abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Selasa, 04 Desember 2012

Abad Kedua Muhammadiyah; Kembali ke Islam ala Protestan

Diposting oleh abrar aziz

Istilah Islam Protestan bukanlah merupakan istilah baru dalam khazanah intelektual Islam, terutama di Muhammadiyah. Saya sendiri baru mendengar istilah ini lewat tulisan seorang senior di IMM Ciputat, Sukidi, dalam sebuah artikel di harian Kompas tahun 2005 silam. Binkes, seorang pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia pada tahun 1913 mengatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan merupakan warga Indonesia yang memiliki tipe Calvinis layaknya reformasi Protestan abad ke 15 dan 16. Gerakan reformasi Islam Muhammadiyah sebenarnya telah lama dipandang oleh ilmuan sebagai gerakan yang paralel dengan gerakan reformasi puritan dalam sejarah Kristen. Clifford Geertz, W. F. Wertheim dan James Peacock adalah di antara ilmuan tersebut. Meski bukan istilah yang terlalu baru, tetap saja bagi sebagian warga Muhammadiyah istilah ini terdengar tidak lazim dan aneh. Sebagian barangkali menganggap istilah Islam Protestan sebagai pengaburan makna atau bahkan pelecehan terhadap Islam. Jika ada Islam Protestan tentu ada Islam Katolik. Demikian mungkin sebagian anda berkomentar. Tentu saja istilah ini bukan dalam konteks teologis, melainkan sosiologis semata. Ada banyak kesamaan antara gerakan reformasi Protestan di Eropa dengan reformasi Islam ala Muhammadiyah. Pertama, gerakan pemurnian Kristen yang dimotori Marthin Luther dan Johanes Calvin memberi tekanan yang sangat kuat kepada semangat rasionalitas keagamaan. Dalam hal berhubungan dengan Tuhan misalnya, reformasi Protestan menentang keras keharusan mediasi yang wajib melibatkan pihak ketiga, yaitu Gereja. Bagi mereka, setiap umat Kristen berhak berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa harus dimediasi oleh siapapun. Ini merupakan satu gebrakan yang luar biasa di masa itu mengingat kekuasaan Gereja yang sedemikian kuat dan berhak menentukan doktrin yang benar dan yang salah serta menjadi satu-satunya institusi yang berhak menafsirkan kehendak Tuhan. Kondisi yang hampir sama terjadi pada umat Islam di Jawa awal abad ke 20. Permohonan doa kepada Allah mestilah melalui Kiyai tertentu. Jika tidak, maka permohonan tidak akan dikabulkan. Selain itu, permohonan juga tidak akan sampai kepada Allah jika tidak disertakan sesajen yang dipercaya menjadi medium komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Muhammadiyah hadir mendobrak tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun ini. Semangat rasionalitas keagamaan dikobarkan dengan mengamputasi semua medium komunikasi tersebut dan mengajarkan cara berdoa yang saat itu tidak lazim, yaitu langsung berbicara kepada Allah secara pribadi. Tanpa perantara siapapun dan apapun. Kiyai dan orang biasa memiliki hak yang sama untuk berdo`a kepada-Nya. Maka sebagaimana reformasi Protestan yang mendapat perlawanan keras dari Gereja, Muhammadiyah juga harus berhadapan dengan institusi ulama yang sangat berkuasa dalam urusan ritual-ritual agama. Kedua, doktrin yang cukup terkenal dalam reformasi Protestan adalah puritanisme atau pemurnian. Doktrin ini terkenal dengan istilah sola sciptura, yaitu kembali kepada teks/Bible. Setiap umat Kristen berhak merujuk langsung kepada Bible tanpa harus terjebak pada mazhab dan tafsir-tafsir Gereja. Sekali lagi ini merontokkan dominasi Gereja atas penafsiran doktrin. Sementara Muhammadiyah secara terang-terangan meneriakkan purifikasi atau pemurnian melalui slogannya yang terkenal; arruju` ila al quran was sunnah, merujuk langsung kepada al Quran dan Sunnah Nabi. Sebagaimana purifikasi Protestan, purifikasi Muhammadiyahpun mampu menggoyang dominasi mazhab-mazhab fiqh yang selama ini dianggap mapan. Protestanisme Kristen secara radikal mampu merubah pola tanggungjawab manusia yang awalnya bisa dilimpahkan dengan mudah kepada pimpinan Gereja, menjadi tanggungjawab pribadi langsung kepada Tuhan. Demikian juga reformasi Islam Muhammadiyah. Peranan Kiyai, sesajen, kuburan suci, dan benda-benda keramat lain yang biasanya dipercaya sebagai medium komunikasi dengan Allah dikategorikan sebagai perbuatan syirik dan khurafat. Sehingga kedua gerakan ini, baik reformasi Protestan maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama meyakini bahwa kebenaran mampu dicapai secara pribadi antara individu dan Tuhannya tanpa ikut campur pihak manapun. Ketiga, dan ini suatu kebetulan yang sangat menarik. Baik reformasi Gereja maupun purifikasi Islam ala Muhammadiyah mendapat tempat yang subur di kalangan pedagang. Pada penggerak reformasi ini, menurut Binkes, memiliki tipikal yang sama; saudagar, tekun, cerdas, militan. Karakter inilah yang menjelaskan kenapa kedua gerakan ini memberi penekanan yang kuat terhadap rasionalitas keagamaan, membuat inovasi-inovasi, dan kemandirian. Usia Satu abad Tanggal 18 November 2012 merupakan titik penting perjalanan Muhammadiyah. Pada hari itu, satu abad yang lalu, Kiyai Dahlan bersama sekelompok pemuda berkumpul di langgar Kidul untuk mendirikan Muhammadiyah. Meskipun deklarasinya baru dilakukan pada malam Minggu terakhir bulan Desember 1912 di Gedung Loodge Gebauw Malioboro, Yogyakarta. Sejak itu, Muhammadiyah terus berkembang serupa bola salju. Semakin hari kian besar, semarak, dan dinamis. Dakwah melalui media dipelopori Muhammadiyah dengan mendirikan majalah Suara Muhammadiyah tahun 1915, gerakan perempuan berdiri tahun 1917. Dan gerakan pelayanan sosial yang dikenal dengan Penolong Kesengsaraan Oemom (PKO) berdiri tahun 1922. Muhammadiyah kemudian terus bergerak melintasi zaman dengan ciri reformis yang kain kentara. Deliar Noer, James Peacock, William Shepard, dan sebagian besar peneliti menyebut Muhammadiyah dengan istilah islamic modernism. Sementara Clifford Geertz, George Kahin, Robert van Neil, dan lainnya menyebut Muhammadiyah dengan gerakan sosio kultural. Pengamat lain seperti Alfian, Wertheim, dan yang lain menyebut dengan istilah islamic reformism. Hingga kini, satu abad kemudian, Muhammadiyah telah menjelma menjadi organisasi raksasa dengan jaringan dan amal usaha yang sulit dicari tandingannya. Data dari Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah menunjukkan jumlah jaringan dan amal usaha Muhammadiyah ; 4.623 TK, 2.604 SD/MI, 1.772 SMP/MTs, 1.143 SMA/SMK/MA, 67 Pondok Pesantren, 172 Perguruan Tinggi, 457 Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Klinik, 318 Panti Asuhan, 54 Panti Jompo, 82 Rehabilitasi Cacat, 71 Sekolah Luar Biasa, 6.118 Masjid, 5.080 Musholla, dan 20.945.504 M tanah. Saya tidak ingin terlibat perdebatan apakah Muhammadiyah organisai Islam terbesar pertama atau kedua di Indonesia. Jika ukurannya adalah jumlah anggota mungkin saja Muhammadiyah yang kedua atau ketiga, meski organisasi lainpun tidak punya data akurat tentang jumlah warganya. Tapi mari kita lihat penilaian objektif dari luar. Media-media di Amerika Serikat, sebagaimana sering disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, M. Din Syamsuddin, selalu menyebut Muhammadiyah sebagai the largest reformist Islamic organization. Nurcholish Madjid memberi penilaian; jika dilihat dari sudut pandang gerakan dan amal usaha, maka Muhammadiyah bukan saja gerakan Islam terbesar di Indonesia, tapi juga di dunia Islam. Antropolog Amerika Serikat, James L. Peacock, menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam terkuat di Asia Tenggara. Bahkan `Aisyiyah, menurut Peacock, merupakan organisasi perempuan terbesar dan paling dinamis di dunia. Saya kutipkan catatan James Peacock dan Howard Federspiel ; tahun 1923 Muhammadiyah memiliki anggota 2.622 laki-laki dan 724 wanita. Tahun 1925 anggotanya berjumlah 4.000 dan mengelola 55 sekolah, dua rumah sakit, dua panti asuhan. Tahun 1930 keanggotaanya meningkat menjadi 24.000. tahun 1950 menjadi 159.000. Tahun 1963 Muhammadiyah mengelola 4.600 sekolah, termasuk pesantren dan perguruan tinggi. Tahun 1970 Muhammadiyah memiliki 2.134 cabang, lebih dari 2.500 ranting dengan total anggota 6 juta. Dan hari ini Muhammadiyah telah memiliki 33 Wilayah, 417 Daerah, 3.221 Cabang, dan 8.107 Ranting. Sebuah jumlah yang sulit dicari tandingannya. Bagaimana sekarang? Seiring berjalannya waktu, Muhammadiya terus bergerak menuju usia yang semakin menua. Selain berbagai prestasi dan kebesaran yang telah diraih, Muhammadiyah juga harus mampu berbenah agar tidak ditinggalkan oleh zaman yang bergerak semakin cepat. Banyak pengamat memberi kritik atas kelambanan Muhammadiyah dalam membaca tanda-tanda zaman. Penyakit rutinisme dan birokratisasi merupakan hal lumrah terjadi bagi organisasi setua dan sebesar Muhammadiyah. Untuk itu, memasuki abad kedua usianya, Muhammadiyah perlu meresapi kembali semangat Islam Reformis ala Protestan sebagaimana diajarkan oleh generasi awal. Watak reformis yang menjadi ciri utama Muhammadiyah harus kembali ditumbuhkan. Kejumudan dan kemandegan pemikiran maupun gerakan Muhammadiyah lebih disebabkan oleh anggapan keliru sebagian warga Muhammadiyah yang menganggap persyarikatan ini telah mapan dan tidak perlu ada perubahan. Padahal, ciri utama gerakan reformis adalah senantiasa terbuka untu perubahan. Jika Muhammadiyah ingin bertahan dalam pusaran zaman yang semakin kompleks, maka pembaharuan jilid kedua harus segera dimulai. Saya percaya akan sebuah hadits yang mengatakan setiap satu abad akan lahir seorang pembaharu. KH. Ahmad Dahlan telah melakukan tugasnya sebagai pembaharu jilid pertama bagi Muhammadiyah. Maka inilah saatnya lahir pembaharu jilid kedua, dengan tipologi yang tentu saja harus sama dengan pendahulunya; militan, cerdas, dan terbuka, sebagaimana Reformasi Protestan d Eropa. Puncak, Cianjur, 5 Desember 2012. 00.05 WIC

0 komentar: