abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Senin, 17 Maret 2008

Keberpihakan Kepada Mustad`afin

Diposting oleh abrar aziz

Harian Republika, Jum`at, 23 November 2007

Apakah fungsi agama yang sebenarnya? Pertanyaan ini menjadi sangat penting jika melihat fenomena keberagamaan umta Islam dewasa ini. Ada beberapa masalah serius yang kita hadapi saat ini. Pertama, bangkitnya gerakan baru Islam yang mengusung corak islam yang doktriner dan literal. Kelompok ini memiliki kecenderungan bergerak secara konfrontatif dan ekstrim. Bahkan, tidak jarang mereka bertindak sebagai polisi syariat dan polisi moral dalam memberengus kelompok yang dianggap berseberangan dan “sesat”. Anehnya kelompok ini merasa mendapat mandat dari Tuhan untuk melakukan tindakan anarkis tersebut. Selintas kita lihat tujuan mereka sangat mulia, yaitu membela dan menegakkan agama Allah. Namun jika dilihat dari langkah anarkis yang dilakukan kita tentu akan sangat ragu dengan niat baik itu.


Keberadaan gerakan ini tentu saja sangat mengancam iklim keberagamaan di Indonesia yang sangat plural. Bahkan konstitusi memberikan kebebasan kepada kita untuk meyakini kepercayaan tertentu. Jika ada satu kelompok keyakinan tertentu yang bertindak anarkis bahkan berniat mengusir kelompok keyakinan lain, maka itu adalah pelanggaran berat terhadap konstitusi Negara ini.

Kedua, maraknya perdagangan ayat-ayat tuhan yang bahkan dilakukan oleh kaum yang merasa santri sekalipun. Atas nama dakwah, mereka berani memasang harga hingga puluhan juta untuk sekali tampil. Dalam hal ini, aktivitas dakwah hanya menjadi tempat transaksi antara konsumen dan produsen. Jika transaksi sudah selasai, maka jamaah akan pulang dengan membawa cerita-cerita lucu dan sang da`i pun kembali dengan setumpuk uang dan ketenaran. Apa yang didapatkan dengan dakwah yang seperti ini?

Bukan hanya itu, media pun sepertinya tidak mau ketinggalan untuk meraup keuntungan dari pasar muslim terbesar di dunia ini. Berbagai tayangan yang dibungkus label islami disodorkan kepada masyarakat luas. Nuansa tahayyul dan khurafat sangat kental dalam tayangan “islami” ini. Apalagi jika tayangan itu juga diakhiri dengan ceramah seorang ustadz kondang, maka semakin kuatlah legitimasi tayangan tersebut sebagai tayangan islami. Ironisnya lagi, ditengah kekhusyukkan umat dalam menyaksikan tayangan yang katanya berreting tinggi itu, tiba-tiba diselingi dengan iklan-iklan yang menampilkan gambar-gambar yang justru sangat tidak islami. Dari sini dapat kita lihat bahwa motif tayangan tersebut ternyata hanyalah bisnis semata.

Dua masalah diatas, dan tentunya masih banyak deretan masalah lain, menunjukkan kepada kita betapa besarnya masalah yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Belum lagi jika kita saksikan fenomena yang sangat menyakitkan hati, yaitu fenomena korupsi yang justru dilakukan oleh departemen yang seharusnya diisi oleh orang-orang beriman dan shaleh. Yang lebih menyakitkan, kejahatan ini dilakukan pada saat umat ini sangat kesusahan karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kepada siapa lagi umat ini harus mengadu jika lembaga agama saja sudah tidak bisa lagi dipercaya?

Kumpulan para ulama juga ternyata tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah yang kita hadapi. Fatwa-fatwa yang diputuskan tidak jarang justru malah memicu konflik diantara umat Islam sendiri. Kita tentu saja sangat merindukan fatwa-fatwa yang berpihak pada kaum mustad`afin, fatwa tentang penggusuran atau fatwa tentang hukuman berat bagi pejabat Negara yang korup.

Hal ini mejadi sangat penting mengingat persoalan terbesar yang sedang kita hadapi adalah kemiskinan ditengah negeri yang kaya raya. Bagaimana mungkin negeri yang sangat diberkati Allah dengan bermacam kekayaan ini harus menerima kenyataan bahwa rakyatnya harus makan nasi aking dan harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan lima liter minyak tanah.

Pertanyaannya adalah, pernahkan para ulama, pengkhotbah, kaum ekstrimis yang mengaku menjadi tentara Tuhan, atau ustadz yang memasang tarif jutaan melakukan langkah kongkret untuk menyelasaikan masalah ini? Apakah cukup dengan hanya meminta umat bersabar karena setiap musibah ada hikmahnya? Atau dengan dalil bahwa Allah sangat mencintai orang yang bersabar?

Yang dibutuhkan umat adalah langkah kongkret untuk, bukan ceramah-ceramah yang tidak mampu mengatasi kelaparan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial lainnya. Bagaimana mungkin seseorang dipaksa beribadah dengan khusyu sementara perut keluarga belum terisi selama dua hari. Bagaimana mungkin seseorang harus dicambuk karena mencuri sedangkan dirumahnya tidak ada satupun yang bisa dimakan. Disinilah pentingnya kita mengkaji kembali fungsi agama bagi manusia dan kepada siapakah agama harus berpihak.

Mempertegas keberpihakan

Dalam al Quran jelas sekali disebutkan bahwa yang disebut al birri kebajikan adalah beriman kepada Allah, nabi-nabi, kitab-kitab dan senantiasa mencintai orang-orang miskin, orang yang meminta-minta, anak yatim dan memerdekakan budak (QS Al Baqarah 177). Tidak ada keraguan sedikitpun bagi kita tentang maksud ayat ini. Yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan lemah. Ajaran bahwa keimanan harus memberikan implikasi kepada dimensi sosialnya sangat jelas di dalam Al Quran. Dengan kata lain, iman tidak akan memiliki arti sama sekali jika tidak memiliki dimesi social. Tidak kurang dari tiga puluh enam ayat yang mengaitkan iman dan amal shaleh. Diantaranya QS. Al Baqarah; 62, Al Maidah; 69, Al An`am; 54, Al Kahfi; 88, Maryam; 60, dan ayat lainnya.

Langkah yang harus kita lakukan juga telah disampaikan oleh kitab suci, yaitu dengan memberikan sebagian harta kita kepada mereka, memberikan pertolongan, dan memperlakukan mereka sebagai manusia yang mulia. Bukan dengan mengajak mereka bersabar dan terus berdo`a.

Keberpihakan Islam terhadap kaum tertindas memang tidak dapat dipungkiri. Untuk itulah dibutuhkan sebuah gerakan dakwah yang membebaskan (liberaitf) umat dari belenggu ketertindasan. Dan gerakan ini tentu saja harus dimulai oleh para ulama, pemimpin Negara, dan kelompok-kelompok islam yang menjadi panutan masyarakat. Jika ulamanya hanya bertindak sebagai polisi syari`at, para ustadz terus memasang tarif selangit sambil menyuruh umat bersabar atas musibah, media terus membodohi umat, dan kelompok-kelompok agama sibuk berdebat soal mana yang sesat dan mana yang benar, maka jangan harap kondisi bangsa ini akan membaik.

Langkah kongkret harus dimulai sesegera mungkin, para ulama diharapkan mampu menjadi pembela kaum tertindas dengan mengeluarkan fatwa-fatwa tentang menunjukkan keberpihakan itu. Seperti fatwa tentang penggusuran, hukuman bagi koruptor, atau fatwa lain yang mampu melepaskan umat dari ketertinggalan. Begitu juga pemerintah agar senantiasa menunjukkan keberpihakan kepada rakyat miskin dalam membuat setiap kebijakan, ustadz-ustadz diharapkan mampu memberikan ceramah-ceramah yang menggerakan masayarakat untuk saling peduli. Dan ingat, jangan pasang tarif yang memberatkan jamaah. Mudah-mudahan negeri ini mampu menjadi surga bagi para penduduknya. Baldatun thayyibatun waraabun ghafuur. Amiin.


Transformasi Islam untuk Pembebasan

Diposting oleh abrar aziz


Islam tumbuh dalam rentang waktu dua puluh tiga tahun. Hal ini menunjukan bahwa Islam mengalami transformasi dalam pembentukan dan perkembangannya. Kita dapat menyaksikan bagaimana Islam yang awalnya hanya sebagai sebuah gerakan keagamaan kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan sosial politik pada periode berikutnya, serta dari agama perkotaan (periode Mekkah dan Madinah) menjadi agama yang menyebar luas pada masyarakat desa.



Transformasi Islam tersebut terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Hingga kini, transformasi Islam terus terjadi dalam berbagai bentuk. Wahabisme misalnya, gerakan ini mencoba melawan modernisme dengan melarikan diri kepada teks sebagai satu-satunya sumber legitimasi. Ajaran ini sangat tidak bersahabat dengan misitisme dan intelektualisme. Menurut mereka, umat Islam wajib kembali kepada pemahaman Islam yang sebenar-benarnya melalui interpretasi harfiah terhadap teks. Mereka menolak pengetahuan humanistik, apalagi menafsirkan teks dalam perspektif sejarah.

Transformasi Islam terus berkembang dengan munculnya gerakan salafisme. Gerakan yang dipelopori Muhammad Abduh, Al Afghani, dan Rasyid Ridho ini secara umum hampir mirip dengan Wahibisme. Hanya saja mereka lebih toleran terhadap perbedaan pendapat. Para penganut salafi mangidealkan zaman keemasan masa Rasulullah dan sahabat. Yang membedakannya dengan wahabi adalah, bahwa mereka didirikan oleh kaum nasionalis muslim yang menafsirkan kembali modernisme melalui teks-teks orisinil sehingga mereka tidak anti-Barat.

Transformasi Islam di Indonesia

Sebagaimana perkembangan Islam di Timur Tengah, Islam di Indonesia juga mengalami perubahan menuju format idealnya. Namun Islam di Indonesia sampai saat ini belum juga menemukan bentuk ideal yang mampu membawa bangsa ini menuju kesejahteraan. Bahkan yang terjadi adalah konflik yang berkepanjangan. Banyaknya variasi gerakan Islam membuat umat Islam di Indonesia kebingungan dan senantiasa dihantui rasa takut karena banyak konflik yang terjadi antara sesama muslim. Fenomena saling menyesatkan serta fatwa-fatwa yang memicu terjadinya konflik membuat wajah Islam menjadi semakin “mengerikan”.

Arah transformasi Islam menjadi semakin memprihatinkan dengan munculnya keinginan yang mengarah kepada formalisasi syari`at Islam. Keinginan ini muncul akibat kekecewaan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sangat menyedihkan. Barangkali inilah yang disebut Jurgen Habermas dengan krisis lagitimasi. Dimana terjadi ketimpangan antara kebutuhan akan motif-motif yang dikukuhkan oleh negara, sistem pendidikan, dan sistem dunia kerja di satu pihak, dan motivasi yang didukung oleh sistem sosial budaya di pihak lain telah melahirkan motivasi untuk menjadikan tuntutan norma-norma secara formal.

Selain itu, tuntutan yang besar terhadap formalisme agama merupakan akibat dari perasaan yang mendalam berupa kekalahan dan keterasingan dari cengkraman gurita kapitalisme. Hal ini membuat kebencian terhadap kapitalisme, yang diwakili oleh Barat, semakin besar. Akibatnya, sebagian umat Islam beranggapan bahwa apapun yang datang dari Barat adalah kafir dan satu-satunya jalan untuk melawan semua itu adalah penegakan syari`at Islam secara formal.

Kecenderungan formalistik ini membuat semangat pembebasan Islam menjadi redup. Hal inilah yang membuat gerakan Islam di Indonesia mengalami kemunduran. Islam tidak mampu menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, tapi hanya bagi mereka yang memiliki kesamaan pandangan saja. Kita kemudian lupa bahwa misi Islam adalah misi kemanusiaan yang membebaskan manusia dari kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.

Fenomena ini kemudian membuat umat Islam semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Sebagian kita menganggap orang lain sebagai musuh hanya karena perbedaan pandangan keagamaan. Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama berani melakukan pemboman di tempat keramaian dan melenyapkan ratusan nyawa yang belum tentu berdosa? Kenyataan ini diperparah dengan adanya kelompok yang merasa dirinya paling shaleh dan yang lain sesat, ada kelompok yang merasa paling rasional dan yang lain dianggap kolot, dan ada juga kelompok yang merasa berhak mewakili Tuhan sehingga memiliki wewenang untuk memvonis siapapun yang berbeda pandangan dengannya. Sebuah pandangan yang jauh dari nilai-nilai luhur keislman.

Misi Profetis Islam

Ketika melaksanakan haji wada`, Rasulullah menyampaikan sebuah pidato yang sangat penting. Beliau menyampaikan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan: pertama, untuk menyatakan kebenaran. Kedua, untuk berperang melawan penindasan dan katiga, membangun ummat yang didasarkan kesetaraan, keadilan, dan kasih sayang. Senada dengan itu, dalam al Quran juga disebutkan tiga prinsip dasar Islam, yaitu; humanisasi (kemanusiaan), liberasi (pembebasan), dan transendensi (QS. Ali Imran 110). Tiga elemen dasar inilah yang harusnya menjadi semangat keberislaman kita.

Disinilah perlunya kita menyingkirkan sikap-sikap pragmatis dalam memahami teks sehingga pemahaman kita tidak hanya berkutat pada penafsiran teks. Pandangan yang tertutup dalam memahami teks hanya akan membuat Islam terkesan bengis dan sangar serta akan memperkuat stigma buruk terhadap Islam. Misi Islam sebagai agama pembebasan menjadi terkaburkan. Yang lahir justru penjajah-penjajah baru yang merasa berwenang menghakimi “kelompok lain”.

Islam harus benar-benar ditempatkan sebagai agama kasih sayang (rahmat) agar bisa manampakkan wajah yang sejuk dan damai. Keyakinan kita akan kekuasaan Allah harus diikuti dengan kesungguhan dalam menerjemahkan perintah Allah untuk mengasihi sesama manusia, bahkan mengasihi musuh sendiri sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Perbedaan yang terjadi adalah cara Allah untuk menguji kita terhadap pemberian-Nya. Bahkan dalam al Quran dikatakan “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umay saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya Allah-lah tempat kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al Maidah 48).

Terakhir, mari kita mulai membangun kesadaran dengan spirit transformasi dari pemahaman yang literal menjadi pandangan yang terbuka, humanis, santun, dan tentu saja religius. Kemerosotan umat Islam hanya bisa diatasi jika masing-masing kelompok mampu bersikap ramah satu sama lain. Perdebatan tentang mana yang sesat dan mana yang benar paling benar hanya akan membuat kita letih sehingga persoalan umat yang lebih besar, yaitu penindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi terabaikan. Agama harus dijadikan spirit bagi kita dalam memperjuangkan nilai-nilai kemnusiaan menuju Islam yang membebaskan.



Islam Agama Kemanusiaan

Diposting oleh abrar aziz


Jurnal INSIGHT, edisi April 2008

Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai masalah yang menimpa dunia dewasa ini. Setiap muslim juga yakin bahwa Islam sangat relevan dalam setiap waktu dan tempat (shalihun li kulli zamani wa makani).

Tapi terkadang timbul pertanyaan dalam benak kita ketika melihat relitas bahwa banyak umat Islam yang bertindak jauh dari nilai-nilai luhur keislaman. Apakah benar islam yang diturunkan lima belas abad yang lalu masih mampu menyelesaikan polemik persoalan manusia modern yang sudah jauh berkembang?. Pertanyaan ini muncul setelah kita melihat fakta banyaknya insiden kekerasan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh sesama umat Islam.

Selain itu, kemajuan teknologi yang demikian pesat ternyata juga menimbulkan masalah yang tidak sederhana. Kondisi global tersebut meniscayakan terjadinya gerak arus informasi yang sangat dahsyat. Arus ini tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga nilai. Nilai-nilai yang berkembang pada akhirnya akan membawa kita pada pola hidup yang beragam. Salah satu implikasinya adalah menyebarnya nilai-nilai materialisme, pragmatisme, dan hedonisme yang pada akhirnya menyudutkan agama pada posisi yang memprihatinkan. Masyarakat kita kemudian menjadi masyarakat yang penuh dengan kelonggaran-kelonggaran, pergaulan bebas, budaya korupsi, dan gejala negative lainnya.

Kemajuan teknologi ternyata juga membawa problematika kemanusiaan. Menurut Kuntowidjoyo, dunia modern sesungguhnya menyimpan potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil menorganisasikan ekonomi, menata struktur politik serta membangun peradaban maju. Tetapi pada saat yang sama, kita menyaksikan bagaimana manusia telah menjadi tawanan dari hasil ciptaannya sendiri. Dunia modern telah berhasil melepaskan manusia dari belenggu dunia mistik yang irrasional, namun manusia gagal melepaskan diri dari belenggu yang lain, yaitu penghambaan terhadap diri sendiri. Inilah yang menyebabkan manusia menganggap orang lain sebagai subordinat dan kurang penting keberadaannya.

Dengan demikian masihkan kita harus percaya bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai masalah yang kita hadapi? sementara kenyataan menunjukkan bahwa dunia hari ini telah jauh meninggalkan dunia dimana Islam diturunkan.

Untuk menjawab keraguan itu, marilah kita mulai dengan memberikan pemahaman yang benar tentang agama. Untuk siapa agama diciptakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan sikap keberislaman kita. Dalam ayat terakhir yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad saw. jelas disebutkan bahwa Islam diturunkan untuk kepentingan manusia (al yauma akmaltu lakum diinakum). Ajaran ini diperjelas oleh Rasulullah ketika melaksanakan haji wada` melalui pidatonya yang mengatakan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan, pertama, untuk menyatakn kebenaran. Kedua, untuk melawan penindasan, dan ketiga, membangun ummat yang didasarkan kesetaraan, keadilan dan kasih sayang. Pada banyak tempat dalam al Quran juga disebutkan tentang dimensi kemanusiaan Islam. Seperti adanya prinsip humanisasi (kemanusiaan), liberasi (pembebsan), dan transendensi (Q.S Ali Imran 110). Bahkan orang yang tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan disebut sebagai pendusta agama (Q.S Al Ma`un 1-3).

Pemahaman keislaman seperti ini menjadi sangat penting ketika kita melihat kenyataan banyak umat Islam yang menganggap bahwa Islam adalah agama Tuhan. Hal ini membuat sebagian kita merasa berhak mengatasnamakan Tuhan dan menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan. Konflik atas nama agama yang terjadi belakangan ini membuat kita sangat prihatin. Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama sampai hati melakukan kekerasan terhadap saudara seiman hanya karena beda pemahaman? Padalah Islam lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Namun, yang terjadi adalah saling curiga dan benci antar sesame kelompok Islam.

Akibat lain dari pemahaman yang kurang tepat terhadap Islam adalah lebih dominannya keberagamaan simbolik dibanding keberagamaan substansial. Umat Islam kemudian hanya mementingkan simbol-simbol agama tanpa mampu menghayati makna agama yang sesungguhnya. Yang terjadi kemudian adalah banyaknya ritual-ritual kering tanpa makna. Bukti nyata dari kondisi adalah semakin meningkatnya jumlah jemaah haji dari Indonesia ditengah semakin meningkatnya angka kemiskinan. Ironis memang, orang Islam yang melakukan ibadah haji setiap tahun terus bertambah, namun tingkat kemiskinan rakyat Indonesia tidak berkurang. Ini membuktikan bahwa keberagamaan kita telah kehilangan ruhnya. Banyaknya orang muslim yang kaya ternyata tidak membuat angka kemiskinan berkurang. Ini disebabkan oleh pemahaman bahwa ibadah adalah urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan orang lain.

Padahal dalam al Quran seringkali kata iman disandingkan dengan kata amal shaleh. Ini menunjukkan bahwa iman (orientasi ketuhanan) harus diikuti dengan amal shaleh (orientasi kemusiaan). Yang disebut kebaikan adalah ketika keimanan dan aksi sosial dilaksanakan sejalan (Q.S Al Baqarah 177). Maka dimensi keimanan tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan amal. Jika keimanan terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, maka amal shaleh adalah hubungan dengan sesama manusia sebagai wujud kongkrit dari keimanan.

Landasan normative persaudaraan kasih sayang antar umat manusia terdapat dalam al Quran yang menyatakan bahwa keragaman suku bangsa merupakan sunatullah (ketetapan Allah), namun perbedaan itu tidak dimaksudkan agar manusia saling bermusuhan, melainkan untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan (Q.S Al Hujurat 13). Bahkan secara eksplisit Allah menyebutkan; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu…(Q.S Al Maidah 48).

Keragaman yang dibangun Tuhan dalam kosmologi kehidupan manusia ini tidak dimaksudkan untuk mensubordinatkan satu sama lain. Perbedaan tidak menunjukkan kemuliaan satu sama lainnya. Yang membedakan manusia dalam pandangan Tuhan bukanlah pada fakta perbedaan itu sendiri, melainkan upaya kita untuk memasrahkan diri (bertaqwa) dan memperbaiki kualitas diri. Dan yang meninggikan darjat manusia disisi Tuhan adalah kulaitas iman dan ilmunya (Q.S Al Mujadalah 11).

Kenapa mesti ilmu? Ilmu adalah entitas penting dalam peradaban manusia untuk mencapai kemajuan. Ilmu juga yang membuat manusia mampu menghargai orang lain. Secara kasat mata kita dapat melihat perbedaan cara menyelesaikan masalah antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Iman dan ilmu adalah syarat mutlak yang harus dimiliki agar kita dapat menempatkan agama pada posisi yang sebenarnya. Tidak ada rumusan bahwa orang yang beriman dan berilmu dapat secara membabi buta merusak dan menghancurkan rumah ibadah, meledakkan bom di tengah keramaian, atau menyerang kelompok yang berbeda pandangan dengannya. Inilah yang seharusnya menjadi spirit keberagamaan kita. Yaitu, meningkatkan kualitas keimanan kita dan diwujudkan dengan sikap menghargai pandangan orang lain.

Ijtihad kemanusiaan

Kembali pada pertanyaan awal, bagaimana Islam yang diturunkan lima belas abad yang lalu mampu menyelesaikan persoalan yang hadir hari ini? Dalam Islam kita mengenal istilah ijtihad, yaitu sebuah upaya sungguh-sungguh mengokohkan ajaran Islam dari sisi ajaran yang dibawanya. Metodologi ijtihad perlu dikembangkan sesuai dengan persoalan zaman yang dihadapinya. Hal ini perlu dilakukan mengingat secara tekstual al Quran dan Sunnah adalah naskah yang statis, sementara kehidupan manusia senantiasa dinamis dan selalu membutuhkan hal-hal yang baru. Maka tugas kita adalah bagaimana menyelesaikan persoalan yang dinamis tersebut berdasarkan teks yang sangat terbatas (statis)? Upaya ini kemudian kita kenal dengan istilah ijtihad.

Upaya inilah yang dilakukan oleh para ulama. Mereka menghadapi persoalan modern bukan dengan merubah teks, melainkan melakukan re-interpretasi terhadap teks agar sesuai dengan tuntutan zaman. Interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan tafsir. Sehingga kita akan mudah membedakan antara teks al Quran dan penafsiran al Quran.

Spirit berijtihad lahir dari semangat mengfungsikan akal dengan menggunakan teks sebagai landasan. Tujuannnya tentu saja tetap pada kerangka awal keberagamaan yaitu menyelasaikan masalah-masalah kemanusiaan modern. Sebagaimana disebutkan Imam Asy Syatibi bahwa tujuan dasar ditetapkannya hukum adalah untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, meliputi; 1. Menjaga agama, 2. Menjaga akal, 3. Menjaga jiwa, 4. Menjaga keturunan, dan 4. Menjaga harta. Hal ini semakin mempertegas bahwa kemanusiaan adalah cita-cita luhur dari agama.

Membumikan Agama untuk Kemanusiaan

Kondisi bangsa Indonesia yang dilanda krisis berkepanjangan membuat orang mengharap “sumbangan riil” agama sehingga agama bisa hadir membawa kesejukan ditangah badai krisis yang luar biasa derasnya. Agama harus dapat “dibumikan” dan tidak boleh dibiarkan “mengawang-ngawang” tanpa bisa dijangkau oleh pemeluknya. Karena pada kenyataannya banyak manusia merasa terasing dari kehidupan real yang dihadapi. Problem kemanusiaan seperti ini tentu saja membutuhkan kehadiran agama untuk memberikan jawaban.

Dalam konteks inilah kita perlu membumikan pesan-pesan “langit” yang hadir melalui wahyu tersebut. Agama tentu saja membutuhkan horizon yang lebih luas, sehingga dimensi kemanusiaannya lebih dominan daripada teosentrisnya. Dominasi teosentrisme dalam agama hanya akan “melangitkan” agama dan membuatnya jauh dari manusia. Hal ini seolah membenarkan tuduhan Karl Marx bahwa agama hanyalah “candu” bagi masyarakat. Jika agama benar-benar sudah jauh dari manusia, maka pantaslah “pesta kematian Tuhan” dirayakan oleh Nietzsche, Freud, Albert Camus, dll.

Menurut Masdar F. Mas`udi, agama seharusnya tampil dengan dimansi kemanusiaannya agar agama tidak hanya hadir dalam bentuk ritual-ritual simbolik dan memiliki ketegasan dalam melakukan pembelaan terhadap kemanusiaan. Dalam al Quran disebutkan bahwa Islam dihadirkan oleh Allah sebagai pembawa kasih sayang bagi alam semesta.

Kita tentu saja tidak bisa membuat agama berpihak pada manusia tanpa memahami bahwa agama diciptakan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Tuhan tidak butuh pembelaan, penyembahan, bahkan Dia tidak butuh apapun kecuali dirinya sendiri. Manusialah yang membutuhkan agama sebagai jalan keselamatan dan kesejahteraan. Andaikan seluruh rakyat Indonesia ingkar kepada Allah sekalipun tidak akan membuat kekuasaan-Nya berkurang. Allah tetap mahakuasa dengan atau tanpa penyembahan dari manusia.

Terakhir, mari kita mulai memaknai dimensi kemanusiaan agama dengan memandang realitas secara objektif. Jika kita hendak menolong orang lain, kita tentu saja tidak perlu menayakan apa agama dan keyakinannya. Karena kehadiran Islam, sekali lagi, bukan hanya untuk umat islam saja, melainkan menjadi pembawa kasih sayang bagi semesta. Wallahu a`lam bis shawab.