abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Sabtu, 04 Juni 2011

JATUH CINTA

Diposting oleh abrar aziz

Jatuh cinta. Tentulah teman pernah merasakannya. Saya juga pernah, teman. Dulu waktu saya masih tinggal di kampung halaman. Bertahun-tahun yang lalu. Itu yang pertama. Dan yang kedua, sekarang. Kalau teman merasa senang dengan cerita cinta-cinta. Baiknya teman teruskan membaca. Tapi jika teman tidak suka, baca jugalah. Kasian, saya sudah capai juga menulisnya. Saya ceritakan dulu lah baiknya kisah cinta zaman dahulu itu.

Kampung kami berada di pesisir pantai sebalah barat pulau Sumatera. Bukan kampung kaya, memang. Waktu itu, sekitar tahun 80-an akhir. Ketika saya masih SMP. Bukan bermaksud tinggi hati teman. Tapi rasa-rasanya rupa saya tidak terlalu buruk. Jika saya diizinkan memberi nilai muka saya ini. Kira-kira angka tujuh setengah bisa juga saya dapatkan. Atau kalau teman ingin menilainya juga, silahkan. Asalkan nilainya jangan kurang dari itu.

Ramlah nama perempuan itu. Pandai sekali dia mengaji. Kalau sudah dia yang mengaji di surau, orang-orang yang sedang main domino di lapau pun akan tertegun karena keindahan suaranya. Kalau soal rupa, nilai tujuhlah kira-kira. Apalagi kalau melihat siapa bapaknya, Haji Munir, pemilik kebun kelapa terluas di kampung kami. Bujang mana yang tidak jatuh hati padanya. Keningnya jilah umpama landasan pacu lapangan terbang. Matanya bulat bak buah kapundung. Bibirnya tebal bagai ruas limau purut. Dagunya lonjong laksana sarang lebah. Ah, berdosa nanti kalau kita teruskan. Nanti teman tak bias tidur dibuatnya.

Sebenarnya ada juga gadis yang senang dengan saya. Julia namanya. Nama aslinya Yulinar. Tapi katanya nama itu kurang modern. Maka di gantilah namanya jadi Julia. Dia berteman akrab dengan Rosa. Kalau yang ini nama aslinya Rosmaini, tapi seperti si Yulinar, dia tidak senang dengan namanya yang kampung itu. Julia sudah terang-terang mengatakan rasa senangnya pada saya. Tapi saya enggan dekat-dekat dengannya. Pasalnya bedaknya terlalu tebal. Tambah lagi rambutnya saban hari dikasih minyak kemiri punya ibunya. Tak tahan hidung saya dibuatnya.

Jadilah saya satu dari sekian bujang yang menaruh hati pada Ramlah. Dia satu kelas dengan saya, kelas tiga SMP. Agak pintar dia kalau sudah soal hitung-hitung, tapi agak lemah menghafal. Tak satupun jantan di kelas itu yang tak suka padanya. Tapi saya sedikit beruntung. Pelajaran agama dan soal-soal hafalan agak saya kuasai sedikit. Kalau jantan-jantan yang lain, tak ada kepandaiannya selain bagadele atau bercerita besar. Si Pendi misalnya, setiap hari dia bercerita tentang ayahnya yang pulang pergi ke Jawa. Padahal saya lihat ayahnya hilir mudik saja di kampung membawa pedati. Atau si Miral, tak ada kepandaiannya selain berkoar kalau dia sering melihat hantu. Pernah dia melihat, katanya, hantu yang menari-nari di belakang rumahnya. Begitu dia membuka pintu, hantu itu lari tunggang langgang. Besar sekali mulutnya. Padahal semua orang, kalau pulang mengaji sudah lewat jam sepuluh, pastilah dia akan ikut tidur di surau bersama guru mengaji karena dia tak akan berani jalan sendiri ke rumahnya yang harus melewati kuburan. Itulah bujang-bujang di kelas saya. Saya kadang-kadang hobi juga bagadele, sedikit-sedikit saja. Tapi karena ayah saya guru agama, kepandaiannya turun juga pada saya, walaupun tidak banyak.

Pendek cerita, disebabkan alasan sering belajar bersama itulah mulai ada rasa-rasa senang diantara kami berdua. Panjang ceritanya kalau saya kisahkan semua. Tapi akhirnya kami saling mengakui apa yang kami simpan dalah hati. Wah, lapang sekali dunia ini rasanya waktu dia mengatakan dalam suratnya kalau dia menaruh hati juga pada saya. Tak cukup rasanya halaman kertas untuk menuliskan apa yang bergejolak di hati saya waktu. Saya yakin teman juga pasti sudah pernah juga merasakan rasanya cinta berbalas cinta. Jika teman belum pernah, saya ikut prihatin dan berdoa semoga teman segera merasakannya.

Karena di kampung kami berjalin kasih antara gadis dan bujang adalah aib yang bisa menjadi bahan cela dan hina, terpaksalah kami bercinta kasih dengan sembunyi-sembunyi. Setiap minggu kami berkirim surat. Amboi,, tiba-tiba saja saya menjadi penyair, teman. Dalam surat-surat kami, kami serasa pujangga yang sedang menulis syair. Indah sekali rasanya. Benar kata orang tua kita, kalau hati sudah tercuri seorang gadis, rasa-rasanya dunia ini seperti punya kita saja.

Masa-masa itu berlalu dengan cepat sampai akhirnya saya harus merantau kesini, ke Jakarta ini. Berat rasanya hati meninggalkan kampung halaman. Atau tepatnya meninggalkan Ramlah. Tapi apa daya saya tak kuasa menawar perintah buya untuk sekolah agama di Jakarta. Saya yakinkan pada Ramlah kalau jodoh tak akan kemana.

***

Selain kuliah, saya dapat juga mengajar honor di sebuah sekolah agama di Jakarta. Sudah tiga tahun saya di Jakarta. Untuk tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Si Ramlah sudah dikawinkan bapaknya dengan si Burhan anak Haji Kadir, pemilik penggilingan padi terbesar di kampung kami. Terbaca jelas oleh saya raut kesedihan Ramlah ketika menulis surat tahun lalu. Tapi apa mau dibilang. Nasi sudah jadi bubur.

Nah, sekarang saya jatuh cinta lagi, teman. Jatuh cinta pada murid saya. Macella namanya. Nampaknya nama ini tak ada di kampung saya yang tersuruk itu. Apa pula kata si Yulinar kalau mendengar nama ini. Pastilah dia bertengkar habis dengan Rosmaini untuk memperebutkannya.

Marcella tidak terlalu pintar di kelas, terlalu bodoh juga tidak. Dalam mata pelajaran saya, nilai paling rendahnya adalah enam. Tapi itu jugalah nilai tertingginya. Kalau pelajaran lain nilainya berputar-putar di angka enam dan tujuh saja. Tapi dia agak pendiam dan ramah. Entah apa yang saya pikirkan. Yang jelas saya senang dan diapun senang pada saya. Bapaknya juga tidak masalah dengan hubungan kami. Rupanya disini, di Jakarta ini, urusan cinta-cinta seperti ini bukanlah urusan aib.

Yang menjadi soal adalah bagaimana dengan nilainya. Saya tidak mungkin membiarkan nilainya terus di angka enam karena itu bisa membuatnya tidak naik kelas. Tapi otaknya memang hanya cukup menampung angka enam itu. Bapaknya sering memohon supaya membantu anaknya agar naik kelas. Terpakasa jugalah saya naikkan nilainya yang enam menjadi tujuh setengah pada mata pelajaran saya supaya Marcella naik kelas. Pastilah saya telah berbuat tidak adil karena murid-murid saya yang lain tidak saya naikkan nilainya. Tapi saya juga sudah menyelamatkan hidup kekasih saya, dan itu juga berarti hidup saya juga. Yang penting, setelah kenaikan kelas itu, saya bisa lebih leluasa bertandang ke rumah Marcella. Bahkan kadang-kadang bapak ibunya sengaja ada urusan keluar rumah kalau saya sedang bertandang ke rumahnya. Begitu rupanya orang Jakarta memperlakukan kekasih anaknya. Sungguh perbuatan yang terpuji.

0 komentar: