abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Sabtu, 04 Juni 2011

Republik Uang

Diposting oleh abrar aziz

Beberapa waktu lalu saya mengurus KTP dan Kartu Keluarga (KK) di kelurahan tempat saya tinggal. Tepatnya di kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Ini memang pertama kalinya seumur-umur saya berurusan dengan birokrasi seperti RT, RW, dan Kelurahan. Dan mudah-mudahan ini yang terakhir. Bagi sebagian anda yang sudah sering berurusan dengan birokrasi barangkali sudah tidak asing lagi dengan cerita saya. Saya memang sudah lama mendengar cerita tentang budaya korupsi yang menggurita sampai ke tingkat paling bawah. Tapi saya benar-benar terperangah ketika mengalami sendiri cerita itu.

Saya bersama teman yang sama-sama akan mengurus KTP dan KK awalnya ditawari jalan pintas, biasanya disebut orang KTP “nembak”. Saya menolak karena mungkin harganya akan lebih mahal dan saya kira juga tidak ada salahnya sesekali saya berurusan dengan birokrasi di tingkat paling bawah. Alasan lain adalah karena anak bu RT memang sangat cantik sehingga saya punya celah untuk bertemu. Ini alasan yang serius,, hehe,,

Tapi saya dan teman benar-benar dibuat jengkel dengan ulah pemimpin-pemimpin warga ini. Baru mulai berurusan dengan RW, kami sudah “dipalak” sejumlah uang. Saya sebut “dipalak” karena awalnya sengaja kami tidak mau memberi uang sebab di sana tertulis biaya untuk pembuatan KTP Rp. 0,-. Tapi kemudian mereka berkata sambil melotot “kasih sumbangan donk!!”. Akhirnya meluncur juga sejumlah uang ke tangan mereka. Saya jadi bertanya-tanya sumbangan macam apa ini??

Sampai di kelurahan kami disambut oleh papan pengumuman tentang biaya layanan masyarakat. Lagi-lagi tertulis biaya pembuatan KTP RP. 0,-. Beberapa lama menunggu kami belum juga dilayani, sementara beberapa orang yang baru datang langsung masuk dan urusan selesai. Saya jadi bertanya-tanya kenapa kami tidak didahulukan?. Ya, tentu saja sebuah pertanyaan untuk diri sendiri. Kemudan tiba-tiba kami dipanggil oleh seorang petugas, sebut saja namanya Bunga (ini bukan korban perkosaan lho ya,,). Ibu bunga mulai melancarkan aksinya, dia menuturkan beberapa prosedur yang harus dilewati dan proses pembuatan KTP, menurutnya, minimal 2 minggu.

Saya jelas semakin heran, atau malah semakin yakin tentang carut-marutnya negeri ini, kenapa urusan kami begitu rumit sementara yang lain begitu mudah? Jawabannya tentu sudah bisa anda tebak, kami tidak membayar sepeserpun. Karena memang begitulah seharusnya. Beberapa hari berlalu satu urusan selesai, KTP. Teman saya mendatangi ke kantor lurah dan membayar kepada petugas di sana sejumlah uang. Tinggal satu urusan lagi, KK.

Tapi ternyata urusan KTP belum sepenuhnya selesai, melalui bu RT, yang anaknya sangat cantik itu, bu Bunga protes bahwa dia tidak mendapat bagian dari uang yang kami berikan. Saya benar-benar tidak habis pikir, kenapa bu Bunga yang menurut bu RT sangat sholehah itu bisa sedemikian marah?. Kenapa dia protes karena tidak dapat bagian uang yang, menurut saya, tidak halal itu?, saya tidak tau hukumnya apa tapi saya yakin bukan “halal”. Padahal tentu saja teman saya tidak tau kalau bu Bunga tidak mendapat bagian. Itu bukan urusan kami. Yang jelas kami sudah bayar, meskipun dengan berat hati.

Akhirnya teman saya mendatangi kantor lurah menemui bu Bunga dan membayar sejuamlah uang, kali ini jumlahnya lumayan banyak. Reaksinya sudah bisa kita tebak. Dengan tanpa malu dia berkata “wah kok banyak sekali” dan bla bla bla bla. Sejak itu urusan KK jadi sangat lancar. Sekali datang semua selesai. Bahkan kami tidak perlu mengisi formulir pembuatan KK. Semua langsung diketik dan print di tempat. Hebat sekali pelayanan mereka. Agar lebih lancar lagi kami mendatangi rumah bu RT dan memberinya sejumlah uang, karena urusan ini sudah terlalu lama. Jika beruntung kami bisa ketemu anaknya yang terus-terusan mengganggu pikiran saya itu. Awalnya dia agak menolak menerima uang, mungkin karena tau kalau kami sudah mengeluarkan banyak untuk sebuah urusan yang bertele-tele ini. Tapi saya, sebagaimana anda, yakin bahwa penolakan itu basa-basi saja. Toh akhirnya diterima juga. Agak jengkel memang kami meninggalkan rumah bu RT, ditambah kami tidak bisa bertemu anaknya. Adik-adik saya yang gaul biasa menyebut situasi itu dengan istilah “jengkel tingkat dewa”. Atau biasaya kalau adik-adik saya ini jengkel dia akan menambahkan kata-kata untuk mendramatisir suasana “sumpah demi apapun gue jengkel tingkat dewa” katanya. Entah darimana mereka dapat istilah itu. Kira-kira demikianlah perasaan kami saat meninggalkan rumah bu RT. Memang tidak persis begitu. Dan sejak itu juga saya bertekad untuk tidak datang lagi kantor lurah, RW, dan RT, di manapun di Indonesia ini.

Saya kemudian membayangkan bagaimana negeri yang membentang luas sepanjang 10 juta kilometer persegi ini diurus dengan cara yang sangat riueh. Mungkin mereka tidak belajar kepada Plato tentang negara ideal. Atau bahkan mereka mungkin tidak kenal siapa Plato, atau Socrates, atau Aristoteles. Bagi Socrates, tujuan dibentuknya sebuah negara adalah untuk mensejahterakan rakyat. Yang kemudian oleh muridnya, Plato, disebut sebagai negara ideal.

Saya yakin di zaman mereka, 2400 tahun yang lalu, belum ada yang disebut negara ideal. Itu mungkin hanya ada dalam dunia ide guru-guru kita itu. Tapi dari ciri-ciri yang mereka sebut tentang negara ideal, saya pikir Indonesia memenuhi syarat untuk itu. Kekayaan alam yang melimpah sebagai sumber kesejahteraan rakyat. Kita memiliki itu. Sumber daya manusia yang pintar-pintar. Jelas kita punya. Tapi kenapa untuk urusan KTP saja harus ribet begini? Pastinya Socrates dan murid-muridnya tidak akan bisa menjawab karena mereka tidak pernah mengurus KTP. Di zaman mereka, 400 tahun Sebelum Masehi, tentu belum ada kantor lurah.

Bayangkan jika Socrates hidup di zaman ini, dan kebetulan beliau tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta Timur, satu kelurahan dengan saya. Apa yang beliau katakan ketika akan mengurus KTP dan bertemu dengan bu Bunga. Saya yakin bu Bunga bisa “mati berdiri” mendengar ceramah-ceramah Socrates yang tidak bisa dibantah kecuali dengan membunuhnya seperti yang dilakukan pemerintah Athena di masa lalu. Apa juga yang akan dilakukan guru kita Socrates ketika datang ke rumah bu RT dan mendapati urusan mengurus KTP ternyata begitu sulit. Saya yakin Socrates akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berceramah tentang “tugas-tugas pemimpin masyarakat”. Saya juga yakin bu RT tidak akan bisa membalas logika-logika Socrates yang sulit dibantah. Dan tentu saya akan menggunakan momen itu dengan meminta Socrates melamarkan anak bu RT untuk saya. Pasti dia tidak akan bisa menolak lamaran seorang Guru Peradaban sehebat Socrates. Yang jelas, jika Socrates dan murid-muridnya ada disini, mereka pasti akan menjadi musuh yang menakutkan bagi orang-orang seperti bu Bunga.



***

Meski demikian, saya jelas tidak bisa menyalahkan bu Bunga begitu saja. Setahu saya beliau bukan orang kaya hingga sulit dikatakan dia melakukan itu untuk memperkaya diri sendiri. Yang tepat mungkin mengatakan dia melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Atau mungkin juga beliau melakukan itu karena atasannya juga minta “jatah”, jadi mau tidak mau dia harus setor. Atau ada alasan lain. Yang pasti, ini bukan kesalahan bu Bunga seorang. Ini adalah sistem. Sehingga saya tidak mungkin memperkarakan bu Bunga ke pengadilan, meskipun sebagai warga negara saya berhak memperkarakan sejumlah uang yang raib tidak jelas itu. Selain itu, saya bisa dianggap “lebay” karena memperkarakan orang “cuma” gara-gara KTP. Jauh lebih tidak penting dibanding perkara Gayus Tambunan, artis dadakan itu, atau perkara Nurdin Halid, misalnya.

Lalu siapa yang salah dengan keadaan ini? Yang pasti bukan saya dan teman, karena secara hukum kami bisa disebut korban. Dan tentu saja banyak sekali “korban-korban” lain di seluruh Nusantara. Tapi mungkin juga bukan bu Bunga atau bu RT. Apalagi anaknya bu RT. Jelas bukan salah dia, satu-satunya kesalahannya adalah mengapa dia jarang ada di rumah kalau saya datang kesana. Dia sangat bersalah dalam urusan itu. Lalu salah siapa? Saya tidak tau persis. Yang saya tau sejak saya dilahirkan oleh ibu saya sekitar 25 tahun lalu keadaannya sudah begini. Mungkin anda yang kebetulan lahir sebelum saya bisa menjelaskan.

Saya juga tidak tau berapa jumlah kelurahan atau desa di “Republik Uang” ini. Mungkin sekitar sepuluh ribu, atau lebih atau kurang. Apalagi jika ditanya ada berapa RT dan RW, saya lebih tidak paham lagi. Dan kira-kira dari sekitar sepuluh ribu itu berapa kantor lurah atau kepala desa yang memberikan pelayanan gratis bagi masyarakat yang mengurus KTP? Saya yakin pasti ada meski saya tidak yakin bisa lebih dari sepuluh persen saja. Keyakinan saya terbukti ketika orang tua saya menguruskan KTP saya di kampung dulu, di sebuah desa di pesisir barat Minangkabau, Batang Tajongkek nama desanya, Pariaman nama kotanya. Berbagai urusan di urus dengan gratis dan langsung diantar ke rumah. Ibu saya biasanya akan memberikan beberapa rupiah sebagai ucapan terima kasih saat petugas telah menyelesaikan urusan kami. Tapi jelas ini bukan “uang pelicin”. Saya tidak yakin apakah petugas tersebut telah berkenalan dengan Socrates. Tap setidaknya mereka memiliki ide yang sama.

Di tempat anda mungkin juga ada yang gratis. Mungkin juga ada beberapa petugas yang bijaksana seperti Socrates. Tapi saya sangat yakin kalau itu akan jarang sekali. Kenapa saya begitu yakin?? Entahlah. Tanyakan saja pada bu Bunga atau pada anaknya bu RT, yang karena kebodohan saya, sampai detik ini saya tidak tau namanya... mudah-mudahan namanya bukan Bunga dan mudah-mudahan dia tidak bekerja di kantor kelurahan.

0 komentar: