Menguatkan identitas keagamaan dan semangat intoleransi memperlemah integrasi sosial komunitas lintas agama.
Meski kekerasan-kekerasan sosial maupun komunal di beberapa daerah seperti Aceh, Maluku, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat telah mereda. Namun, konflik kekerasan komunal mulai muncul di daerah-daerah yang sebelumnya dikenal relatif damai. Bentuknya pun beragam, dari sekadar ancaman, pemukulan, hingga pengrusakan sarana ibadah dan simbol-simbol keagamaan lainnya serta perlakuan diskriminatif baik oleh aparat negara maupun kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas.
Meski kekerasan-kekerasan sosial maupun komunal di beberapa daerah seperti Aceh, Maluku, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat telah mereda. Namun, konflik kekerasan komunal mulai muncul di daerah-daerah yang sebelumnya dikenal relatif damai. Bentuknya pun beragam, dari sekadar ancaman, pemukulan, hingga pengrusakan sarana ibadah dan simbol-simbol keagamaan lainnya serta perlakuan diskriminatif baik oleh aparat negara maupun kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas.
Fakta-fakta di atas terekam dalam Focus Groups Discussion (FGD) yang dihelat Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20-21 Agustus lalu.
FGD yang mengangkat topik “Revitalisasi Kelompok Moderat: Memperkuat Integrasi Sosial Komunitas Lintas Agama” ini diikuti 23 peserta dari 7 komunitas agama dan penghayat kepercayaan, yakni Buddha, Hindu, Protestan, Katolik, Penghayat Kepercayaan, Khonghucu, dan Islam.
Diskriminasi dan sikap intoleran yang kerap terjadi di beberapa wilayah di tanah air ini biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang dianggap keluar dari mainstream dan oleh aparat negara kepada warganya. Sikap intoleran ini kadangkala dilegitimasi oleh elite keagamaan, atas nama kesucian doktrin agama dan ‘kebenaran’ yang dianut kelompok maenstream.
Aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat merupakan contoh konkret diskriminasi agama yang dilakukan kelompok mayoritas atas kelompok minoritas. Sedang perlakuan diskriminatif oleh aparat negara kepada warganya juga terjadi di beberapa daerah di tanah air.
“Saya masih kesulitan menyantumkan identitas agama Khonghucu di KTP dan KK saya sendiri,” tutur Suryani yang tinggal di Pamulang, Banten ini. Tak hanya itu, petugas Kelurahan pun mengintimidasinya dengan mengatakan dirinya tidak tahu diri.
Setali tiga uang, putri Suryani yang masuk sekolah di SMP Negeri di Pamulang pun mendapat perlakuan yang sama. Saat gurunya menanyakan apa agamanya, dan dijawab Khonghucu, guru tersebut menukasnya dengan berkata: “Khongucu?” Guru pun melanjutkan dengan pertanyaan lanjutan: siapa nabinya, apa kitab sucinya, dst. “Pertanyaan-pertanyaan itu seolah hendak memberitahukan ke siswa-siswa lain apa betul Khonghucu itu agama atau bukan,” kata Suryani yang mengaku anaknya sangat stress pasca ‘intrograsi’ di sekolah itu.
Soal sulitnya mendapatkan ijin pendirian rumah ibadah seperti gereja juga mengemuka dalam forum itu. Termasuk juga pengrusakan gereja dan mesjid milik Jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah. “Ini menunjukkan bahwa persoalan tak hanya dalam konteks antaragama, tetapi juga intra agama,” tukas salah seorang peserta Muslim.
Sulitnya mendirikan rumah ibadah seperti gereja dan vihara ditengarai karena tidak adanya komunikasi dan interaksi antar pemuka agama dan antar masyarakat di satu tempat yang berbeda, sehinga, ketika satu kelompok hendak mendirikan rumah ibadah, kelompok lain yang berbeda agama langsung menolak.
Komunikasi dan interaksi itu pun sebetulnya dapat dilakukan dalam beragamam bentuk. “Agar rencana pendirian Vihara di Aceh bisa terwujud, kami berbaur dulu dengan masyarakat di sana. Dalam peringatan 17 Agustus kemarin misalnya, kami turut berbagai lomba Agustusan seperti panjat pinang dan sebagainya,” ujar Renny Turangga, aktivis Buddha Dharma Indonesia. “Masyarakat di sana heran, koq ada orang Tionghoa yang mau main panjat pinang,” imbuh Renny menirukan komentar masyarakat Aceh.
Pernyataan Renny diamini oleh Yosep Setiawan. Pengajar agama Buddha di kawasan Cina Benteng, Tangerang ini menuturkan bahwa orang-orang Tionghowa sudah lama berbaur dengan masyarakat pribumi asli. “Kami di Tangerang ini sudah sejak ratusan tahun yang lalu. Suku-suku lain seperti Batak, Jawa, atau Padang lah yang merupakan pendatang di Tangerang, bukan kami yang Tonghoa,” tandasnya.
“Justru para pendatang inilah yang kerap membuat masalah di Tangerang. Misalnya, begitu berdiri rumah Padang di satu tempat, langsung disampingnya didirikan Warteg oleh orang Tegal. Kemudian muncullah persoalan,” imbuh pemuda yang mengaku lebih pribumi ketimbang pribumi asli.
Ia juga tak menampik bahwa Kristenisasi itu memang ada. Pengalaman dia menunjukkan hal itu. Pernah ia dibujuk oleh seseorang untuk masuk Kristen. Menurut seseorang yang dulunya Buddha itu, dari segi nama, Yosep sudah mirip orang Kristen. “Tetapi saya menolak tegas bujuk rayu itu. Tidak tahu apa kalau saya ini guru agama Buddha,” kata dia sambil tertawa.
Berbagai kebijakan pemerintah menurut sebagian peserta juga dinilai bermasalah. Alih-alih dapat memperkuat integritas sosial, yang ada justru merusak tatanan dan kerukunan antar masyarakat yang plural ini. Keberadaan Bakor Pakem Kejaksaan Agung yang dapat menilai sesat tidaknya suatu agama atau aliran agama adalah salah satunya. Lembaga tersebut justru bertentang dengan semangat UUD 1945, terutama pasal 28 dan 29 yang mengatur soal kebebebasan beragama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meskipun bukan lembaga pemerintah, tetapi karena kerap pemerintah mengamini fatwa-fatwa yang dikeluarkan organisasi Islam ini, turut memberikan andil terhadap disintegrasi sosial. Fatwa-fatwa MUI dinilai bertentangan dengan semangat kebhinekaan. Pengharaman terhadap paham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme adalah salah satunya,” ujar Abrar Azis dari Ikatan Remaja Mughammadiyah.
“Sekularisme, pluralisme, dan liberalisme itu kan pemikiran. Bagaimana mungin pikiran bisa dihakimi?” imbuh Azis mempertanyakan fatwa itu.
Selain itu, Tap Pres No. 1/1065 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No. 8 & 9/2006 yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah, dan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008/ No. 199 Tahun 2008 tentang peringatan terhadap penganut Ahmadiyah juga dinilai bermasalah karena bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 45.
Melihat fakta-fakta ini, peserta FGD sebetulnya memiliki harapan besar terhadap media massa. Peran media massa sebagai salah satu pilar demokrasi diharapkan mampu menjadi piranti integrasi sosial. Tetapi, yang kerap terjadi adalah karena medialah konflik sering terjadi.
“Media massa sering melakukan simplifikasi terhadap fakta-fakta di lapangan, sehingga fakta yang sesungguhnya kerap tidak terungkap,” tutur Trisno Suhito dari Himpinan Mahasiswa Islam MPO. Mantan wartawan di Banyuwangi ini menyontohkan, media mengatakan HMI dan HMI MPO telah berislah. Padahal menurut dia, tidak ada islah itu.
Peserta FGD juga kecewa terhadap media massa karena hanya mengangkat peristiwa-peristiwa kriminal atau kejadian buruk di masyarakat. Keterjebakan pada ‘idiologi’ bad news is good news masih belum bisa ditinggalkan, sehingga kegiatan-kegiatan seperti upaya-upaya perdamaian sering tidak terekam oleh media.
Terlepas dari itu semua, para pegiat lintas agama ini sudah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat integrasi sosial. Hanya saja, dinilai masih sebatas karitaif dan elitis. Misalnya dengan menggelar dialog antar agama, live in, youth camp, kunjungan ke rumah-rumah ibadah, dll.
“Belum ada kegiatan-kegiatan antarumat beragama yang berjalan permanen,” tandas Jesaya A. Wagimin dari WKPUB Jakarta Timur. Tapi, ia mengakui, baru pada tahap itulah yang sekarang ini bisa kita lakukan.
Tantangan-tantangan lain yang mengemuka adalah tiadanya ruang interaksi di antara masyarakat yang plural ini. Masyarakat urban seolah kehilangan tempat untuk saling bertemu, berinteraksi, dan kemudian saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Dari intereksi inilah diharapkan akan menepis prasangka atau kecirigaan yang masih ada di diri kita masing-masing.
Sayangnya, inisiator mewujudkan ruang interaksi itu juga masih langka. Ada pegiat lintas agama, tetapi dinilai masih terlalu karitatif dan kurang massif. Kelemahan lain adalah tiadanya komunikasi dan koordinasi antar pegiat lintas agama itu sendiri.Untuk itu, ke depan, para aktivis lintas agama ini, bertekad untuk merumuskan dan mengupayakan instrumen-instrumen yang memungkinkan antar kelompok masyarakat bisa saling bertemu, berinteraksi dan berbagi.
Harapan besarnya, moderasi beragama menjadi pilihan masyarakat Indonesia daripada beragama dengan menghalalkan kekerasan atau beriman dengan pedang yang memberikan rasa takut dan ketidaknyamanan pada yang lain. [ ] Ahmad Nurcholish
0 komentar:
Posting Komentar