abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Senin, 30 April 2012

Kontras

Diposting oleh abrar aziz

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kontras memiliki makna ; memperlihatkan perbedaan yang nyata apabila dibandingkan. Jika anda mengambil kertas putih yang kosong lalu mencoretkan cat berwarna hitam pekat di atasnya maka akan terlihat jelas perbedaan antara kertas putih dan cat yang berwarna hitam. Kontras juga bisa kita pahami dalam konteks keadaan. Misalkan ketika anda melihat sebuah rumah mewah seharga sepuluh milyar berdampingan dengan gubuk kumuh yang terbuat dari kayu, maka anda akan bersepakat dengan saya bahwa itu adalah pemandangan yang kontras. Kontras dalam konteks keadaan inilah yang sehari-hari menjadi pemandangan lazim di negeri kita. Bahwa harga mobil seorang menteri yang mencapai satu koma tiga milyar adalah kontras jika dibandingkan dengan ratusan pengungsi bencana yang belum punya tempat tinggal permanen. Bahwa tunjangan perumahan anggota DPR senilai lima belas juta perbulan adalah kontras dengan gaji guru honorer dikampung saya, dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan. Suatu hari daerah saya kedatangan Bapak Presiden. Betapa bangganya para pejabat daerah di tempat saya. Jauh hari semua telah disiapkan matang-matang. Kunjungan RI 1 ini benar-benar spesial bagi pejabat daerah. Tapi sejauh yang saya perhatikan tidak semua rakyat antusias dengan kunjungan itu. Beberapa tetap turun ke sawah, sebagian ke sungai mengeruk pasir, sebagian tetap melaut, sebagian tetap berdagang di pasar. Sepertinya tidak terpengaruh dengan kunjungan pak Jenderal itu. Apakah sikap pejabat daerah dan rakyatnya ini bisa kita sebut kontras? Silahkan anda jawab. Bukan hanya tidak disambut antusias oleh rakyat kecil, kunjungan ini juga mendatangkan sumpah serapah bagi sebagian orang. Saya dan beberapa pengguna jalan harus rela menunggu berjam-jam karena jalan yang biasa kami gunakan harus ditutup sementara karena akan dilewati pak Presiden beberapa jam kemudian. Seorang bapak disamping saya tidak dapat menyembunyikan serapahnya kepada sang Presiden. Sepertinya dia sedang buru-buru mengerjakan suatu hal penting. Seorang bapak yang lain tak kalah seru mengumbar umpatannya karena hari ini pasti dia akan terlambat membuka warung nasinya. Di sebuah rumah seorang ibu juga kesulitan menahan umpatan karena bayinya yang baru berusia satu tahun tidak bisa tidur akibat suara sirine mobil polisi yang terus meraung-raung. Apakah ini juga bisa kita sebut kontras? Kepentingan rakyat banyak harus tersingkirkan demi kenyaman seseorang yang belum jelas apa manfaat dari kunjungannya itu? Bagi saya ini kontras. Menurut saya masih ada kontras yang lain dalam kasus kedatanga bapak Presiden ke daerah saya ini. Yaitu antara mental pejabat dengan rakyatnya. Bagi sebagian rakyat kecil, kedatangaan Presiden tidak berarti apa-apa. Menurut mereka melaut jauh lebih penting, turun ke sawah atau berjualan di pasar lebih bermanfaat daripada mengurusi orang yang jelas-jelas menyusahkan mereka dalam beberapa jam terakhir. Namun bagi pejabat daerah kunjungan ini sangat penting. Mereka bisa memamerkan keberhasilannya dalam membangun daerah, siapa tau nanti dengan kesan berhasil membangun daerah ini dana bantuan dari pusat bisa mengalir deras agar bisa dikorupsi lagi. Untuk kepentingan itu, ceritapun ditambah-tambahkan supaya bapak Presiden semakin terkesan. Mental pelabat yang inlander versus mental rakyat yang merdeka. Kontras. Desa Batang Tajongkek, Kec. Pariaman Selatan, Kota Pariaman. Jum`at, 27 April 2012 pukul 00.10 WIB

Sahabat Dari Negeri Setan

Diposting oleh abrar aziz

Senja itu, selepas maghrib saya duduk santai di saung yang saya bangun dekat kolam ikan peliharaan, sambil menikmati secangkir kopi pahit. Setelah seharian mengurusi ikan mas yang sebentar lagi akan kami panen, duduk melamun di tengah kesunyian kampung adalah kenikmatan tersendiri. Di kampung kami, selepas senja desa ini seperti desa mati. Hampir tak ada yang mau keluar rumah kecuali beberapa anak-anak yang belajar mengaji di mushalla. Seperti senja-senja sebelumnya, pikiran saya selalu melayang jauh ke masa depan. Kira-kira dua ratus tahun yang akan datang. Dalam bayangan saya, Republik Indonesia yang sangat saya cintai ini sudah terpecah menjadi belasan negara baru. Beberapa negara mengalami kemajuan signifikan, sementara sebagian lainnya masih tetap miskin, bahkan lebih miskin dari yang saya saksikan sekarang. Jakarta, yang menjadi simbol kepongahan dan keserakahan di masa kini, sudah tidak ada lagi dalam daftar nama-nama negara bekas Republik Indonesia. Jakarta sudah hancur lebur karena kesombongannya sendiri. Beberapa negara di timur Indonesia mengalami kemajuan cukup pesat. Hasil kekayaan alamnya bisa mereka kelola dan nikmati sendiri. Tidak lagi dihisap oleh lintah-lintah yang ada di Jakarta. Satu tepukan di punggung mengagetkan saya dari lamunan. Sesosok tubuh hitam dan tinggi tiba-tiba sudah berdiri di depan saya. “Di sini kau rupanya. Sudah gemuk kau sekarang”. Dia duduk disamping saya sembari menyambar kopi yang sudah hampir dingin. Terakhir saya bertemu teman ini sekitar satu tahun yang lalu ketika saya masih tinggal di Jakarta. Saat itu saya masih menjadi aktivis partai politik yang dekat penguasa di negeri ini. “Yaa,, sepertinya kampung ini lebih cocok buatku daripada Jakarta. Kemana saja kau baru kelihatan?”. Saya perhatikan sosoknya sama sekali tidak berubah. Seluruh tubuhnya hitam, sorot matanya merah menyala, bau busuk meskipun saya sudah terbiasa. Suaranya yang berat menambah kesan seram teman saya ini. Dia berasal dari sebuah negeri yang tidak pernah ada dalam peta dunia, Negeri Setan. “Ada urusan yang harus ku selesaikan di negeriku. Kan dari dulu sudah kubilang. Umar, kau tidak usahlah tinggal di Jakarta. Kau terlalu lurus. Apalagi masuk partai yang itu. Rusak kau dibuatnya”. Matanya yang merah menyala mondar-mandir kiri kanan seperti sedang menikmati suasana alam kampung ini. “Hehehe,, sudahlah. Tak usah kau bahas soal-soal yang dulu itu. Sudah ku buang jauh-jauh dari memoriku. Aku hanya bisa berdoa pada Tuhan agar pada saat aku mati negara ini masih utuh sebagai NKRI”. Saya sudah malas mendiskusikan soal-soal politik yang dulu selalu menjadi tema pokok diskusi kami. “Sekarang aku sudah cukup tenang dengan apa yang