abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Jumat, 30 Mei 2008

Kenaikan BBM, Kado Ulang Tahun Reformasi

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Jumat, 30 Mei 2008

Oleh : Abrar Aziz, Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah Periode 2006-2008, Direktur Qalam Institute for Education and Demokracy

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pada tahun 2005 pemerintahan SBY – JK memberikan kado istimewa atas setahun pemerintahannya kepada rakyat, yaitu kenaikkan harga BBM sebesar 126% hingga harga bensin premium mencapai angka Rp. 4.500,-. Pemerintah mengatakan bahwa mulai saat itu sudah tidak ada istilah subsidi lagi, karena harga BBM di dalam negeri sudah sama dengan harga minyak mentah yang setiap beberapa kali sehari ditentukan oleh New York Mercantile Exchange.

Memang betul, bahkan lebih tinggi sedikit, karena ketika itu harga minyak mentah US$ 60 per barrel.

Ketika harga minyak mentah menurun hingga 57 US$, harga BBM ternyata tidak ikut menurun. Dan sekarang, pemerintah memberikan kado istimewa lagi kepada rakyat atas sepuluh tahun reformasi, yaitu kenaikan harga BMM 28,7% yang menyebebkan harga bensin premium melonjak hingga Rp. 6000,-. Alasan pemerintah tentu saja sudah bisa kita tebak, yaitu terus melejitnya harga minyak dunia serta ketidak tesediaan dana yang cukup untuk melakukan subsisdi. Alasan yang menurut sebagian orang sangat menyesatkan.

Sementara bantuan langsung tunai (BLT) yang merupakan bagian dari skema pengamanan sosial sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ternyata juga belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Bantuan tersebut hanya diperuntukkan bagi 19,1 juta orang miskin. Padahal menurut catatan BPS, jumlah keluarga miskin tahun ini mencapai 41,33 juta jiwa. Itu berarti masih banyak keluarga miskin yang tidak mendapat bantuan langsung tunai.

Kebijakan sepihak ini tentu saja hanya akan menambah lirih jeritan rakyat miskin. Para pejabat, presiden, para mentri, gubernur, dan walikota maupun bupati tidak akan merasakan dampak dari kebijakan anti-rakyat miskin ini. Karena semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan fasilitas Negara, yang sebagian besarnya adalah hasil dari pungutan pajak rakyat juga.

Di negara seperti Venezuela, sebagaimana dikutip worldnews.about.com, harga minyak hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, dan di Mesir Rp 2.300/liter. Cina adalah importer minyak terbesar ketiga di dunia. Tapi harga minyak di Cina hanya Rp 5.888/liter. Padahal penduduk negara itu lebih besar dari Indonesia (1,3 milyar jiwa). Di Indonesia harga Pertamax menapai Rp. 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS yaitu Rp 8.464/liter. Padahal Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia hanya US$ 85 per bulan sementara di AS US$ 980 per bulan.

Dengan memakai patokan harga Internasional US$ 125/barrel maka rakyat AS yang UMRnya US$ 980/bulan masih bisa menabung US$ 955/bulan sementara rakyat Indonesia yang UMRnya hanya US$ 95/bulan harus ngutang sebanyak US$ 30/bulan.

Kenyataan yang telah disebutkan diatas adalah bukti bahwa ternyata memang mental inlander masih tertanam dalam diri sebagian penyelenggara bangsa ini. Bagaimana mungkin Indonesia yang dianugerahi Tuhan kekayaan yang berlimpah namun rakyatnya harus menanggung beban yang luar biasa berat akibat kebijakan sepihak pemimpinnya sendiri. Nasib rakyat ini memang seperti ayam yang mati di lumbung padi.

Kenaikan BBM, benarkah satu-satunya jalan?

Menurut pemerintah, sebagaimana disampaikan Wapres Jusuf Kalla dan Mentri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan harga BBM adalah langkah terakhir yang “terpaksa” dilakukan pemerintah. Naiknya harga minyak dunia yang tidak terkendali merupakan alasan yang kerap kali digunakan. Jika kita perhatikan kondisi global, memang kenaikan harga minyak dunia tidak bisa dikendalikan. Produksi minyak dunia mencapai 85 juta barrel per hari, padahal permintaan minyak dunia sehari 87 juta barel. Hal ini mendorong pelaku pasar membuat prediksi provokatif tentang harga minyak dunia dengan asumsi bahwa dunia akan kesulitan memenuhi kebutuhannuya akan minyak.

Harga minyakpun melesat tak terkendali. Para pemimpin Negara merasa bimbang karena mereka hanya memiliki sedikit pilihan untuk menyelamatkan keuangan Negara. Bagi pemimpin Negara yang enggan bekerja keras dan berkorban untuk rakyatnya, pencabutan subsidi merupakan satu-satunya kemungkinan yang dapat dipilih. Meskipun sesungguhnya mereka menyadari bahwa pilihan itu akan menambah beban rakyat.

Tapi apakah kenaikan harga minyak dunia itu berdampak buruk bagi Indonesia? Seharusnya tidak karena Indonesia memiliki minyak sendiri yang mempu memproduksi satu juta barrel perhari. Menurut hitungan para ekonom, jika harga minyak melambung hingga US$ 100 per barrel sekalipun, dengan harga minyak sebelum dinaikkan (Rp. 4.500,-), Negara masih untung sebesar US$ 18 milyar atau Rp. 168 triliun. Hal ini karena produksi minyak kita jauh lebih besar ketimbang impor.

Menurut Kwik Kian Gie, jika harga premium bensin kita Rp. 2000,- per liter, negara masih untung Rp. 1.350,- karena ongkos produksi hanya Rp. 650,- per liter. Produksi minyak kita dianggap masih mencukupi kebutuhan minyak nasional yaitu 3,5 juta kiloliter pertahun. Bahkan menurut Kwik, jika kebutuhan minyak nasional mencapai 60 juta kiloliter sekalipun, itu berarti setara dengan 377,36 juta barrel pertahun, dan pemerintah harus melakukan impor minyak, negara masih untung sebesar Rp. 35,71 trilyun. Karena lifting (minyak mentah yang disedot dalam perut bumi Indonesia) kita mencapai 339,28 juta barrel per tahun atau setara dengan Rp. 293,31 triliun pertahun dengan kurs Rp. 9.100,- per US Dolar. Lalu kenapa pemerintah mengatakan negara tidak punya uang?

Pertanyaan ini yang membuat rakyat semakin bingung dalam lubang kesengsaraan. Bagaimana mungkin negara yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa ini ternyata memiliki angka kemiskinan yang prestisius, 44,33 juta jiwa. Di negara kaya ini ternyata masih banyak rakyatnya yang tidak bisa bersekolah karena sekolah itu mahal, masih banyak ibu-ibu yang bayinya ditahan di rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya persalinan, masih ada anak yang gantung diri karena tidak mampu membayar SPP. Siapa yang menghisap harta kekayaan negeri ini?

Sementara di istana, gedung parlemen, kantor mentri, dan rumah para pejabat daerah, puluhan mobil mewah berjejer dengan angkuhnya. Apakah para pemimpin itu tidak sadar bahwa mereka diberi amanah untuk mensejahterakan rakyat. Bukan untuk menguasai dan mensejahterakan diri dan keluarga sendiri. Berbagai kebijakan yang dibuat, seperti kenaikan BBM, ternyata malah membuat semakin sengsara. Negara menjadi penggusur orang miskin, bukan penggusur kemiskinan.

Agaknya rakyat hari ini hanya bisa memohon kepada Tuhan agar para pemimpin ini diberi petunjuk oleh-Nya sambil terus menyuarakan protes terhadap kebijakan yang tidak berpihak. Kita memang tidak bisa menggulingkan pemerintahan yang nyaris gagal ini ditengah jalan. Karena konstitusi mengamanatkan mereka memimpin bangsa ini selama lima tahun. Namun jika kepemimpinan sekarang ternyata tidak mampu mensejahterakan rakyat, maka perlu kiranya dipertimbangkan untuk tidak lagi memberikan amanah kepemimpinan kepada mereka pada periode yang akan datang. Karena orang yang beruntung adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi. Dan kita tentu tidak mau terperosok dua kali pada lubang yang sama. Jika sudah gagal, kenapa tidak cari yang lain?. Wallahu a’lam bis shawab.(***)


0 komentar: