dalam pelunasan hutang. Maklumlah, krisis katanya”. Saya mengangguk saja, mulai mengerti arah pembicaraannya. “Lalu kau lihat lagi ibu hajah yang pakai mukena mewah gemerencing tadi. Baru saja selesai sholat, bibir kotornya sudah bersimbah gunjingan. Ada saja kesalahan orang yang jadi bahan gunjingannya. Adalagi bapak-bapak yang baru pulang dari sini langsung ke meja judi atau ke Bandar togel. Ah, rupanya orang-orang sekarang sudah lebih setan dari setan itu sendiri”. Sekali hisapan panjang terakhir, rokok cerutu panjang itupun langsung habis hingga api menyentuh bibir komandan setan ini. “Kalau begitu baguslah. Kalian tidak perlu lagi bekerja keras. Tanpa kalian ganggupun, mereka sudah tersesat dengan sendirinya”. Saya coba menghibur mereka. “Apanya yang bagus? Kalau kami tidak bekerja, kapan pangkat kami akan naik. Sudah lima ratus tahun tanda melati tiga ini menempel di pundakku. Aku ingin segera mendapat bintang satu, perwira tinggi dalam dinas persetanan. Kalau begini terus, aku bisa pensiun hanya dengan pangkat perwira menengah. Bah,, bisa mampus aku”. “Ooow,, begitu rupanya. Kalau begitu aku beri kalian saran. Jangan dinas di Indonesia. Pergilah ke luar negeri. Ku dengar orang-orang Islam di Eropa justru lebih komitmen memegang ajaran agama mereka. Kalau kau terus-terusan bertugas di Indonesia ini, kau hanya akan bertemu dengan setan-setan berwujud manusia. Mulai dari pejabat sampai ulamanya, hanya wujudnya saja yang terlihat suci seperti manusia. Tapi dalam hati mereka jauh lebih setan dari kalian. Sampai matipun kau tak akan dapat bintang satu. Percayalah padaku”. Dan sayapun berlalu sambil meninggalkan sekelompok setan yang sepertinya sedang berpikir keras itu. Balai Kurai Taji, Kota Pariaman. 10.10.2012. 17.20 WIP
Selasa, 04 Desember 2012
Istilah Islam Protestan bukanlah merupakan istilah baru dalam khazanah intelektual Islam, terutama di Muhammadiyah. Saya sendiri baru mendengar istilah ini lewat tulisan seorang senior di IMM Ciputat, Sukidi, dalam sebuah artikel di harian Kompas tahun 2005 silam. Binkes, seorang pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia pada tahun 1913 mengatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan merupakan warga Indonesia yang memiliki tipe Calvinis layaknya reformasi Protestan abad ke 15 dan 16. Gerakan reformasi Islam Muhammadiyah sebenarnya telah lama dipandang oleh ilmuan sebagai gerakan yang paralel dengan gerakan reformasi puritan dalam sejarah Kristen. Clifford Geertz, W. F. Wertheim dan James Peacock adalah di antara ilmuan tersebut. Meski bukan istilah yang terlalu baru, tetap saja bagi sebagian warga Muhammadiyah istilah ini terdengar tidak lazim dan aneh. Sebagian barangkali menganggap istilah Islam Protestan sebagai pengaburan makna atau bahkan pelecehan terhadap Islam. Jika ada Islam Protestan tentu ada Islam Katolik. Demikian mungkin sebagian anda berkomentar. Tentu saja istilah ini bukan dalam konteks teologis, melainkan sosiologis semata. Ada banyak kesamaan antara gerakan reformasi Protestan di Eropa dengan reformasi Islam ala Muhammadiyah. Pertama, gerakan pemurnian Kristen yang dimotori Marthin Luther dan Johanes Calvin memberi tekanan yang sangat kuat kepada semangat rasionalitas keagamaan. Dalam hal berhubungan dengan Tuhan misalnya, reformasi Protestan menentang keras keharusan mediasi yang wajib melibatkan pihak ketiga, yaitu Gereja. Bagi mereka, setiap umat Kristen berhak berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa harus dimediasi oleh siapapun. Ini merupakan satu gebrakan yang luar biasa di masa itu mengingat kekuasaan Gereja yang sedemikian kuat dan berhak menentukan doktrin yang benar dan yang salah serta menjadi satu-satunya institusi yang berhak menafsirkan kehendak Tuhan. Kondisi yang hampir sama terjadi pada umat Islam di Jawa awal abad ke 20. Permohonan doa kepada Allah mestilah melalui Kiyai tertentu. Jika tidak, maka permohonan tidak akan dikabulkan. Selain itu, permohonan juga tidak akan sampai kepada Allah jika tidak disertakan sesajen yang dipercaya menjadi medium komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Muhammadiyah hadir mendobrak tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun ini. Semangat rasionalitas keagamaan dikobarkan dengan mengamputasi semua medium komunikasi tersebut dan mengajarkan cara berdoa yang saat itu tidak lazim, yaitu langsung berbicara kepada Allah secara pribadi. Tanpa perantara siapapun dan apapun. Kiyai dan orang biasa memiliki hak yang sama untuk berdo`a kepada-Nya. Maka sebagaimana reformasi Protestan yang mendapat perlawanan keras dari Gereja, Muhammadiyah juga harus berhadapan dengan institusi ulama yang sangat berkuasa dalam urusan ritual-ritual agama. Kedua, doktrin yang cukup terkenal dalam reformasi Protestan adalah puritanisme atau pemurnian. Doktrin ini terkenal dengan istilah sola sciptura, yaitu kembali kepada teks/Bible. Setiap umat Kristen berhak merujuk langsung kepada Bible tanpa harus terjebak pada mazhab dan tafsir-tafsir Gereja. Sekali lagi ini merontokkan dominasi Gereja atas penafsiran doktrin. Sementara Muhammadiyah secara terang-terangan meneriakkan purifikasi atau pemurnian melalui slogannya yang terkenal; arruju` ila al quran was sunnah, merujuk langsung kepada al Quran dan Sunnah Nabi. Sebagaimana purifikasi Protestan, purifikasi Muhammadiyahpun mampu menggoyang dominasi mazhab-mazhab fiqh yang selama ini dianggap mapan. Protestanisme Kristen secara radikal mampu merubah pola tanggungjawab manusia yang awalnya bisa dilimpahkan dengan mudah kepada pimpinan Gereja, menjadi tanggungjawab pribadi langsung kepada Tuhan. Demikian juga reformasi Islam Muhammadiyah. Peranan Kiyai, sesajen, kuburan suci, dan benda-benda keramat lain yang biasanya dipercaya sebagai medium komunikasi dengan Allah dikategorikan sebagai perbuatan syirik dan khurafat. Sehingga kedua gerakan ini, baik reformasi Protestan maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama meyakini bahwa kebenaran mampu dicapai secara pribadi antara individu dan Tuhannya tanpa ikut campur pihak manapun. Ketiga, dan ini suatu kebetulan yang sangat menarik. Baik reformasi Gereja maupun purifikasi Islam ala Muhammadiyah mendapat tempat yang subur di kalangan pedagang. Pada penggerak reformasi ini, menurut Binkes, memiliki tipikal yang sama; saudagar, tekun, cerdas, militan. Karakter inilah yang menjelaskan kenapa kedua gerakan ini memberi penekanan yang kuat terhadap rasionalitas keagamaan, membuat inovasi-inovasi, dan kemandirian. Usia Satu abad Tanggal 18 November 2012 merupakan titik penting perjalanan Muhammadiyah. Pada hari itu, satu abad yang lalu, Kiyai Dahlan bersama sekelompok pemuda berkumpul di langgar Kidul untuk mendirikan Muhammadiyah. Meskipun deklarasinya baru dilakukan pada malam Minggu terakhir bulan Desember 1912 di Gedung Loodge Gebauw Malioboro, Yogyakarta. Sejak itu, Muhammadiyah terus berkembang serupa bola salju. Semakin hari kian besar, semarak, dan dinamis. Dakwah melalui media dipelopori Muhammadiyah dengan mendirikan majalah Suara Muhammadiyah tahun 1915, gerakan perempuan berdiri tahun 1917. Dan gerakan pelayanan sosial yang dikenal dengan Penolong Kesengsaraan Oemom (PKO) berdiri tahun 1922. Muhammadiyah kemudian terus bergerak melintasi zaman dengan ciri reformis yang kain kentara. Deliar Noer, James Peacock, William Shepard, dan sebagian besar peneliti menyebut Muhammadiyah dengan istilah islamic modernism. Sementara Clifford Geertz, George Kahin, Robert van Neil, dan lainnya menyebut Muhammadiyah dengan gerakan sosio kultural. Pengamat lain seperti Alfian, Wertheim, dan yang lain menyebut dengan istilah islamic reformism. Hingga kini, satu abad kemudian, Muhammadiyah telah menjelma menjadi organisasi raksasa dengan jaringan dan amal usaha yang sulit dicari tandingannya. Data dari Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah menunjukkan jumlah jaringan dan amal usaha Muhammadiyah ; 4.623 TK, 2.604 SD/MI, 1.772 SMP/MTs, 1.143 SMA/SMK/MA, 67 Pondok Pesantren, 172 Perguruan Tinggi, 457 Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Klinik, 318 Panti Asuhan, 54 Panti Jompo, 82 Rehabilitasi Cacat, 71 Sekolah Luar Biasa, 6.118 Masjid, 5.080 Musholla, dan 20.945.504 M tanah. Saya tidak ingin terlibat perdebatan apakah Muhammadiyah organisai Islam terbesar pertama atau kedua di Indonesia. Jika ukurannya adalah jumlah anggota mungkin saja Muhammadiyah yang kedua atau ketiga, meski organisasi lainpun tidak punya data akurat tentang jumlah warganya. Tapi mari kita lihat penilaian objektif dari luar. Media-media di Amerika Serikat, sebagaimana sering disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, M. Din Syamsuddin, selalu menyebut Muhammadiyah sebagai the largest reformist Islamic organization. Nurcholish Madjid memberi penilaian; jika dilihat dari sudut pandang gerakan dan amal usaha, maka Muhammadiyah bukan saja gerakan Islam terbesar di Indonesia, tapi juga di dunia Islam. Antropolog Amerika Serikat, James L. Peacock, menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam terkuat di Asia Tenggara. Bahkan `Aisyiyah, menurut Peacock, merupakan organisasi perempuan terbesar dan paling dinamis di dunia. Saya kutipkan catatan James Peacock dan Howard Federspiel ; tahun 1923 Muhammadiyah memiliki anggota 2.622 laki-laki dan 724 wanita. Tahun 1925 anggotanya berjumlah 4.000 dan mengelola 55 sekolah, dua rumah sakit, dua panti asuhan. Tahun 1930 keanggotaanya meningkat menjadi 24.000. tahun 1950 menjadi 159.000. Tahun 1963 Muhammadiyah mengelola 4.600 sekolah, termasuk pesantren dan perguruan tinggi. Tahun 1970 Muhammadiyah memiliki 2.134 cabang, lebih dari 2.500 ranting dengan total anggota 6 juta. Dan hari ini Muhammadiyah telah memiliki 33 Wilayah, 417 Daerah, 3.221 Cabang, dan 8.107 Ranting. Sebuah jumlah yang sulit dicari tandingannya. Bagaimana sekarang? Seiring berjalannya waktu, Muhammadiya terus bergerak menuju usia yang semakin menua. Selain berbagai prestasi dan kebesaran yang telah diraih, Muhammadiyah juga harus mampu berbenah agar tidak ditinggalkan oleh zaman yang bergerak semakin cepat. Banyak pengamat memberi kritik atas kelambanan Muhammadiyah dalam membaca tanda-tanda zaman. Penyakit rutinisme dan birokratisasi merupakan hal lumrah terjadi bagi organisasi setua dan sebesar Muhammadiyah. Untuk itu, memasuki abad kedua usianya, Muhammadiyah perlu meresapi kembali semangat Islam Reformis ala Protestan sebagaimana diajarkan oleh generasi awal. Watak reformis yang menjadi ciri utama Muhammadiyah harus kembali ditumbuhkan. Kejumudan dan kemandegan pemikiran maupun gerakan Muhammadiyah lebih disebabkan oleh anggapan keliru sebagian warga Muhammadiyah yang menganggap persyarikatan ini telah mapan dan tidak perlu ada perubahan. Padahal, ciri utama gerakan reformis adalah senantiasa terbuka untu perubahan. Jika Muhammadiyah ingin bertahan dalam pusaran zaman yang semakin kompleks, maka pembaharuan jilid kedua harus segera dimulai. Saya percaya akan sebuah hadits yang mengatakan setiap satu abad akan lahir seorang pembaharu. KH. Ahmad Dahlan telah melakukan tugasnya sebagai pembaharu jilid pertama bagi Muhammadiyah. Maka inilah saatnya lahir pembaharu jilid kedua, dengan tipologi yang tentu saja harus sama dengan pendahulunya; militan, cerdas, dan terbuka, sebagaimana Reformasi Protestan d Eropa. Puncak, Cianjur, 5 Desember 2012. 00.05 WIC
Sabtu, 16 Juni 2012
Ini adalah hari pertama Surga dan Neraka mulai beroperasi. Setelah semua manusia menjalani pemeriksaan yang ketat di sebuah pengadilan besar bernama Padang Mahsyar, kini saatnya mereka memulai kehidupan baru disini. Di Surga, hari pertama terdengar sangat riuh. Orang-orang sibuk mempersiapkan diri menghadapi hari-hari baru mereka yang menyenangkan. Rumah-rumah dibangun megah dengan arsitektur bergaya eropa klasik. Pohon-pohon rindang, sungai mengalir meliuk-liuk di tengah taman. Luas area surga jauh melebihi luas bumi. Perumahan di dalamnya terdiri dari komplek-komplek yang dipisahkan oleh taman bunga dan sungai nan elok dipandang mata. Setiap komplek memiliki fasilitas pribadi dan fasilitas umum yang super komplit. Mulai dari kolam renang, jogging track, area fitness, lapangan segala olahraga, tempat karaoke, café dan berbagai fasilitas hiburan yang dijaga oleh bidadari dengan kecantikan tak berpadan di muka bumi. Dan yang paling penting, negeri surga tidak memiliki mata uang karena semua fasilitas tersebut gratis. Di hari pertama ini, akan diadakan apel akbar. Semacam upacara penyambutan yang dipimpin langsung oleh Malaikat Kepala dengan tugas dan wewenang penuh mengatur surga, Ridwan. Dilihat dari pakaian kebesaran dengan tanda pangkat bintang tiga dibahunya, dapat dipastikan bahwa Malaikat Ridwan adalah salah satu malaikat yang sangat berpengaruh. Hanya lebih rendah satu bintang dari Panglima Tertinggi Malaikat Jenderal Bintang Empat Jibril. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan kegiatan Protaperat atau Program Taaruf dan Pengenalan Akhirat. Di sini semua penghuni akan diajak saling berkenalan dan diajarkan cara menggunakan berbagai fasilitas yang ada. Jutaan malaikat berpangkat melati satu sdan dua dengan sabar dan bersemangat mengajari mereka meskipun beberapa penghuni sangat susah diajarkan. Maklum saja, kebanyakan penghuni surga adalah kaum melarat dan kampungan. Mereka semasa di dunia tidak terbiasa dengan barang mewah, apalagi barang super mewah seperti yang ada disini. Pastilah susah mengajarinya. Pada masa istirahat, beberapa panghuni berdiskusi di tengah taman yang rindang dan menebar aroma kesejukkan. “Hei, Dullah. Apa yang kau kerjakan selama di dunia hingga kau bisa masuk kesini?”. Tanya seorang penghuni berbadan tegap dan berjenggot tipis. Didahului hisapan rokok kreteknya, si Dullah menjawab “Aku juga kurang paham. Aku dilahirkan ke dunia sebagai orang melarat, menjalani hidup tujuh puluh tahun sebagai orang melarat, dan matikupun dalam keadaan melarat. Jadi tak banyak ibadah yang bisa kukerjakan kecuali yang wajib-wajib saja”. Temannya merasa heran “Jadi kau tak paham kenapa bisa masuk ke surge ini?”. “Ya, begitulah”. Kembali Dullah menghisap kreteknya. “Orang miskin seperti aku ini tidak mungkin bisa beramal banyak. Berzakat aku tidak mampu. Apalagi naik haji, tak usah kau tanya. Setiap hari aku merawat kebun orang. Setiap panen aku jual isi kebunnya dan kuserahkan semua uang hasil penjualan utuh kepada pemiliknya. Tak sedikitpun aku kurangi. Buah-buahan yang ada di kebunpun tak pernah aku memakannya meski aku tiap hari tinggal di kebun itu. Padahal kalau mau curang aku bisa saja mengambil beberapa hasil kebun dan menjualnya, toh majikanku tinggal jauh di kota besar. Aku sendirian disini. Tapi tak mungkin itu aku lakukan. Aku ini miskin, jika tidak mampu banyak beribadah dan beramal, setidaknya aku tidak terlalu banyak membuat dosa. Itu saja yang kulakukan hingga aku mati”. “Ah, kejujuranmu itulah yang mengantarmu kemari, Dullah”. Tandas temannya berseri. “Alhamdulillah, aku bersyukur karenanya. Nah, kau sendiri apa yang kau buat semasa hidup, Kasman?”. Rupanya temannya itu bernama M. Kasman. “Sama seperti kau, Dullah. Aku menjalani hidup dengan segala keterbatasan. Ibadahkupun hanya yang wajib-wajib saja. Kerjaku menjala ikan di laut dan menjualnya ke pasar. Jam dua pagi aku sudah berangkat dari rumah. Malam aku baru kembali. Meskipun kulihat teman-temanku suka mengakali timbangannya supaya hasil penjualan mereka labih banyak, tapi aku tidak tertarik melakukan hal serupa. Tentulah amalanku yang sedikit ini tak akan aku rusak dengan berbuat curang dengan pembeliku”. Kasman menyerumput kopi gingseng yang baru saja disajikan seorang bidadari untuknya. Disekeliling mereka orang saling menyapa, berkumpul dan saling bercerita tentang masa hidup mereka di dunia. Ada yang semasa hidupnya menjadi tukang cukur, tukang ojek, loper Koran, namun ada juga beberapa yang berasal dari golongan kaya, pejabat, dan ulama besar meskipun jumlah mereka tidak banyak. Beberapa bidadari dan malaikat terlihat sibuk melayani setiap kebutuhan penghuni. Dari tempat mereka berkumpul, di kejauhan terlihat samar-samar sebuah lembah yang berwarna merah menyala. Luasnya kira-kira sedikit lebih besar dari taman surga. Lembah itu adalah, Neraka. Neraka. Hari pertama mulai beroperasi. Sebagaimana di surga, kegiatan diawali dengan apel akbar, dipimpin oleh malaikat yang bertugas dan berkuasa penuh mengatur neraka, Malik. Sama seperti Malaikat Ridwan, Malaikat Malik adalah satu dari sedikit Malaikat yang sangat disegani. Tiga buah bintang bertengger di masing-masing bahunya menunjukkan betapa tinggi kedudukannya. Namun berbeda dengan penampilan Malaikat Ridwan yang bersih, Malaikat Jenderal Bintang Tiga Malik tampil dengan agak semrawut dengan kumis, jenggot dan jambang dibiarkan menutupi sebagian mukanya. “Selamat datang saudaraku sekalian”. Katanya membuka sambutan. Di depannya, milyaran manusia berbaris dengan muka penuh ketegangan. “Seperti yang mungkin pernah saudaraku sekalian dengar di dunia. Tempat ini dinamakan Neraka, tempat saudaraku semua akan dibersihkan hingga pada waktunya nanti saudaraku semua boleh bergabung dengan saudara-saudara kita yang lain di surga. Saya berharap saudaraku sekalian bisa mematuhi segala peraturan yang saya tetapkan dan dapat menjalani proses pembersihan ini dengan baik. Untuk itu, selama tiga hari ke depan akan diadakan Protaperat atau Program Taaruf dan Pengenalan Akhirat. Saudaraku semua akan dipandu oleh Malaikat Petugas untuk saling bertaaruf satu sama lain serta mengenalkan bagaimana proses pembersihan dosa dan alat-alat apa yang akan digunakan. Jadi harap saudaraku semua perhatikan dengan seksama. Proses pembersihan dosa saudaraku semua akan dimulai pada hari keempat, sehari setelah kita menyelesaikan Protaperat. Jika masih ada yang ingin ditanyakan, silahkan bertanya pada Malaikat Petugas yang senantiasa bersiap di sekitar saudara. Terima kasih.” Malaikat Jenderal Bintang Tiga inipun menutup sambutannya. Upacara selesai. Barisan dibubarkan. Di sela kegiatan orientasi itu, dua orang yang rupanya saling mengenal di dunia duduk berdiskusi dibawah terik matahari yang panas. “Apa rupanya yang salah dari kita ini”. Orang pertama yang bernama Haji Karim memulai pembicaraan. “Semua perintah Allah sudah kita kerjakan. Sampai-sampai tanahpun kujual agar bisa naik haji untuk ketiga kalinya. Tapi sekarang dicampakkan-Nya kita ke neraka ini”. “Ah, aku juga tak paham, Karim. Kau baru tiga kali naik haji. Aku? Selama empat periode aku jadi anggota DPR dari partai Islam Sekali, sudah sebelas kali aku naik haji. Umrah jangan kau tanya. Infak sadakah kau takkan bisa hitung. Saban hari anak yatim makan di rumahku. Apalagi yang kurang dari amalku ini?”. Lelaki bernama Ahmad inipun melenguh panjang. “Itulah, Mad. Kulihat orang-orang yang senasib dengan kita semasa hidupnya tak kurang ibadahnya. Kau lihat itu, ada Ustad kondang, pejabat sepertimu, pengusaha sukses, semua orang-orang yang selama hidup telah banyak menyumbang harta bendanya untuk amal. Rupa-rupanya kita sudah salah memahami perintah Tuhan”. Raut wajah Haji Karim menampakkan penyesalan tak terperi. Tiba-tiba suara tawa terdengar diantara mereka. Ternyata iblis sudah mendengar pembicaraan mereka sejak tadi. “Haha, kalian ini terlalu bodoh memahami keagungan Allah. Mulut kalian sibuk memuji-Nya tapi hati kalian menduakan-Nya. Makanya kalian diseret ke lembah ini”. Iblis menyengir penuh cibir. “Hei,Iblis laknat. Enak sekali kau bicara. Kaulah penyebab semua ini. Kau selalu menghasut manusia untuk ikut ke jalan sesatmu. Ini semua salahmu”. Ahmad mulai meradang melihat Iblis tiba-tiba menyela diskusi mereka. “Ha? Kau menyalahkanku. Padahal kalian sendiri yang bodoh dan egois. Yang kalian pikirkan cuma surga saja. Mulut kalian berbusa-busa memuji Tuhan dengan harapan akan mendapat imbalan surga. Itu saja yang ada di benak kalian. Kalian berzakat, tapi hati orang miskin sering kalian sakiti dengan mulut besar kalian. Kepala kalian bersujud tapi hati kalian tinggi. Apa kalian tak paham, menyakiti orang miskin adalah menyakiti Tuhan. Haah, kalian memang bodoh”. Iblis tertawa terkekeh, lalu melanjutkan kata-katanya. “Kau menyalahkanku karena hasutanku telah membuat kalian tersesat. Lalu atas kehendak siapa aku bisa menghasut kalian? Bukankah Tuhanmu yang memberiku kuasa untuk menghasut? Kenapa tidak kau salahkan saja Tuhan?”. “Hei, sombong sekali bicaramu berani menyalahkan Tuhan. Kaulah penyebab semua orang yang ada disini bernasib malang. Kau tipu semua orang dengan kemewahan dunia. Sekarang kau tertawa karena kami semua termakan tipu dayamu”. Haji Karim menumpahkan kemarahannya. Iblis kembali mengumbar tawa “Hahaha, kau lupa ya, Pak Haji. Allah telah memberi jaminan bagi orang-orang yang imannya teguh tidak akan mampu aku rayu. Orang yang ikhlas beribadah tanpa mengharap imbalan apa-apa tidak mungkin aku tembus keteguhan hatinya. Aku hanya bisa menggoda orang-orang yang hatinya tidak tulus. Memuji-muji Allah bukan karena cinta kepada-Nya tapi karena tergiur iming-iming surga. Kau pikir Tuhan mabuk pujian dan gila disembah. Aku tidak perlu memperdayamu. Keegoisaanmu telah menyeretmu kesini”. Iblis menatap bergantian kedua orang yang duduk termangu itu. “Jangan kalian pikir aku diusir dari surga itu benar-benar karena keingkaranku melawan Allah. Mana berani aku melawan perintah-Nya. Ribuan tahun aku habiskan waktuku untuk bersembah sujud kepada-Nya, tak akan kusia-siakan semua itu hanya demi egoku yang merasa lebih baik dari Adam. Kau tau, aku memang harus memainkan peran keburukan itu. Itu memang tugasku, Kawan. Musa tak akan mampu menunjukkan tanda-tanda kenabiannya jika aku tidak menyeret Firaun dalam lubang kesombongan. Apa artinya perjuangan Ibrahim tanpa kejahatan Namrud. Semua sudah diatur oleh Allah. Aku harus memainkan peranku agar terlihat jelas perbedaan mana emas mana tembaga. Bukankah Allah sudah mengatakan dengan jelas bahwa orang-orang yang teguh imannya tak akan sanggup aku rayu. Itu berarti bukan aku yang merusak hidup kalian. Tapi kalianlah yang membuka pintu kerusakan itu. Di setiap ada kebaikan aku harus mengambil tempat keburukan. Hitam adalah penting agar putih terlihat lebih jelas. Jadi sekarang kau jangan menyalahkanku. Semua siksaan yang akan kau jalani nanti adalah akibat dari kebodohan dan keegoisanmu. Kau tanggunglah sendiri akibatnya. Hahahaha”. Sang Iblis berlalu dari hadapan dua orang yang terperangah menyadari kebodohannya itu.