aku miliki. Meskipun dengan segala keterbatasan, tapi semua ini milikku. Hasil keringatku. Kau lihat kolam itu, sepuluh ribu ikan mas ini alhamdulillah cukup untuk menghidupiku sekeluarga”. Sesaat pikiran saya melayang ke belakang, beberapa tahun yang lalu. Di Jakarta, saya memiliki lebih dari cukup fasilitas hidup. Rumah, mobil, dana operasional, sudah disiapkan oleh ketua partai. Tak sedetikpun waktu yang terlewat kecuali kemewahan. Tugas saya adalah membangun opini bahwa ketua kami merupakan sosok yang sangat mencintai rakyatnya, politisi berbudi luhur, dan negarawan berakhlak tanpa cela. Membela nama baiknya dari serangan musuh-musuh politik adalah kesibukan saya sehari-hari. Namun lama-lama akal sehat saya mulai gerah dengan cara hidup seperti itu. Di depan publik, orang yang memberi fasilitas hidup kepada saya seolah seperti dewa yang tinggi budi dan luhur akhlak. Tapi di belakang, saya tau persis bagaimana keserakahannya terhadap kekuasaan. Dan saya harus tetap membelanya sebagai orang berhati mulia. Akal budi ini benar-benar tak bisa menerima. Saya seperti hidup bercermin bangkai. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Saya adalah orang merdeka yang terjajah, dan itu berlawanan dengan akal sehat. Maka saya putuskan melepas semuanya dan kembali ke kampung halaman. Orang tua di kampung kami sering berkata; lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. “Keputusanmu sudah tepat, kawan. Dari dulu kan sudah ku sarankan agar kau tidak usah ikut-ikut politik. Hanya ada beberapa orang saja yang bisa tetap waras di tengah hiruk pikuk politik yang semakin edan ini. Ku ramalkan, satu abad lagi negaramu ini akan terpecah berkeping-keping. Beruntunglah kau, saat itu terjadi kau sudah mati berkalang tanah, hahahaha”. Dia terkekeh sambil menepuk pundak saya berulang ulang “Ah, kau jangan sok tau. Masih banyak anak-anak bangsa ini yang gigih membela akal sehat dan nuraninya. Selama mereka masih ada, NKRI tak akan bubar. Aku yakin itu”. Saya masih berusaha membela negara ini meskipun bayangan saya tentang masa depan tidak jauh berbeda dangan ramalan sahabat saya ini. “Ckckck,, masih bisa kau bersilat kata,Umar. Ku tanya sekarang, kemana orang-orang sepertimu? Yang mengaku-ngaku membela akal sehat? Semua sudah menyingkir atau tersingkir satu-persatu. Akal sehat sudah dikalahkan nafsu kekuasaan. Dan nafsu itulah yang sekarang sedang mengendalikan negara tercintamu ini. Masih kau pelihara kayakinan naifmu itu?”. Matanya yang menyala menghujam lurus, tepat ke bola mata saya. Saya sepenuhnya menerima argumentasi itu, tapi saya masih ingin membangun secuil optimisme. “Aku masih yakin setiap satu abad pembaharuan akan terjadi. Jika abad yang lalu rahim nusantara ini telah melahirkan Tan Malaka, Sukarno, Muhammd Hatta, Sudirman, dan para pejuang lainnya, maka abad ini rahim yang sama akan melahirkan generasi baru yang akan menahkodai NKRI ini menuju arah yang benar”. Saya meyakinkan hati dengan argumentasi yang baru saja saya lontarkan. Jauh dari kedalamannya, hati ini menolak argumen yang lebih terkesan magis itu. “Huahahahaha,,,,,”. Gelegar suara tawa teman saya dari bangsa setan ini tiba-tiba menggema memecah kesunyian kampung. “Woi, Setan. Pelankan tawamu. Satu kampung bisa ketakutan mendengarnya”. Saya perhatikan sekeliling saung untuk memastikan tidak warga sekitar yang berlari keluar rumah karena mendengar suara tawa yang angker itu. “Lupa kau dengan siapa kau bicara?”. Jawabnya mengingatkan bahwa hanya saya manusia yang bisa melihat dan mendengar suaranya di kampung ini. “O, iya. Aku lupa. Sudah lama aku tak mendengar setan tertawa. Hahaha... Jadi, bagian mana dari kata-kataku yang kau anggap lucu?”. Saya membenarkan posisi duduk sambil menyeruput kopi yang sudah hampir habis diminum kawan lain bangsa ini. “Ternyata lama hidup di kampung membuat otakmu sudah mulai tumpul, kawan. Tak seencer dulu waktu kau membela mati-matian bosmu yang serakah itu”. Sahabat saya ini juga membetulkan posisi duduknya. Satu-satunya goreng pisang yang tersisa di piring saya pun langsung disambarnya. “Kau tau, Umar”. Mukanya sedikit lebih serius. “Aku sudah hidup sejak ribuan tahun lalu. Aku menyaksikan bagaimana gurumu, Aristoteles, dengan sabar mengajarkan ilmu logika dan ketatanegaraan kepada Iskandar Agung. Di depan mataku Socrates bercerita panjang tentang tugas-tugas pemimpin. Fir`aun di ujung kesombongannya menggelapar dalam dekapan laut merah menunggu kematian. Aku saksikan nabimu, Muhammad, mengajarkan kebajikan dan keluhuran budi kepada seluruh umat. Tak satupun kejadian penting di alam raya ini yang luput dari pantauanku”. Sejenak teman saya ini memandang lurus ke dalam kolam seolah sedang memastikan jumlah ikan mas yang ada di dalamnya. Diam sesaat. “Dan kau tentu tau, kawan”. Masih dengan nadanya yang serius. “Aku menyaksikan betapa Tan Malaka, yang kau sebut telah dilahirkan rahim nusantara ini sebagai pejuang, harus merelakan hampir seluruh kemerdekaan fisiknya demi membela kemerdekaan tanah airnya. Aku berada di hutan yang sama ketika Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit keras memimpin perang fisik dari atas tandu. Aku berada diantara Sukarno dan Bung Hatta ketika mereka serius dan bersungguh-sungguh membicarakan segala sesuatu tentang negeramu ini. Tak sedikitpun terlintas di benak mereka untuk memperaya diri apalagi merekayasa opini publik demi popularitas. Aku berada di rumah Bung Hatta saat kulihat temanku malaikat maut, berjalan tegap mendekati tubuhnya. Kau tau apa yang diwariskan seorang wakil presiden, kawan? Sebuah kacamata dan tumpukkan buku”. Saya hanya menunggu teman saya ini meneruskan pembicaraanya. Sudah hampir saya pastikan kemana ujung dari celotehannya itu, dan benar saja. “Lalu mereka itu yang mau kau banding-bandingkan dengan pemimpin sekarang? Apalagi ketua partaimu itu?. Hah!!!”. “Dia sudah bukan siapa-siapaku!!”. Agak malas saya memprotes. Saya pasrah saja menerima kekalahan yang sudah saya prediksi sejak awal. Setan bertubuh dua kali lebih tinggi dari saya ini melanjutkan ocehannya. “Di atas mimbar mereka berpidato dengan teks tersusun rapi tentang program-program yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Seolah-olah mereka dilahirkan sebagai seorang negarawan yang visioner dan serius memikirkan masa depan bangsa ini. Tapi asal kau tau, Umar. Di belakang mimbar itu, diruang-ruang pertemuan yang mewah itu, di mobil-mobil berharga miliyaran itu, mereka sangat serius dan antusias membagi-bagikan proyek pada sanak keluarga, mencari-cari celah membohongi rakyat agar dipercaya pada pemilu berikutnya, mengutak-atik uang rakyat agar bisa dikeruk sebanyak-banyaknya, menentukan siapa saja lawan yang potensial merusak jalan menuju kekuasaan sekaligus membicarakan strategi untuk menjegalnya. Semua diskusi itu berjalan dengan sangat bergairah. Itu yang mau kau sebut pejuang pembaharu abad ini? Sudah mulai terganggu akal sehatmu, kawan”. Tatapan matanya jelas sekali bermakna cibiran terhadap pandangan saya. Sesegara mungkin saya ingin menutup tema pembicaraan kami. Sejak awal saya tidak tertarik dengan tema diskusi ini. Pandangan yang disampaikan sahabat saya ini sebetulnya hanyalah mengulang-ngulang pandangan yang ada dalam benak saya. “Yaa,,, sudahlah kawan. Sudah ku bilang aku tidak tertarik lagi mendiskusikan soal-soal seperti ini. Aku hanya mencoba menegakkan sejumput harapan di tengah samudera pesimisme yang menghantui anak-anak bangsaku. Tuhan akan memberi keputusan paling adil terhadap negaraku ini”. Saya berusaha menutup diskusi yang tak berguna itu. “Hahaha... ternyata taubatmu benar-benar serius, kawan”. Lagi-lagi tangannya menepuk pundak saya sambil beranjak dari tempat duduknya. Selanjutnya kami bertukar cerita panjang lebar. Mengenang pertemanan kami selama di Jakarta. Sampai dia berdiri sambil menatap ke langit. Malam telah jauh meninggalkan senja. “Aku harus pergi dulu, kawan”. Ucapnya sambil terus memandang berkeliling. Alam pedesaan kampung ini berhasil menyita perhatiannya. “Sering-seringlah kau jenguk temanmu ini. Minggu depan insya Allah aku panen. Mampirlah kau jika ada waktu. Kau boleh bakar ikanku sepuasnya”. Sayapun bangkit berdiri sambil berkemas untuk pulang. “Ya, tentu saja aku akan sering mengujungimu. Minggu depan ku ajak istriku kesini. Kau belum kenal kan?”. “Wah, itu lebih baik. Asal jangan kau kenalkan dia dengan istriku, bisa mati berdiri dia. Hahahaha,,,”. Tawa itu mengakhiri perjumpaan kami. Sekejap saja dia sudah lenyap dari pandangan saya. Sayapun bergegas. Tiba-tiba terdengar lagi suaranya dari kejauhan “O iya, salam dari Fitri. Pacarmu yang sering kau ajak kencan di monas dulu. Aku berhasil merayu kawan separtaimu dulu untuk memacarinya. Sekarang dia hamil tiga bulan. Hahaha”.... Suaranya menyisakan gema. “Ah, dasar kau. Setan”. Desa Batang Tajongkek, Kota Pariaman 22 April 2012  

Surat Galau Untuk Tuhan (SGUT)

Diposting oleh abrar aziz

Pengirim : Karin Novianty, Jakarta. Dear Tuhan… Gue ga tau mau mulai curhatan gue darimana. Yang gue tau dari guru al Islam gue di sekolah, Kamu Maha Tau. Jadi kalo gue ga ceritapun Kamu pasti sudah tau kan, Tuhan? Tapi gue harus cerita, Tuhan. Galau banget nih gue. Gue ga tau harus cerita ke siapa? Gue takut. Kalau cerita ke mama pasti dimarahin. Kamu kan tau Tuhan, keluarga gue pada rajin solat, rajin ngaji, gue doang yang males. Kalau sama Kamu kan ga mungkin kena marah. Kata Pak Mufti, Tuhan itu Maha Penyayang. Benar kan? Gue putus lagi, Tuhan. Rizki yang katanya cinta mati sama gue ternyata punya selingkuhan. Itu lho, si Laura, anak IPS II yang genit itu. Ga cantik-cantik amat padahal. Ini udah yang kelima gue putus, Tuhan. Teryata semua cowok itu sama aja. Ga Rendy, Lutfi, Redi, Rahmat, dan terakhir Rizki. Semua sama. Pembohong. Waktu Rendy bilang cinta ke gue empat tahun lalu, gue bahagia banget tuh. Katanya apapun yang terjadi dia ga bakal ninggalin gue. Dan gue percaya. Percaya banget malah. Tapi apaan, dia tinggalin gue gitu aja. Padahal semua maunya dia udah gue kasih. Dialah cowo pertama yang nyium bibir gue. Gue udah nolak pas malam waktu dia nyium gue itu. Kan gue sekolah Islam, pake jilbab. Apa kata orang kalau liat gue ciuman sama cowok. Tapi katanya ini bukti cinta kita. Gue percaya aja. Dan seperti Kamu saksikan sendiri, Tuhan, kami melakukannya. Awalnya gue nyesal. Tapi ya gimana? Gue cinta sama dia. Ya gue serahin aja apa yang dia minta. Lagian, jujur aja nih, gue ngerasain enaknya juga. Tapi dia ninggalin gue gitu aja setelah empat bulan kita jadian. Gue ga tau deh alasannya apa. Katanya sih kita udah ga seprinsip atau apalah, ga paham gue. Gue kan masih SMP waktu itu, mana tau gue prinsip-prinsip. Trus waktu SMA, gue pacaran lagi sama Lutfi, baik sih anaknya. Pinter ngaji. Tapi lama-lama ya sama aja, gue diputusin setelah hampir setahun kita jadian. Ga tau deh udah berapa kali kita ngelakuin yang begituan. Ga sempet gue ngitungnya. Sampai yang terakhir ini, Rizki. Tampang doang alim, pake jenggot. Ternyata cuma manfaatin kecantikan gue doang. Pake bawa-bawa nama Kamu lagi, Tuhan. Gue masih ingat banget tuh pas dia ngajak gue “begituan”. Dia bilang “Rin, demi Allah kakak akan mencintai kamu selamanya”. Begonya gue percaya aja. Habisnya dia alim sih, sekarang aja dia kuliah di kampus Islam, ya dakwah dakwah gitu katanya. Mama juga suka banget sama dia. Padahal otaknya mah sama aja, mesum. Trus sekarang gue harus gimana,Tuhan. Gue cape kaya gini terus. Hidup gue rasanya gelap banget. Habisnya pak Mufti nakut-nakutin terus soal dosa. Katanya orang yang berdosa itu masuk neraka. Ntar di neraka mereka akan Kamu siksa, Tuhan. Katanya ada yang dibakar hidup-hidup, ada juga yang dipaksa minum air mendidih, trus ada juga tuh katanya disuruh pake sandal dari bara api. Gue sih ga percaya. Masa Tuhan yang Maha Penyayang kejam kaya gitu. Iya kan Tuhan? Tapi kata pak Mufti itu beneran. Katanya Kamu sendiri yang bilang kaya gitu. Emang bener ya, Tuhan? Bingung gue. Gue ga ngerti dosa itu apaan. Apalagi kalau pak Mufti ngomongin sariat, moral, akhlak, aaaakh pusing gue. Makanya PR ga pernah gue kerjain. Dosa itu apa sih, Tuhan? Rizki yang alim dan hafal banyak ayat-ayat itu sering nyium and ngeraba-raba gue. Bahkan “begtuan” juga sering dia ngajak. Padahal kata pak Mufti itu dosa, dosa besar. Tapi pas gue tanya ke rizki katanya kalau cinta ga apa-apa. Emang sih gue cinta sama dia, makanya gue mau-mau aja. Apa kalo orang yang tau ayat-ayat kalau ngelakuin begituan ga dosa ya? Trus gue dosa dong kalau ngelakuin itu? Gue kan ga tau ayat-ayat. Jadi gue harus belajar ayat-ayat dulu biar ga dosa? Duh, gimana sih ini? Makin mumet. Mumet tingak dewa gue. Trus kata mama, gue harus menjaga kehormatan gue, tepatnya kata mama keperawanan gue. Lagi-lagi kata mama Kamu juga yang suruh dalam al Quran kalau wanita itu harus hati-hati menjaga kehormatan. Tapi gue liat anak-anak yang lain ga peduli tuh sama keperawanannya. Liat aja Nisa, jilbabnya gede banget kan tuh. Ampe gue bingung dia pake jilbab apa mukena? Gede banget soalnya. Tapi kalau pacaran naujubileh deh. Gue pernah mergokin dia “begituan” di belakang mushola sekolah. Yang lain apalagi, Marisa, Aurel, Fina, Hanny, hahh. Sama aja, sekolah doang Islam. Soal pacaran mah sama-sama juga. Makanya gue bingung nih, Tuhan. Maksudnya jaga kehormatan itu apaan? Kalo kita “begituan” sama orang yang kita cinta kan ga apa-apa. Jangan kaya si Friska, masa cuma gara-gara pengen BB Torch dia mau begituan sama pak Helmy, guru Bahasa Inggris yang udah berumur itu. Apaan. Gue mah ogah. Dikasih mobil juga gue ga bakal mau. Jijik gue. Itu ga jaga kehotmatan banget. Gara-gara duit mau ditidurin. Kalau gue kan karna cinta. Tapi gue kadang-kadang ngerasa jijik juga sama diri gue sendiri kalo inget semua kejadian-kejadian itu. Makanya gue curhat sama Kamu, Tuhan. Kata pak Mutfi satu-satunya cara keluar dari galau adalah mengadu pada-Mu. Makanya gue tulis surat ini. Please Tuhan, gue harus gimana nih? kamu tau kan, sii Ramdan ngejar-ngejar gue mulu, kata Afif sih dia bakal nembak gue. Gimana dong Tuhan? Terima ga? Sebenarnya gue males pacaran lagi. Jijik gue sama cowok. Tapi kan anak-anak pada punya pacar, masa gue ga. Gue kan baru tujuh belas tahun. Apa kata dunia kalau Karin ga punya cowok? Kalau gue sih pengennya ga usah terima. Ilfil banget bangetan gue ama cowok sekarang. Apalagi yang alim-alim kaya Ramdan. Paling dia ga jauh-jauh modelnya sama Rizky. Ngejar gue cuma pengen “itu” doang. Tolong yakinin gue ya, Tuhan. Katanya minggu-minggu ini dia mau nembak. Kamu harus bantuin gue. Sebenarnya sih gue malu juga sama anak-anak kalau ga punya cowok. Tapi bodo amatlah, gue udah jijik pacaran lagi. Mau diejekin anak-anak ga apa-apa deh. Ya, Tuhan , ya. Bantuin. Gue mau tuh hidup kaya yang dibilang mama. Kata mama hidup akan penuh ketenangan kalau kita dekat dengan Kamu, Tuhan. Jauh dari dosa-dosa. Sumpah Tuhan. Gue pengen banget hidup tenang. Ga galau kaya gini. Tapi ga tau gue gimana memulainya. Pokoknya Kamu harus bantuin gue. Kan Kamu udah janji dalam ayat-ayat-Mu. Pak Mufti bilang Kamu janji bakal menuhin doa hamba-Mu. Kamu juga bilang kalo Kamu dekat banget sama hamba-Mu. Gue kan hamba-Mu, Tuhan. Ya walaupun jarang solat tapi kan gue tetap hamba-Mu. Ntar deh gue janji bakal rajin solat kaya mama. Gue bakal belajar ngaji juga sama pak Mufti. Janji deh gue. Ok, Tuhan? Deal Ya!! Ya udah gue mau bobo dulu ya, Tuhan. Udah malem. Ntar mama marah lagi kalo tau gue masih melek jam segini. Jangan lupa besok subuh bangunin gue. Gue usahain solat subuh deh. Tapi bangunin, kalo ketiduran ya ga jadi. Eh sebelum gue tutup gue kasih pantun dulu deh… empat kali empat enam sama dengan enam belas, sempat ga sempat tolong dibalas. Sekian surat gue, Tuhan Karin Novianty Hamba-Mu Menara 62, 28 11 2011. 03.45 WIB. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al Baqarah 186)