abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Senin, 26 Mei 2008

Pilkada Kota Pariaman, Dari Elitisme Menuju Kepemimpinan yang Egaliter

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Selasa, 6 Mei 2008
Abrar Aziz
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah periode 2006-2008, dan Direktur Qalam Institute for Education and Democracy

Kota Pariaman tahun ini akan menyelanggarakan perhelatan demokrasi akbar, yaitu pemilihan kepala daerah langsung. Hajatan besar ini merupakan kali pertama yang dilaksanakan di kota tabuik ini. Sebagaimana Pilkada langsung lainnya, Pilkada langsung kali ini tentu saja diharapkan bukan hanya menjadi ajang pertempuran politik antar elite di pentas yang lebih terbuka. Disebut elite karena dalam banyak Pilkada langsung partisipasi masyarakat hanya berkutat pada saat kampanye dan hari pencoblosan saja. Sisanya, masyarakat hanyalah penonton dari sebuah dagelan politik.

Jika tradisi elitis ini masih berlanjut, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan mengalami apatisme politik. Tingginya angka ketidak ikutsertaan masyarakat dalam beberapa pilkada langsung merupakan indikasi ke arah ini. Lemahnya partisipasi politik masyarakat ini boleh jadi merupakan isyarat kejemuan masyarakat dengan bualan kaum elite. Karena jika Pilkada dilakukan dengan gaya yang tidak egaliter, maka jalannya pemerintahan juga akan sangat elitis dimana rakyat hanya dijadikan objek, bukan sebagai partner pemerintah. Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis keparcayaan terhadap pemimpin.

Pemimpin yang amanah dan egaliter adalah dambaan setiap orang, tidak terkecuali masyarakat kota Pariaman. Namun menemukan pemimpin yang demikian tentu saja bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Tetapi sepertinya tidak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan model kepemimpinan amanah tersebut. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia telah memberikan pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Jalan hidup orang-orang seperti Mohammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Sudirman, dan tokoh pendiri bangsa lainnya adalah sebuah pelajaran tentang apa yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu kesederhanaan dan keberanian.

Para kandidat Walikota dan Wakil Walikota Pariaman tentu harus belajar banyak kepada para tokoh pendiri bangsa tersebut. Mereka harus diingatkan bahwa tidak ada cerita sukses bagi pemimpin yang korup, lemah, dan elitis. Fidel Castro merebut kemerdekaan Kuba bukan dari kamar sebuah hotel, melainkan dalam belantara hutan Kuba bersama sahabatnya, Che Geuvara. Muammar Khadafi berhasil menjatuhkan pemerintahan korup bukan dari restoran mahal, melainkan dari sebuah kemah yang panas di gurun pasir Libya.

Mencari Figur yang Berpihak

Kepada siapa pemimpin harus berpihak? Jawabannya tentu saja kepada rakyat. Bukan kepada kepentingan politik elite, atau kekuasaan modal. Namun realitas menunjukkan bahwa modal masih menjadi penguasa sesungguhnya. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang selama ini dilakukan pemerintah masih berwajah kapitalisme. Menurut Jurgen Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis, setiap pemerintahan yang menginduk kepada kapitalisme, maka pemerintahan tersebut dengan mudah akan dihinggapi berbagai krisis. Habermas menyebut krisis kepercayaan, krisis ekonomi, dan krisis legitimasi sebagai akibat dari penghambaan kepada modal.

Tesis Habermas ini bisa jadi benar jika dikaitkan dalam konteks ke Indonesiaan. Banyak kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang lebih berpihak kepada kekuatan investor daripada kepada rakyat. Dapaknya, rakyatlah yang harus menanggung kebijakan yang elitis itu. Pencabutan subsidi BBM, mahalnya biaya pendidikan, sulitnya akses kesehatan, impor beras adalah sedikit dari sekian banyak kebijakan yang tidak berpihak.

Menurut Huston Smith, kapitalisme juga membawa manusia kepada krisis yang sangat parah, yaitu krisis spritualitas. Smith menyebut dengan cara yang sama, Timur dan Barat mengalami krisis yang luar biasa. Bahkan di Barat, agama sekalipun tidak mampu mengatasi krisis ini. Maka sudah menjadi harga mati bagi para kandidat untuk menciptakan kepemimpinan yang egaliter serta berani mengatakan “tidak” kepada kapitalisme.

Butuh keberanian untuk melawan gurita kapitalisme dan memberikan perhatian lebih kepada rakyat. Karena hanya ada satu pilihan yang bisa diambil. Melawan kapitalisme dan berpihak kepada rakyat. Atau sebaliknya, mengabaikan rakyat untuk mengumpulkan modal. Pelajaran penting mungkin harus kita petik dari para pemimpin Amerika Latin dan Iran. Banyak yang bertanya kenapa Evo Morales sangat dicintai rakyat Bolivia padahal dia bukan orang kaya? Kenapa rakyat Venezuela mati-matian memebela Hugo Chaves dari kudeta militer yang digagas Amerika Serikat?

Dan kenapa Mahmoud Ahmadinejad mampu bertahan atas tekanan dunia internasional yang begitu kuat? Mengapa kondisi ini jauh berberda dengan di Indonesia? Jika jalannya pemerintahan “digoyang”, tidak ada rakyat yang membela kecuali sekelompok elite parpol yang berkepentingan mengusung pemimpin tersebut. Jawabannya tentu dapat dilihat dari fakta yang terjadi, bahwa para pemimpin besar itu adalah orang yang mampu mengambil pilihan berani yaitu meletakkan kepentingan rakyat diatas segala kepentingan lain.

Sekali lagi, ini memang bukan pilihan yang mudah. Mengambil sikap melawan kekuatan modal dan menjadi pembela rakyat adalah pilihan yang penuh resiko. Tapi pilihan inilah yang dipilih oleh para pemimpin besar dunia. Rakyat kota Pariaman sangat rindu dengan kepemimpinan yang bersih dan egaliter. Sebab, berbagai masalah yang dihadapi masyarakat hari ini tidak akan mampu diselesaikan dengan cara yang elitis. Pengangguran, kesenjangan sosial, korupsi, dan tumpukan masalah lainnya hanya bisa diselesaikan jika pemimpin negeri ini mampu mengambil langkah berani dan konsisten.

Bagi masyarakat miskin, melihat pemimpinnya tidur di istana mewah di tengah tingginya angka kemiskinan tentu saja membuat hati mereka teriris. Rakyat kecil juga tentunya akan mengumpat melihat anaknya terbangun dari tidur karena bisingnya sirine mobil pejabat yang memekakkan telinga itu. Gaya elitis seperti inilah yang akan membuat jarak antara rakyat dan pemimpin menjadi semakin jauh. Filosofi kepemimpinan kemudian bergeser dari melayani menjadi menguasai. Untuk itulah perlunya masyarakat mengingatkan kepada para kandidat pemimpin ini untuk senantiasa belajar kepada para pemimpin besar dunia tersebut.

Tindakan Evo Morales yang memotong gajinya sendiri dan seluruh pejabat di Bolivia adalah contoh paling riil bagaimana pemimpin harusnya mengambil sikap. Kita hanya bisa mengingatkan dan menunggu langkah yang akan diambil para kandidat Walikota dan Wakil Walikota Pariaman lima tahun kedepan. Tidak perlu mendengar janji mereka saat kampanye nanti, yang perlu kita lihat adalah bagaimana mereka “memperlakukan” rakyat selama ini. Jika elitisme masih menjadi gaya hidup para pemimpin, maka jangan salahkan jika rakyat akan semakin apatis dan bosan dengan semua sandiwara penguasa.(***)

0 komentar: