abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Jumat, 30 Mei 2008

Kenaikan BBM, Kado Ulang Tahun Reformasi

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Jumat, 30 Mei 2008

Oleh : Abrar Aziz, Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah Periode 2006-2008, Direktur Qalam Institute for Education and Demokracy

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pada tahun 2005 pemerintahan SBY – JK memberikan kado istimewa atas setahun pemerintahannya kepada rakyat, yaitu kenaikkan harga BBM sebesar 126% hingga harga bensin premium mencapai angka Rp. 4.500,-. Pemerintah mengatakan bahwa mulai saat itu sudah tidak ada istilah subsidi lagi, karena harga BBM di dalam negeri sudah sama dengan harga minyak mentah yang setiap beberapa kali sehari ditentukan oleh New York Mercantile Exchange.

Memang betul, bahkan lebih tinggi sedikit, karena ketika itu harga minyak mentah US$ 60 per barrel.

Ketika harga minyak mentah menurun hingga 57 US$, harga BBM ternyata tidak ikut menurun. Dan sekarang, pemerintah memberikan kado istimewa lagi kepada rakyat atas sepuluh tahun reformasi, yaitu kenaikan harga BMM 28,7% yang menyebebkan harga bensin premium melonjak hingga Rp. 6000,-. Alasan pemerintah tentu saja sudah bisa kita tebak, yaitu terus melejitnya harga minyak dunia serta ketidak tesediaan dana yang cukup untuk melakukan subsisdi. Alasan yang menurut sebagian orang sangat menyesatkan.

Sementara bantuan langsung tunai (BLT) yang merupakan bagian dari skema pengamanan sosial sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ternyata juga belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Bantuan tersebut hanya diperuntukkan bagi 19,1 juta orang miskin. Padahal menurut catatan BPS, jumlah keluarga miskin tahun ini mencapai 41,33 juta jiwa. Itu berarti masih banyak keluarga miskin yang tidak mendapat bantuan langsung tunai.

Kebijakan sepihak ini tentu saja hanya akan menambah lirih jeritan rakyat miskin. Para pejabat, presiden, para mentri, gubernur, dan walikota maupun bupati tidak akan merasakan dampak dari kebijakan anti-rakyat miskin ini. Karena semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan fasilitas Negara, yang sebagian besarnya adalah hasil dari pungutan pajak rakyat juga.

Di negara seperti Venezuela, sebagaimana dikutip worldnews.about.com, harga minyak hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, dan di Mesir Rp 2.300/liter. Cina adalah importer minyak terbesar ketiga di dunia. Tapi harga minyak di Cina hanya Rp 5.888/liter. Padahal penduduk negara itu lebih besar dari Indonesia (1,3 milyar jiwa). Di Indonesia harga Pertamax menapai Rp. 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS yaitu Rp 8.464/liter. Padahal Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia hanya US$ 85 per bulan sementara di AS US$ 980 per bulan.

Dengan memakai patokan harga Internasional US$ 125/barrel maka rakyat AS yang UMRnya US$ 980/bulan masih bisa menabung US$ 955/bulan sementara rakyat Indonesia yang UMRnya hanya US$ 95/bulan harus ngutang sebanyak US$ 30/bulan.

Kenyataan yang telah disebutkan diatas adalah bukti bahwa ternyata memang mental inlander masih tertanam dalam diri sebagian penyelenggara bangsa ini. Bagaimana mungkin Indonesia yang dianugerahi Tuhan kekayaan yang berlimpah namun rakyatnya harus menanggung beban yang luar biasa berat akibat kebijakan sepihak pemimpinnya sendiri. Nasib rakyat ini memang seperti ayam yang mati di lumbung padi.

Kenaikan BBM, benarkah satu-satunya jalan?

Menurut pemerintah, sebagaimana disampaikan Wapres Jusuf Kalla dan Mentri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan harga BBM adalah langkah terakhir yang “terpaksa” dilakukan pemerintah. Naiknya harga minyak dunia yang tidak terkendali merupakan alasan yang kerap kali digunakan. Jika kita perhatikan kondisi global, memang kenaikan harga minyak dunia tidak bisa dikendalikan. Produksi minyak dunia mencapai 85 juta barrel per hari, padahal permintaan minyak dunia sehari 87 juta barel. Hal ini mendorong pelaku pasar membuat prediksi provokatif tentang harga minyak dunia dengan asumsi bahwa dunia akan kesulitan memenuhi kebutuhannuya akan minyak.

Harga minyakpun melesat tak terkendali. Para pemimpin Negara merasa bimbang karena mereka hanya memiliki sedikit pilihan untuk menyelamatkan keuangan Negara. Bagi pemimpin Negara yang enggan bekerja keras dan berkorban untuk rakyatnya, pencabutan subsidi merupakan satu-satunya kemungkinan yang dapat dipilih. Meskipun sesungguhnya mereka menyadari bahwa pilihan itu akan menambah beban rakyat.

Tapi apakah kenaikan harga minyak dunia itu berdampak buruk bagi Indonesia? Seharusnya tidak karena Indonesia memiliki minyak sendiri yang mempu memproduksi satu juta barrel perhari. Menurut hitungan para ekonom, jika harga minyak melambung hingga US$ 100 per barrel sekalipun, dengan harga minyak sebelum dinaikkan (Rp. 4.500,-), Negara masih untung sebesar US$ 18 milyar atau Rp. 168 triliun. Hal ini karena produksi minyak kita jauh lebih besar ketimbang impor.

Menurut Kwik Kian Gie, jika harga premium bensin kita Rp. 2000,- per liter, negara masih untung Rp. 1.350,- karena ongkos produksi hanya Rp. 650,- per liter. Produksi minyak kita dianggap masih mencukupi kebutuhan minyak nasional yaitu 3,5 juta kiloliter pertahun. Bahkan menurut Kwik, jika kebutuhan minyak nasional mencapai 60 juta kiloliter sekalipun, itu berarti setara dengan 377,36 juta barrel pertahun, dan pemerintah harus melakukan impor minyak, negara masih untung sebesar Rp. 35,71 trilyun. Karena lifting (minyak mentah yang disedot dalam perut bumi Indonesia) kita mencapai 339,28 juta barrel per tahun atau setara dengan Rp. 293,31 triliun pertahun dengan kurs Rp. 9.100,- per US Dolar. Lalu kenapa pemerintah mengatakan negara tidak punya uang?

Pertanyaan ini yang membuat rakyat semakin bingung dalam lubang kesengsaraan. Bagaimana mungkin negara yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa ini ternyata memiliki angka kemiskinan yang prestisius, 44,33 juta jiwa. Di negara kaya ini ternyata masih banyak rakyatnya yang tidak bisa bersekolah karena sekolah itu mahal, masih banyak ibu-ibu yang bayinya ditahan di rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya persalinan, masih ada anak yang gantung diri karena tidak mampu membayar SPP. Siapa yang menghisap harta kekayaan negeri ini?

Sementara di istana, gedung parlemen, kantor mentri, dan rumah para pejabat daerah, puluhan mobil mewah berjejer dengan angkuhnya. Apakah para pemimpin itu tidak sadar bahwa mereka diberi amanah untuk mensejahterakan rakyat. Bukan untuk menguasai dan mensejahterakan diri dan keluarga sendiri. Berbagai kebijakan yang dibuat, seperti kenaikan BBM, ternyata malah membuat semakin sengsara. Negara menjadi penggusur orang miskin, bukan penggusur kemiskinan.

Agaknya rakyat hari ini hanya bisa memohon kepada Tuhan agar para pemimpin ini diberi petunjuk oleh-Nya sambil terus menyuarakan protes terhadap kebijakan yang tidak berpihak. Kita memang tidak bisa menggulingkan pemerintahan yang nyaris gagal ini ditengah jalan. Karena konstitusi mengamanatkan mereka memimpin bangsa ini selama lima tahun. Namun jika kepemimpinan sekarang ternyata tidak mampu mensejahterakan rakyat, maka perlu kiranya dipertimbangkan untuk tidak lagi memberikan amanah kepemimpinan kepada mereka pada periode yang akan datang. Karena orang yang beruntung adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi. Dan kita tentu tidak mau terperosok dua kali pada lubang yang sama. Jika sudah gagal, kenapa tidak cari yang lain?. Wallahu a’lam bis shawab.(***)


Senin, 26 Mei 2008

Pilkada Kota Pariaman, Dari Elitisme Menuju Kepemimpinan yang Egaliter

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Selasa, 6 Mei 2008
Abrar Aziz
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah periode 2006-2008, dan Direktur Qalam Institute for Education and Democracy

Kota Pariaman tahun ini akan menyelanggarakan perhelatan demokrasi akbar, yaitu pemilihan kepala daerah langsung. Hajatan besar ini merupakan kali pertama yang dilaksanakan di kota tabuik ini. Sebagaimana Pilkada langsung lainnya, Pilkada langsung kali ini tentu saja diharapkan bukan hanya menjadi ajang pertempuran politik antar elite di pentas yang lebih terbuka. Disebut elite karena dalam banyak Pilkada langsung partisipasi masyarakat hanya berkutat pada saat kampanye dan hari pencoblosan saja. Sisanya, masyarakat hanyalah penonton dari sebuah dagelan politik.

Jika tradisi elitis ini masih berlanjut, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan mengalami apatisme politik. Tingginya angka ketidak ikutsertaan masyarakat dalam beberapa pilkada langsung merupakan indikasi ke arah ini. Lemahnya partisipasi politik masyarakat ini boleh jadi merupakan isyarat kejemuan masyarakat dengan bualan kaum elite. Karena jika Pilkada dilakukan dengan gaya yang tidak egaliter, maka jalannya pemerintahan juga akan sangat elitis dimana rakyat hanya dijadikan objek, bukan sebagai partner pemerintah. Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis keparcayaan terhadap pemimpin.

Pemimpin yang amanah dan egaliter adalah dambaan setiap orang, tidak terkecuali masyarakat kota Pariaman. Namun menemukan pemimpin yang demikian tentu saja bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Tetapi sepertinya tidak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan model kepemimpinan amanah tersebut. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia telah memberikan pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Jalan hidup orang-orang seperti Mohammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Sudirman, dan tokoh pendiri bangsa lainnya adalah sebuah pelajaran tentang apa yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu kesederhanaan dan keberanian.

Para kandidat Walikota dan Wakil Walikota Pariaman tentu harus belajar banyak kepada para tokoh pendiri bangsa tersebut. Mereka harus diingatkan bahwa tidak ada cerita sukses bagi pemimpin yang korup, lemah, dan elitis. Fidel Castro merebut kemerdekaan Kuba bukan dari kamar sebuah hotel, melainkan dalam belantara hutan Kuba bersama sahabatnya, Che Geuvara. Muammar Khadafi berhasil menjatuhkan pemerintahan korup bukan dari restoran mahal, melainkan dari sebuah kemah yang panas di gurun pasir Libya.

Mencari Figur yang Berpihak

Kepada siapa pemimpin harus berpihak? Jawabannya tentu saja kepada rakyat. Bukan kepada kepentingan politik elite, atau kekuasaan modal. Namun realitas menunjukkan bahwa modal masih menjadi penguasa sesungguhnya. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang selama ini dilakukan pemerintah masih berwajah kapitalisme. Menurut Jurgen Habermas dalam bukunya Legitimation Crisis, setiap pemerintahan yang menginduk kepada kapitalisme, maka pemerintahan tersebut dengan mudah akan dihinggapi berbagai krisis. Habermas menyebut krisis kepercayaan, krisis ekonomi, dan krisis legitimasi sebagai akibat dari penghambaan kepada modal.

Tesis Habermas ini bisa jadi benar jika dikaitkan dalam konteks ke Indonesiaan. Banyak kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang lebih berpihak kepada kekuatan investor daripada kepada rakyat. Dapaknya, rakyatlah yang harus menanggung kebijakan yang elitis itu. Pencabutan subsidi BBM, mahalnya biaya pendidikan, sulitnya akses kesehatan, impor beras adalah sedikit dari sekian banyak kebijakan yang tidak berpihak.

Menurut Huston Smith, kapitalisme juga membawa manusia kepada krisis yang sangat parah, yaitu krisis spritualitas. Smith menyebut dengan cara yang sama, Timur dan Barat mengalami krisis yang luar biasa. Bahkan di Barat, agama sekalipun tidak mampu mengatasi krisis ini. Maka sudah menjadi harga mati bagi para kandidat untuk menciptakan kepemimpinan yang egaliter serta berani mengatakan “tidak” kepada kapitalisme.

Butuh keberanian untuk melawan gurita kapitalisme dan memberikan perhatian lebih kepada rakyat. Karena hanya ada satu pilihan yang bisa diambil. Melawan kapitalisme dan berpihak kepada rakyat. Atau sebaliknya, mengabaikan rakyat untuk mengumpulkan modal. Pelajaran penting mungkin harus kita petik dari para pemimpin Amerika Latin dan Iran. Banyak yang bertanya kenapa Evo Morales sangat dicintai rakyat Bolivia padahal dia bukan orang kaya? Kenapa rakyat Venezuela mati-matian memebela Hugo Chaves dari kudeta militer yang digagas Amerika Serikat?

Dan kenapa Mahmoud Ahmadinejad mampu bertahan atas tekanan dunia internasional yang begitu kuat? Mengapa kondisi ini jauh berberda dengan di Indonesia? Jika jalannya pemerintahan “digoyang”, tidak ada rakyat yang membela kecuali sekelompok elite parpol yang berkepentingan mengusung pemimpin tersebut. Jawabannya tentu dapat dilihat dari fakta yang terjadi, bahwa para pemimpin besar itu adalah orang yang mampu mengambil pilihan berani yaitu meletakkan kepentingan rakyat diatas segala kepentingan lain.

Sekali lagi, ini memang bukan pilihan yang mudah. Mengambil sikap melawan kekuatan modal dan menjadi pembela rakyat adalah pilihan yang penuh resiko. Tapi pilihan inilah yang dipilih oleh para pemimpin besar dunia. Rakyat kota Pariaman sangat rindu dengan kepemimpinan yang bersih dan egaliter. Sebab, berbagai masalah yang dihadapi masyarakat hari ini tidak akan mampu diselesaikan dengan cara yang elitis. Pengangguran, kesenjangan sosial, korupsi, dan tumpukan masalah lainnya hanya bisa diselesaikan jika pemimpin negeri ini mampu mengambil langkah berani dan konsisten.

Bagi masyarakat miskin, melihat pemimpinnya tidur di istana mewah di tengah tingginya angka kemiskinan tentu saja membuat hati mereka teriris. Rakyat kecil juga tentunya akan mengumpat melihat anaknya terbangun dari tidur karena bisingnya sirine mobil pejabat yang memekakkan telinga itu. Gaya elitis seperti inilah yang akan membuat jarak antara rakyat dan pemimpin menjadi semakin jauh. Filosofi kepemimpinan kemudian bergeser dari melayani menjadi menguasai. Untuk itulah perlunya masyarakat mengingatkan kepada para kandidat pemimpin ini untuk senantiasa belajar kepada para pemimpin besar dunia tersebut.

Tindakan Evo Morales yang memotong gajinya sendiri dan seluruh pejabat di Bolivia adalah contoh paling riil bagaimana pemimpin harusnya mengambil sikap. Kita hanya bisa mengingatkan dan menunggu langkah yang akan diambil para kandidat Walikota dan Wakil Walikota Pariaman lima tahun kedepan. Tidak perlu mendengar janji mereka saat kampanye nanti, yang perlu kita lihat adalah bagaimana mereka “memperlakukan” rakyat selama ini. Jika elitisme masih menjadi gaya hidup para pemimpin, maka jangan salahkan jika rakyat akan semakin apatis dan bosan dengan semua sandiwara penguasa.(***)

Jumat, 23 Mei 2008

10 Tahun Reformasi; Perteguh Jati Diri Bangsa

Diposting oleh abrar aziz

Harian Padang Ekspress, Kamis, 22 Mei 2008
Abrar Aziz
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah 2006-2008 dan Direktur Qalam Institute for Education and Democracy
Tahun ini genap sepuluh tahun usia reformasi. Peristiwa penting yang diharapkan menjadi awal sebuah perubahan. Tahun ini juga, bangsa Indonesia memperingati satu abad kebangkitan nasional. Namun, meski sepuluh tahun sudah reformasi berlalu dan seratus tahun sudah kebangkitan nasional kita peringati, kita masih saja kebingungan bagaimana kita harus merayakan momen bersejarah tersebut. Reformasi yang diharapkan sebagai awal dari proses perubahan bukan saja telah kehilangan ruhnya, namun lebih dari itu, satu dekade setelah peristiwa tersebut, bangsa Indonesia ternyata jatuh semakin dalam ke lubang kemerosotan.

Presiden boleh saja berganti, namun mental pemerintah yang menghamba pada kakuatan modal tidak pernah berubah. Pemerintah kita sangat setia menjadi pelayan bagi investor asing. Dengan membuka investasi seluas-luasnya, kita membiarkan kekayaan alam kita dijarah orang lain tanpa berani menegur apalagi melawan. Dan yang menjadi korban dari kebijakan yang berwajah kapitalistik itu tentu saja adalah rakyat. Jika kita tanyakan kepada pemerintah kenapa harga BBM terus melonjak, maka pastilah jawabannya tidak ada uang lagi untuk mensubsidi. Bagaimana mungkin tidak ada uang, produksi minyak kita mampu mencapai satu juta barrel per hari. Kemana harta kekayaan kita yang melimpah? Ternyata hampir 90% dari kekayaan minyak kita dikelola oleh asing. Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sisanya dikuasai perusahan asing.

Bahkan di Negara pasar bebas seperti Amerika sekalipun, impor barang produksi sangat dibatasi dan pemerintah memberikan subsidi sangat besar kepada produksi lokal agar mampu bersaing dengan barang impor. Anehnya, pemerintah kita malah membuka pasar seluas-luasnya hingga semua barang produksi masuk ke pasar kita dan membiarkan para petani kita kelaparan karena tidak bisa bersaing dengan produk impor. Indonesia bahkan lebih liberal dibanding Amerika sekalipun.

Dengan sangat patuh pemerintah kita mengikuti saran IMF, yang sejatinya adalah perpanjangan tangan dari kepentingan ekonomi AS, dalam mengatasi krisis ekonomi. Meskipun saran-saran tersebut sangat kental dengan aroma kapitalisme. Misalkan ketika IMF menyarankan perlunya pembatasan peran Negara dalam mengatur pasar, maka pemerintah menerbitkan UU No. 23 tahun 1999 tentang independensi BI. Dengan UU ini BI diharpkan tidak lagi menjadi kasir pemerintah seperti masa lalu. Bukan hanya itu, resep privatisasipun disambut pemerintah dengan suka cita dengan diterbiknannya UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN yang kemudian menjadi awal dari penjualan besar-besaran asset bangsa ke perusahaan asing.

Bahkan dalam Peraturan Presiden No. 77 tahun 2007 di sebutkan bahwa batas kepemilikan modal asing di sektor energi dan sumber daya mineral adalah 95% dalam bidang usaha Pembangkit Tenaga Listrik; 95% Jasa Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Lepas Pantai Indonesia Bagian Timur; 95% Transmisi Tenaga Listrik; 95% Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir; 95% Jasa Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Darat; 95% Pengembangan Tenaga Peralatan Penyediaan Listrik; dan lain sebagainya.

Peraturan yang didasari resep privatisasi dari IMF ini bukan saja telah membuat kita kehilangan kedaulatan ekonomi, lebih dari itu Peraturan ini telah memberikan izin kepada korporasi asing untuk menjarah semua kekayaan bangsa kita untuk dibawa keluar negeri dengan meninggalkan limbah kotor untuk rakyat Indonesia.

Yang lebih mengerikn adalah bahwa sektor pendidikan juga boleh dimiliki asing hingga 49% untuk bidang Usaha Pendidikan Dasar dan Menengah; 49% untuk Pendidikan Tinggi; dan 49% untuk Pendidikan Non Formal. Pendidikan yang seharusnya menjadi asset jangka panjang ternyata juga telah dijadikan barang komoditas yang bisa di dijual ke luar negeri.

Resep ini ternyata bukannya membuat kita keluar dari krisis, yang terjadi justru semakin besarnya angka kemiskinan dan semakin terpuruknya ekonomi kita. Rakyat kita ternyata harus menjadi tamu di rumah sendiri. Kekayaan yang berlimpah tidak bisa kita nikmati.
Bahkan menurut catatan Amien Rais (2008), Komite Privatisasi Perusahaan BUMN telah mengeluarkan 44 daftar BUMN yang siap digadaikan ke korporasi asing, diantaranya Garuda Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Negara, Karakatu Steel, Batara, dll. Alasan yang kerap disampaikan pemerintah atas penjualan asset ini adalah untuk menutupi devisit anggaran atau lebih jelasnya menutupi kebolongan APBN. Padahal jika sumber daya alam kita dikelola secara mandiri, maka kita tidak perlu lagi menjual asset berharga kita untuk menutupi APBN.

Jebakan Korporatokrasi

Istilah korporatokrasi diperkenalkan oleh John Perkins, sebagaimana dikutip Amien Rais (2008). Yaitu sebuah sistem kekuasaan yang dikontrol oleh korporasi besar, bank internasional dan pemerintahan. Korporatokrasi menggambarkan bagaimana sebauh pemerintah dikendalikan oleh kekuasan korporasi (perusahan) besar dengan bantuan lembaga donor intenasional. Korporasi besar tersebut dengan mudah mendikte dan mengarahkan suatu bangsa demi meraup keuntungan yang berlimpah.

Setidaknya ada tiga unsur yang terlibat dalam korporatokrasi ini. Pertama tentu saja adalah korporasi besar yang berambisi menguasai ekonomi dunia. Perusahaan-perusahaan kaya ini memiliki agenda ekonomi yang sangat barbahaya bagi Negara berkembang yang memiliki sumber kekayaan alam, seperti Indonesia. Kedua, lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, dan WTO. Lembaga-lembaga ini memebrikan janji-janji ekonomi dengan meminjamkan dana besar kepada Negara berkembang dengan syarat Negara tersebut bersedia membuka pasar seluas-luasnya bagi korporasi asing dan mencabut subsidi kepada rakyat. Dan unsur katiga adalah, elite pemerintah yang menjadi pelayan korporasi besar tersebut. Para pejabat ini dengan setia melayani segala keinginan korporasi besar demi menguasai harta kekayaan negeri ini.

Jika kita melihat data-data diatas, secara jujur harus kita akui bahwa Indonesia ternyata sudah terjebak dalam perangkap korporatokrasi. Bagaimana tidak, pemerintah kita belum mampu menolak berbagai resep IMF dalam melakukan pengembangan ekonomi. Ide privatisasi besar-besaran dan pelucutan peran Negara dalam mengelola pasar adalah indikasi kuat kearah itu.

Kasus penjarahan yang dilakukan PT. Freeport McMoran Indonesia di bumi Papua dan Exxon Mobile di Blora adalah percontohan paling nyata dari jebakan korporatokrasi. Kontrak Karya II antara Indonesia dengan PT. Freeport baru berakhir tahun 2041. Itu artinya kekayaan alam kita akan dikuras sempai 43 tahun tahun kedepan. Jika demikian, apa yang akan diwarisi oleh anak cucu kita jika semua kekayaan bangsa ini terus digadaikan kepada pihak asing? Bukan tidak mungkin generasi berikut dari bangsa ini akan semakin kelaparan karena semua sumber daya alam sudah ludes terjual.

Memperteguh Jati Diri Bangsa

Dengan berlalunya reformasi satu dekade yang lalu, maka sudah selayaknya kita kembali melakukan perbaikan diberagai sektor kehidupan agar reformasi tidak menjadi barang basi yang tidak meninggalkan apa-apa kecuali bau yang busuk. Kuncinya adalah keberanian pemerintah untuk melawan keinginan asing untuk menjarah kekayaan kita. Pemerintah harus berani membuat aturan-aturan yang lebih menguntungkan perekonomian rakyat ketimbang kepentingan asing. Pembangunan pusat-pusat perbelanjaan modern seperti mall di atas pasar tradisional harus segera di hentikan karena akan mematikan pasar rakyat tersebut.

Bahkan jika mungkin, pemerintah harus melakukan nasionalisasi terhadap asset Negara yang dikuasai pihak asing dan mengelolannya secara mandiri. Sebagaimana yang dilakukan oleh Negara Amerika Latin yang ternyata mampu mensejahterakan rakyatnya tanpa resep-resep ekonomi IMF. Atau setidaknya melakukan negosiasi ulang terhadap berbagai Kontrak Karya dengan memasukkan aturan-aturan yang lebih berpihak kepada rakyat kecil dan bukan hanya menjadi agen perusahaan asing untuk meraup harta kekayaan negeri ini. Semoga negeri yang kaya ini mampu menjadi surga bagi rakyatnya sendiri. Amiin…(***)