abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Senin, 17 Maret 2008

Islam Agama Kemanusiaan

Diposting oleh abrar aziz


Jurnal INSIGHT, edisi April 2008

Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai masalah yang menimpa dunia dewasa ini. Setiap muslim juga yakin bahwa Islam sangat relevan dalam setiap waktu dan tempat (shalihun li kulli zamani wa makani).

Tapi terkadang timbul pertanyaan dalam benak kita ketika melihat relitas bahwa banyak umat Islam yang bertindak jauh dari nilai-nilai luhur keislaman. Apakah benar islam yang diturunkan lima belas abad yang lalu masih mampu menyelesaikan polemik persoalan manusia modern yang sudah jauh berkembang?. Pertanyaan ini muncul setelah kita melihat fakta banyaknya insiden kekerasan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh sesama umat Islam.

Selain itu, kemajuan teknologi yang demikian pesat ternyata juga menimbulkan masalah yang tidak sederhana. Kondisi global tersebut meniscayakan terjadinya gerak arus informasi yang sangat dahsyat. Arus ini tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga nilai. Nilai-nilai yang berkembang pada akhirnya akan membawa kita pada pola hidup yang beragam. Salah satu implikasinya adalah menyebarnya nilai-nilai materialisme, pragmatisme, dan hedonisme yang pada akhirnya menyudutkan agama pada posisi yang memprihatinkan. Masyarakat kita kemudian menjadi masyarakat yang penuh dengan kelonggaran-kelonggaran, pergaulan bebas, budaya korupsi, dan gejala negative lainnya.

Kemajuan teknologi ternyata juga membawa problematika kemanusiaan. Menurut Kuntowidjoyo, dunia modern sesungguhnya menyimpan potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil menorganisasikan ekonomi, menata struktur politik serta membangun peradaban maju. Tetapi pada saat yang sama, kita menyaksikan bagaimana manusia telah menjadi tawanan dari hasil ciptaannya sendiri. Dunia modern telah berhasil melepaskan manusia dari belenggu dunia mistik yang irrasional, namun manusia gagal melepaskan diri dari belenggu yang lain, yaitu penghambaan terhadap diri sendiri. Inilah yang menyebabkan manusia menganggap orang lain sebagai subordinat dan kurang penting keberadaannya.

Dengan demikian masihkan kita harus percaya bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai masalah yang kita hadapi? sementara kenyataan menunjukkan bahwa dunia hari ini telah jauh meninggalkan dunia dimana Islam diturunkan.

Untuk menjawab keraguan itu, marilah kita mulai dengan memberikan pemahaman yang benar tentang agama. Untuk siapa agama diciptakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan sikap keberislaman kita. Dalam ayat terakhir yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad saw. jelas disebutkan bahwa Islam diturunkan untuk kepentingan manusia (al yauma akmaltu lakum diinakum). Ajaran ini diperjelas oleh Rasulullah ketika melaksanakan haji wada` melalui pidatonya yang mengatakan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan, pertama, untuk menyatakn kebenaran. Kedua, untuk melawan penindasan, dan ketiga, membangun ummat yang didasarkan kesetaraan, keadilan dan kasih sayang. Pada banyak tempat dalam al Quran juga disebutkan tentang dimensi kemanusiaan Islam. Seperti adanya prinsip humanisasi (kemanusiaan), liberasi (pembebsan), dan transendensi (Q.S Ali Imran 110). Bahkan orang yang tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan disebut sebagai pendusta agama (Q.S Al Ma`un 1-3).

Pemahaman keislaman seperti ini menjadi sangat penting ketika kita melihat kenyataan banyak umat Islam yang menganggap bahwa Islam adalah agama Tuhan. Hal ini membuat sebagian kita merasa berhak mengatasnamakan Tuhan dan menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan. Konflik atas nama agama yang terjadi belakangan ini membuat kita sangat prihatin. Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama sampai hati melakukan kekerasan terhadap saudara seiman hanya karena beda pemahaman? Padalah Islam lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Namun, yang terjadi adalah saling curiga dan benci antar sesame kelompok Islam.

Akibat lain dari pemahaman yang kurang tepat terhadap Islam adalah lebih dominannya keberagamaan simbolik dibanding keberagamaan substansial. Umat Islam kemudian hanya mementingkan simbol-simbol agama tanpa mampu menghayati makna agama yang sesungguhnya. Yang terjadi kemudian adalah banyaknya ritual-ritual kering tanpa makna. Bukti nyata dari kondisi adalah semakin meningkatnya jumlah jemaah haji dari Indonesia ditengah semakin meningkatnya angka kemiskinan. Ironis memang, orang Islam yang melakukan ibadah haji setiap tahun terus bertambah, namun tingkat kemiskinan rakyat Indonesia tidak berkurang. Ini membuktikan bahwa keberagamaan kita telah kehilangan ruhnya. Banyaknya orang muslim yang kaya ternyata tidak membuat angka kemiskinan berkurang. Ini disebabkan oleh pemahaman bahwa ibadah adalah urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan orang lain.

Padahal dalam al Quran seringkali kata iman disandingkan dengan kata amal shaleh. Ini menunjukkan bahwa iman (orientasi ketuhanan) harus diikuti dengan amal shaleh (orientasi kemusiaan). Yang disebut kebaikan adalah ketika keimanan dan aksi sosial dilaksanakan sejalan (Q.S Al Baqarah 177). Maka dimensi keimanan tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan amal. Jika keimanan terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, maka amal shaleh adalah hubungan dengan sesama manusia sebagai wujud kongkrit dari keimanan.

Landasan normative persaudaraan kasih sayang antar umat manusia terdapat dalam al Quran yang menyatakan bahwa keragaman suku bangsa merupakan sunatullah (ketetapan Allah), namun perbedaan itu tidak dimaksudkan agar manusia saling bermusuhan, melainkan untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan (Q.S Al Hujurat 13). Bahkan secara eksplisit Allah menyebutkan; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu…(Q.S Al Maidah 48).

Keragaman yang dibangun Tuhan dalam kosmologi kehidupan manusia ini tidak dimaksudkan untuk mensubordinatkan satu sama lain. Perbedaan tidak menunjukkan kemuliaan satu sama lainnya. Yang membedakan manusia dalam pandangan Tuhan bukanlah pada fakta perbedaan itu sendiri, melainkan upaya kita untuk memasrahkan diri (bertaqwa) dan memperbaiki kualitas diri. Dan yang meninggikan darjat manusia disisi Tuhan adalah kulaitas iman dan ilmunya (Q.S Al Mujadalah 11).

Kenapa mesti ilmu? Ilmu adalah entitas penting dalam peradaban manusia untuk mencapai kemajuan. Ilmu juga yang membuat manusia mampu menghargai orang lain. Secara kasat mata kita dapat melihat perbedaan cara menyelesaikan masalah antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Iman dan ilmu adalah syarat mutlak yang harus dimiliki agar kita dapat menempatkan agama pada posisi yang sebenarnya. Tidak ada rumusan bahwa orang yang beriman dan berilmu dapat secara membabi buta merusak dan menghancurkan rumah ibadah, meledakkan bom di tengah keramaian, atau menyerang kelompok yang berbeda pandangan dengannya. Inilah yang seharusnya menjadi spirit keberagamaan kita. Yaitu, meningkatkan kualitas keimanan kita dan diwujudkan dengan sikap menghargai pandangan orang lain.

Ijtihad kemanusiaan

Kembali pada pertanyaan awal, bagaimana Islam yang diturunkan lima belas abad yang lalu mampu menyelesaikan persoalan yang hadir hari ini? Dalam Islam kita mengenal istilah ijtihad, yaitu sebuah upaya sungguh-sungguh mengokohkan ajaran Islam dari sisi ajaran yang dibawanya. Metodologi ijtihad perlu dikembangkan sesuai dengan persoalan zaman yang dihadapinya. Hal ini perlu dilakukan mengingat secara tekstual al Quran dan Sunnah adalah naskah yang statis, sementara kehidupan manusia senantiasa dinamis dan selalu membutuhkan hal-hal yang baru. Maka tugas kita adalah bagaimana menyelesaikan persoalan yang dinamis tersebut berdasarkan teks yang sangat terbatas (statis)? Upaya ini kemudian kita kenal dengan istilah ijtihad.

Upaya inilah yang dilakukan oleh para ulama. Mereka menghadapi persoalan modern bukan dengan merubah teks, melainkan melakukan re-interpretasi terhadap teks agar sesuai dengan tuntutan zaman. Interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan tafsir. Sehingga kita akan mudah membedakan antara teks al Quran dan penafsiran al Quran.

Spirit berijtihad lahir dari semangat mengfungsikan akal dengan menggunakan teks sebagai landasan. Tujuannnya tentu saja tetap pada kerangka awal keberagamaan yaitu menyelasaikan masalah-masalah kemanusiaan modern. Sebagaimana disebutkan Imam Asy Syatibi bahwa tujuan dasar ditetapkannya hukum adalah untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, meliputi; 1. Menjaga agama, 2. Menjaga akal, 3. Menjaga jiwa, 4. Menjaga keturunan, dan 4. Menjaga harta. Hal ini semakin mempertegas bahwa kemanusiaan adalah cita-cita luhur dari agama.

Membumikan Agama untuk Kemanusiaan

Kondisi bangsa Indonesia yang dilanda krisis berkepanjangan membuat orang mengharap “sumbangan riil” agama sehingga agama bisa hadir membawa kesejukan ditangah badai krisis yang luar biasa derasnya. Agama harus dapat “dibumikan” dan tidak boleh dibiarkan “mengawang-ngawang” tanpa bisa dijangkau oleh pemeluknya. Karena pada kenyataannya banyak manusia merasa terasing dari kehidupan real yang dihadapi. Problem kemanusiaan seperti ini tentu saja membutuhkan kehadiran agama untuk memberikan jawaban.

Dalam konteks inilah kita perlu membumikan pesan-pesan “langit” yang hadir melalui wahyu tersebut. Agama tentu saja membutuhkan horizon yang lebih luas, sehingga dimensi kemanusiaannya lebih dominan daripada teosentrisnya. Dominasi teosentrisme dalam agama hanya akan “melangitkan” agama dan membuatnya jauh dari manusia. Hal ini seolah membenarkan tuduhan Karl Marx bahwa agama hanyalah “candu” bagi masyarakat. Jika agama benar-benar sudah jauh dari manusia, maka pantaslah “pesta kematian Tuhan” dirayakan oleh Nietzsche, Freud, Albert Camus, dll.

Menurut Masdar F. Mas`udi, agama seharusnya tampil dengan dimansi kemanusiaannya agar agama tidak hanya hadir dalam bentuk ritual-ritual simbolik dan memiliki ketegasan dalam melakukan pembelaan terhadap kemanusiaan. Dalam al Quran disebutkan bahwa Islam dihadirkan oleh Allah sebagai pembawa kasih sayang bagi alam semesta.

Kita tentu saja tidak bisa membuat agama berpihak pada manusia tanpa memahami bahwa agama diciptakan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Tuhan tidak butuh pembelaan, penyembahan, bahkan Dia tidak butuh apapun kecuali dirinya sendiri. Manusialah yang membutuhkan agama sebagai jalan keselamatan dan kesejahteraan. Andaikan seluruh rakyat Indonesia ingkar kepada Allah sekalipun tidak akan membuat kekuasaan-Nya berkurang. Allah tetap mahakuasa dengan atau tanpa penyembahan dari manusia.

Terakhir, mari kita mulai memaknai dimensi kemanusiaan agama dengan memandang realitas secara objektif. Jika kita hendak menolong orang lain, kita tentu saja tidak perlu menayakan apa agama dan keyakinannya. Karena kehadiran Islam, sekali lagi, bukan hanya untuk umat islam saja, melainkan menjadi pembawa kasih sayang bagi semesta. Wallahu a`lam bis shawab.


0 komentar: