abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Rabu, 30 Juli 2008

Teologi Al Maun; Landasan Teologis Membela Kaum Tertindas

Diposting oleh abrar aziz

Harian Singgalang,
Jumat, 25 Juli 2008

Oleh Abrar Aziz

Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah 2006-2008, Direktur Qalam Institute for Education and Democracy

Sejarah umat manusia adalah sejarah penindasan dan perbudakan. Menurut Ali Syari`ati, simbol-simbol peradaban manusia sesungguhnya dibangun atas nyawa dan darah jutaan orang. Dibalik kemegahan Piramid, simbol peradaban Mesir kuno, tersimpan cerita memillukan tentang sebuah rezim penindasan dan perbudakan. Dibutuhkan 800 juta keping batu yang harus di bawa sejauh 980 km dari Aswan menuju Mesir hanya untuk membangun kuburan para terkutuk itu. Jutaan nyawa budak manusia adalah harga yang harus dibayar demi ambisi Fifaun, sang penindas.

Seiring perjalanan waktu, penindasan dan perbudakan terus bergulir dengan berbagai bentuknya. Hari ini kita tidak lagi melihat tragedi perbudakan untuk membangun kuburan. Namun dengan sangat jelas dapat dilihat bahwa proses penindasan masih terus terjadi dengan berbagai motif tapi dengan tujuan yang sama, yaitu memuaskan nafsu segelintir orang. Hari ini perbudakan terjadi dengan modus yang lebih halus. Atas nama perang terhadap teroris, ribuan tentara AS harus terbunuh atau membunuh orang yang tidak pernah mereka kenal di Irak dan Afghanistan. Bahkan penindasan bisa terjadi atas nama agama sekalipun.

Sebaliknya, jika sejarah manusia adalah sejarah penindasan, maka sejarah kenabian adalah sejarah pembebasan terhadap kaum tertindas (mustadh^afin). Kehadiran mereka di muka bumi bukanlah sekedar penyampai wahyu Tuhan, namun juga memimpin kaumnya dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan. Karena itu, tidak jarang mereka harus berhadapan dengan penguasa yang zhalim dan tiranik. Nabi Musa AS harus bersusah payah mengeluarkan kaumnya dari perbudakan Firaun. Nabi Isa AS harus menjadi buronan Raja Herodes karena terus-menerus menyuarakan perlawanan teradap penguasa zhalim itu. Dan Rasulullah SAW sendiri, harus rela meninggalkan kampung halamannya demi menyelamatkan kaumnya dari penindasan.

Sepanjang masa kenabiannya, Nabi Muhammad SAW telah berhasil membebaskan kaum lemah Arab, terutama dari kebodohan dan perbudakan. Posisi kaum perempuan yang sebelumnya sangat hina, bahkan bisa diwariskan dan diperjual belikan, diangkat menjadi makhluk yang mulia bahkan berhak atas harta warisan. Para budak yang biasanya diperlakukan sebagai barang dagangan diberikan kebebasan sebagai manusia merdeka yang memiliki hak yang sama dengan manusia lain, bahkan dengan nabi sekalipuin.

Orang musyrik Mekkah seringkali mencela Islam dengan mengatakan bahwa pengikut Muhammad hanyalah kaum miskin saja. Sementara kaum bangsawan dan pemuka suku Quraisy tidak besedia mengikuti seruan Islam. Hal yang sama terjadi pada nabi Nuh AS.

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. (QS Nuh 27)

Begitulah, kaum dhu’afa memang sangat dekat dengan para rasul, dan sebaliknya keberadaan mereka sangat dibenci dan dihina oleh kaum penguasa. Para penguasa lalim tersebut tentu saja tidak senang jika kelompok tertindas tersebut melakukan perlawanan terhadap kekuasaannya. Sehingga berbagai cara dilakukan agar perbudakan tetap terjadi sehingga kelompok tertindas tersebut tetap berada dalam kesulitan. Cerita tentang penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap para budak tentu sangat sering kita dengar dalam sejarah perjalanan nabi.

Membumikan Teologi al Ma’un

Dalam surat al Ma’un dijelaskan bahwa pengingkar Tuhan bisa datang dari orang yang beribadah namun tidak memiliki kepekaan sosial. Dalam tafsirnya, Al Maraghi mengatakan bahwa pengingkar Tuhan adalah orang yang rajin beribadah tetapi riya. Penanda keriyaan itu adalah ketidakpedulian kepada kaum mustadh’afin. Al Quran, melalui ay at ini, dan pada banyak ayat yang lain, menegaskan kritiknya kepada perilaku kapitalsitik.

Bahkan dengan sengat jelas Al Quran memberikan defenisi kebajikan (al birri). Menurut Al Quran, yang disebut kebaikan adalah keterpaduan antara keimanan (transendesi) dengan praksis gerakan (QS. Al Baqarah 177). Al Quran dengan tegas melakukan kritik terhadap praktek ritual yang individualistic Ritual ibadah menjadi tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan aksi nyata untuk kemanusiaan. Islam bukan hanya masalah kalkulasi dosa dan pahala. Islam juga bukan sekedar mengiming-imingi manusia dengan surga dan menakut-nakutinya dengan neraka. Lebih dari itu, Islam adalah ajaran rahmat bagi seluruh alam. Islam adalah cara Tuhan untuk melakukan transformasi dari zaman penindasan menuju zaman pembebasan. Dan umat Islam, dengan demikian, adalah agen yang diperintahkan Tuhan untuk membawa misi pembebasan tersebut.

Jika agama hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seseorang dan Tuhan-Nya, maka tidaklah berlebihan kiranya tuduhan bahwa agama hanyalah candu. Agama hanya membuat manusia “terlena” dengan kenikmatan ritual tanpa peduli dengan realitas disekelilingnya. Bagaimana mungkin di negara yang warganya mayoritas muslim ini ternyata budaya korupsi, suap dan free sex menjalar seperti jamur di musim hujan? Bagaimana mungkin angka kemiskinan terus meningkat ditengah makin bertambahnya jumlah jamaah haji dari Indonesia? Ini membuktikan bahwa kehidupan umat Islam ternyata masih jauh dari nilia-nilai lihur yang diperjuangkan para nabi, yaitu kemanusiaan.

Menurut Asghar Ali, konsep tauhid bukan sekedar bermakna keesaan Tuhan tapi juga bermakna kesatuan manusia. Tauhid adalah jalan untuk pembebasan kemanusiaan. Untuk itu, penanaman tauhid yang kokoh mestilah diikuti dengan komitmen kemanusiaan yang kokoh pula. Menurut Hasan Hanafi, pada dasamya Islam memiliki perangkat yang cukup untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan. Selama ini, kita sering menjadikan ritual-ritual sebagai tujuan. Padahal, ikrar kita bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti ikrar bahwa setiap penindasan harus dihancurkan. Karena penindasan adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Tuhan.

Dengan landasan teologis tersebut, maka setiap ritual ibadah haruslah memiliki misi kemanusiaan. Seperti shalat harus memilki fungsi sebagai yang mampu melepaskan manusia dari kemungkaran dan sifat kikir. Puasa harus mampu merasakan rasa lapar dan penderitaan orang lain. Sehingga ibadah puasa mampu meniadi motifasi dalam membela kaum tertindas. Terakhir, sebagai muslim, kita sepertinya perlu melakukan kaji ulang terhadap cara keberislaman kita. Misi pembebasan sebagaimana lerdapat dalam surat Al Ma’un haruslah menjadi semangat keberislaman. Islam harus benar-benar ditempatkan sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Islam bukan agama yang diciptakan untuk kepentingan Tuhan. Islam diciptakan bukan untuk meyenangkan Tuhan. Karena Tuhan tidak butuh apapun kecuali diri-Nya sendiri. Jadi Islam adalah agama manusia dan oleh karena itu umat Islam haruslah senantiasa komitmen memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.