abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Senin, 30 April 2012

Sahabat Dari Negeri Setan

Diposting oleh abrar aziz

Senja itu, selepas maghrib saya duduk santai di saung yang saya bangun dekat kolam ikan peliharaan, sambil menikmati secangkir kopi pahit. Setelah seharian mengurusi ikan mas yang sebentar lagi akan kami panen, duduk melamun di tengah kesunyian kampung adalah kenikmatan tersendiri. Di kampung kami, selepas senja desa ini seperti desa mati. Hampir tak ada yang mau keluar rumah kecuali beberapa anak-anak yang belajar mengaji di mushalla. Seperti senja-senja sebelumnya, pikiran saya selalu melayang jauh ke masa depan. Kira-kira dua ratus tahun yang akan datang. Dalam bayangan saya, Republik Indonesia yang sangat saya cintai ini sudah terpecah menjadi belasan negara baru. Beberapa negara mengalami kemajuan signifikan, sementara sebagian lainnya masih tetap miskin, bahkan lebih miskin dari yang saya saksikan sekarang. Jakarta, yang menjadi simbol kepongahan dan keserakahan di masa kini, sudah tidak ada lagi dalam daftar nama-nama negara bekas Republik Indonesia. Jakarta sudah hancur lebur karena kesombongannya sendiri. Beberapa negara di timur Indonesia mengalami kemajuan cukup pesat. Hasil kekayaan alamnya bisa mereka kelola dan nikmati sendiri. Tidak lagi dihisap oleh lintah-lintah yang ada di Jakarta. Satu tepukan di punggung mengagetkan saya dari lamunan. Sesosok tubuh hitam dan tinggi tiba-tiba sudah berdiri di depan saya. “Di sini kau rupanya. Sudah gemuk kau sekarang”. Dia duduk disamping saya sembari menyambar kopi yang sudah hampir dingin. Terakhir saya bertemu teman ini sekitar satu tahun yang lalu ketika saya masih tinggal di Jakarta. Saat itu saya masih menjadi aktivis partai politik yang dekat penguasa di negeri ini. “Yaa,, sepertinya kampung ini lebih cocok buatku daripada Jakarta. Kemana saja kau baru kelihatan?”. Saya perhatikan sosoknya sama sekali tidak berubah. Seluruh tubuhnya hitam, sorot matanya merah menyala, bau busuk meskipun saya sudah terbiasa. Suaranya yang berat menambah kesan seram teman saya ini. Dia berasal dari sebuah negeri yang tidak pernah ada dalam peta dunia, Negeri Setan. “Ada urusan yang harus ku selesaikan di negeriku. Kan dari dulu sudah kubilang. Umar, kau tidak usahlah tinggal di Jakarta. Kau terlalu lurus. Apalagi masuk partai yang itu. Rusak kau dibuatnya”. Matanya yang merah menyala mondar-mandir kiri kanan seperti sedang menikmati suasana alam kampung ini. “Hehehe,, sudahlah. Tak usah kau bahas soal-soal yang dulu itu. Sudah ku buang jauh-jauh dari memoriku. Aku hanya bisa berdoa pada Tuhan agar pada saat aku mati negara ini masih utuh sebagai NKRI”. Saya sudah malas mendiskusikan soal-soal politik yang dulu selalu menjadi tema pokok diskusi kami. “Sekarang aku sudah cukup tenang dengan apa yang aku miliki. Meskipun dengan segala keterbatasan, tapi semua ini milikku. Hasil keringatku. Kau lihat kolam itu, sepuluh ribu ikan mas ini alhamdulillah cukup untuk menghidupiku sekeluarga”. Sesaat pikiran saya melayang ke belakang, beberapa tahun yang lalu. Di Jakarta, saya memiliki lebih dari cukup fasilitas hidup. Rumah, mobil, dana operasional, sudah disiapkan oleh ketua partai. Tak sedetikpun waktu yang terlewat kecuali kemewahan. Tugas saya adalah membangun opini bahwa ketua kami merupakan sosok yang sangat mencintai rakyatnya, politisi berbudi luhur, dan negarawan berakhlak tanpa cela. Membela nama baiknya dari serangan musuh-musuh politik adalah kesibukan saya sehari-hari. Namun lama-lama akal sehat saya mulai gerah dengan cara hidup seperti itu. Di depan publik, orang yang memberi fasilitas hidup kepada saya seolah seperti dewa yang tinggi budi dan luhur akhlak. Tapi di belakang, saya tau persis bagaimana keserakahannya terhadap kekuasaan. Dan saya harus tetap membelanya sebagai orang berhati mulia. Akal budi ini benar-benar tak bisa menerima. Saya seperti hidup bercermin bangkai. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Saya adalah orang merdeka yang terjajah, dan itu berlawanan dengan akal sehat. Maka saya putuskan melepas semuanya dan kembali ke kampung halaman. Orang tua di kampung kami sering berkata; lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. “Keputusanmu sudah tepat, kawan. Dari dulu kan sudah ku sarankan agar kau tidak usah ikut-ikut politik. Hanya ada beberapa orang saja yang bisa tetap waras di tengah hiruk pikuk politik yang semakin edan ini. Ku ramalkan, satu abad lagi negaramu ini akan terpecah berkeping-keping. Beruntunglah kau, saat itu terjadi kau sudah mati berkalang tanah, hahahaha”. Dia terkekeh sambil menepuk pundak saya berulang ulang “Ah, kau jangan sok tau. Masih banyak anak-anak bangsa ini yang gigih membela akal sehat dan nuraninya. Selama mereka masih ada, NKRI tak akan bubar. Aku yakin itu”. Saya masih berusaha membela negara ini meskipun bayangan saya tentang masa depan tidak jauh berbeda dangan ramalan sahabat saya ini. “Ckckck,, masih bisa kau bersilat kata,Umar. Ku tanya sekarang, kemana orang-orang sepertimu? Yang mengaku-ngaku membela akal sehat? Semua sudah menyingkir atau tersingkir satu-persatu. Akal sehat sudah dikalahkan nafsu kekuasaan. Dan nafsu itulah yang sekarang sedang mengendalikan negara tercintamu ini. Masih kau pelihara kayakinan naifmu itu?”. Matanya yang menyala menghujam lurus, tepat ke bola mata saya. Saya sepenuhnya menerima argumentasi itu, tapi saya masih ingin membangun secuil optimisme. “Aku masih yakin setiap satu abad pembaharuan akan terjadi. Jika abad yang lalu rahim nusantara ini telah melahirkan Tan Malaka, Sukarno, Muhammd Hatta, Sudirman, dan para pejuang lainnya, maka abad ini rahim yang sama akan melahirkan generasi baru yang akan menahkodai NKRI ini menuju arah yang benar”. Saya meyakinkan hati dengan argumentasi yang baru saja saya lontarkan. Jauh dari kedalamannya, hati ini menolak argumen yang lebih terkesan magis itu. “Huahahahaha,,,,,”. Gelegar suara tawa teman saya dari bangsa setan ini tiba-tiba menggema memecah kesunyian kampung. “Woi, Setan. Pelankan tawamu. Satu kampung bisa ketakutan mendengarnya”. Saya perhatikan sekeliling saung untuk memastikan tidak warga sekitar yang berlari keluar rumah karena mendengar suara tawa yang angker itu. “Lupa kau dengan siapa kau bicara?”. Jawabnya mengingatkan bahwa hanya saya manusia yang bisa melihat dan mendengar suaranya di kampung ini. “O, iya. Aku lupa. Sudah lama aku tak mendengar setan tertawa. Hahaha... Jadi, bagian mana dari kata-kataku yang kau anggap lucu?”. Saya membenarkan posisi duduk sambil menyeruput kopi yang sudah hampir habis diminum kawan lain bangsa ini. “Ternyata lama hidup di kampung membuat otakmu sudah mulai tumpul, kawan. Tak seencer dulu waktu kau membela mati-matian bosmu yang serakah itu”. Sahabat saya ini juga membetulkan posisi duduknya. Satu-satunya goreng pisang yang tersisa di piring saya pun langsung disambarnya. “Kau tau, Umar”. Mukanya sedikit lebih serius. “Aku sudah hidup sejak ribuan tahun lalu. Aku menyaksikan bagaimana gurumu, Aristoteles, dengan sabar mengajarkan ilmu logika dan ketatanegaraan kepada Iskandar Agung. Di depan mataku Socrates bercerita panjang tentang tugas-tugas pemimpin. Fir`aun di ujung kesombongannya menggelapar dalam dekapan laut merah menunggu kematian. Aku saksikan nabimu, Muhammad, mengajarkan kebajikan dan keluhuran budi kepada seluruh umat. Tak satupun kejadian penting di alam raya ini yang luput dari pantauanku”. Sejenak teman saya ini memandang lurus ke dalam kolam seolah sedang memastikan jumlah ikan mas yang ada di dalamnya. Diam sesaat. “Dan kau tentu tau, kawan”. Masih dengan nadanya yang serius. “Aku menyaksikan betapa Tan Malaka, yang kau sebut telah dilahirkan rahim nusantara ini sebagai pejuang, harus merelakan hampir seluruh kemerdekaan fisiknya demi membela kemerdekaan tanah airnya. Aku berada di hutan yang sama ketika Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit keras memimpin perang fisik dari atas tandu. Aku berada diantara Sukarno dan Bung Hatta ketika mereka serius dan bersungguh-sungguh membicarakan segala sesuatu tentang negeramu ini. Tak sedikitpun terlintas di benak mereka untuk memperaya diri apalagi merekayasa opini publik demi popularitas. Aku berada di rumah Bung Hatta saat kulihat temanku malaikat maut, berjalan tegap mendekati tubuhnya. Kau tau apa yang diwariskan seorang wakil presiden, kawan? Sebuah kacamata dan tumpukkan buku”. Saya hanya menunggu teman saya ini meneruskan pembicaraanya. Sudah hampir saya pastikan kemana ujung dari celotehannya itu, dan benar saja. “Lalu mereka itu yang mau kau banding-bandingkan dengan pemimpin sekarang? Apalagi ketua partaimu itu?. Hah!!!”. “Dia sudah bukan siapa-siapaku!!”. Agak malas saya memprotes. Saya pasrah saja menerima kekalahan yang sudah saya prediksi sejak awal. Setan bertubuh dua kali lebih tinggi dari saya ini melanjutkan ocehannya. “Di atas mimbar mereka berpidato dengan teks tersusun rapi tentang program-program yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Seolah-olah mereka dilahirkan sebagai seorang negarawan yang visioner dan serius memikirkan masa depan bangsa ini. Tapi asal kau tau, Umar. Di belakang mimbar itu, diruang-ruang pertemuan yang mewah itu, di mobil-mobil berharga miliyaran itu, mereka sangat serius dan antusias membagi-bagikan proyek pada sanak keluarga, mencari-cari celah membohongi rakyat agar dipercaya pada pemilu berikutnya, mengutak-atik uang rakyat agar bisa dikeruk sebanyak-banyaknya, menentukan siapa saja lawan yang potensial merusak jalan menuju kekuasaan sekaligus membicarakan strategi untuk menjegalnya. Semua diskusi itu berjalan dengan sangat bergairah. Itu yang mau kau sebut pejuang pembaharu abad ini? Sudah mulai terganggu akal sehatmu, kawan”. Tatapan matanya jelas sekali bermakna cibiran terhadap pandangan saya. Sesegara mungkin saya ingin menutup tema pembicaraan kami. Sejak awal saya tidak tertarik dengan tema diskusi ini. Pandangan yang disampaikan sahabat saya ini sebetulnya hanyalah mengulang-ngulang pandangan yang ada dalam benak saya. “Yaa,,, sudahlah kawan. Sudah ku bilang aku tidak tertarik lagi mendiskusikan soal-soal seperti ini. Aku hanya mencoba menegakkan sejumput harapan di tengah samudera pesimisme yang menghantui anak-anak bangsaku. Tuhan akan memberi keputusan paling adil terhadap negaraku ini”. Saya berusaha menutup diskusi yang tak berguna itu. “Hahaha... ternyata taubatmu benar-benar serius, kawan”. Lagi-lagi tangannya menepuk pundak saya sambil beranjak dari tempat duduknya. Selanjutnya kami bertukar cerita panjang lebar. Mengenang pertemanan kami selama di Jakarta. Sampai dia berdiri sambil menatap ke langit. Malam telah jauh meninggalkan senja. “Aku harus pergi dulu, kawan”. Ucapnya sambil terus memandang berkeliling. Alam pedesaan kampung ini berhasil menyita perhatiannya. “Sering-seringlah kau jenguk temanmu ini. Minggu depan insya Allah aku panen. Mampirlah kau jika ada waktu. Kau boleh bakar ikanku sepuasnya”. Sayapun bangkit berdiri sambil berkemas untuk pulang. “Ya, tentu saja aku akan sering mengujungimu. Minggu depan ku ajak istriku kesini. Kau belum kenal kan?”. “Wah, itu lebih baik. Asal jangan kau kenalkan dia dengan istriku, bisa mati berdiri dia. Hahahaha,,,”. Tawa itu mengakhiri perjumpaan kami. Sekejap saja dia sudah lenyap dari pandangan saya. Sayapun bergegas. Tiba-tiba terdengar lagi suaranya dari kejauhan “O iya, salam dari Fitri. Pacarmu yang sering kau ajak kencan di monas dulu. Aku berhasil merayu kawan separtaimu dulu untuk memacarinya. Sekarang dia hamil tiga bulan. Hahaha”.... Suaranya menyisakan gema. “Ah, dasar kau. Setan”. Desa Batang Tajongkek, Kota Pariaman 22 April 2012  

0 komentar: