abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Rabu, 24 Maret 2010

Bahaya Itu Masih Ada

Diposting oleh abrar aziz



Abrar Aziz

Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Sebuah buku berjudul “Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” di luncurkan beberapa waktu lalu. Sebagaimana banyak tersiar di media bahwa buku tersebut memliki target bidikan yang sangat jelas, gerakan Islam “garis keras”. Tentu saja ini bukan karya pertama yang mengkaji tentang gerakan yang juga disebut Islam Transnasional ini. Haedar Nashir, Imdadun Rahmat, Hamid Algar, dan beberapa cendekiawan lainnya telah menyumbangkan pemikirannya tentang gerakan yang ditasbihkan kepada beberapa organisasi Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Wahabi ini. Tulisan ini tidak berniat mengomentari karya intelektual tersebut. Namun sekedar mengingatkan bahwa bahaya itu masih ada.


Sebagai sebuah bangsa dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, Indonesia jelas merupakan target dari berbagai ideologi yang berkepentingan dengan Islam. Sebuah kenyataan yang tidak begitu mengherankan. Pertarungan ideologi dan pengaruh antar gerakan Islam sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Negara ini didirikan. Contoh yang paling mudah diingat adalah khilafiah yang terjadi antara dua organisasi Islam tertua di negeri ini, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Meski apa yang terjadi sebetulnya bukanlah perang ideologi melainkan perbedaan dalam hal furu` (cabang dalam fiqh) saja. Sehingga dua ormas Islam ini tetap menjadi pilar Islam di Indonesia.

Dalam hal dasar Negara misalnya, tidak ada perbedaan pandangan bagi keduanya. Hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah final karena sejatinya sudah Islami meski tidak berlabel Islam. Sebaliknya jika hukum nasional itu dilabeli dengan stempel Islam tentu hal ini akan menimbulkan kecemburuan bagi agama lain. Selain itu, stempel Islam bertentangan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang selama ini kita anut.

Namun akhir-akhir ini dinamika pemikiran Islam di Indonesia menjadi sangat menarik untuk disimak dengan hadirnya beberapa organisasi Islam yang memiliki ideologi berbeda dengan dua ormas di atas. Para cendekiawan menyebutnya dengan Islam transnasional karena mereka membawa ideologi Islam “asing” ke Indonesia. Hizbut Tahrir (HT) misalnya, mereka hadir dengan cita-cita luhur membagun sebuah dinasti Islam yang mereka sebut Khilafah Islamiyah.

Taqiyudin Nabhani, pendiri HT, berpandangan bahwa umat Islam hari ini telah kembali ke zaman jahiliah. Hal terjadi karena umat Islam tidak bisa lepas dari cengkraman Barat. Untuk itu berdirinya Khilafah internasional dimana hukum Islam dijadikan sebagai hukup positif, merupakan sebuah keniscayaan untuk merebut kembali kejayaan Islam masa lampau. Gerakan yang berasal dari Yarusalem Timur ini telah menyebar empat puluh Negara, termasuk di Indonesia dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Sebagai sebuah hasil ijtihad, ide untuk mendirikan Khilafah Islamiyah ini tentu tidak ada masalah. Karena, sebagaimana demokrasi, hasil ijtihad manusia harus dihargai terlepas benar atau salahnya ijtihad itu. Namun jika imperium Islam itu dianggap sebagai satu-satunya sistem yang diridhoi Allah, persoalannya menjadi lain. Yang jelas sistem Khilafah sebagaimana dimaksud oleh Hizbut Tahrir sama sekali tidak memiliki rujukan teologis yang kuat sebagaimana termaktub dalam keputusan Majelis Bahtsul Masa’il Nahdatul Ulama tentang Khilafah. Selain itu, secara historis sistem ini juga bermasalah. Al Quran dan Sunnah memang menjelaskan bahwa pemimpin yang ideal itu adalah pemimpin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta juga mencintai ummatnya sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan Khalifah Rasyidin. Namun tidak ada petunjuk bagaimana membangun sistem pemerintahan. Bahkan jika kita merujuk kepada sistem kekhalifahan setelah Rasulullah sekalipun, rujukan itu tetap saja menuai masalah. Sejarah membuktikan bahwa sistem khilafah sangat rawan konflik dan perebutan kekuasaan.

Kepemimpinan Khalifah Rasyidin menyisakan perih tak terkira dalam sejarah Islam. Tiga khalifah pengganti Abu Bakar Shiddiq meninggal berkuah darah. Setelah itu, cerita tentang khilafah adalah cerita tentang perang, intrik politik, fitnah, dan bahkan pembantaian keji terhadap cucu Baginda Nabi Hasan dan Hussain. Mungkinkah sejarah kelam itu akan dibangkitkan lagi. Meskipun tidak bisa dinafikkan bahwa pada masa kepemimpinan beberapa khalifah peredaban Islam mengalami kemajuan. Namun tetap saja hal itu tidak bisa menutupi fakta bahwa peradaban itu berdiri diatas simbahan darah manusia.

Selain HT, gerakan ‘import” lain yang hadir di Indonesia adalah Ikhwanul Muslimin (IM). Di Negara asalnya, Mesir, organisasi yang didirikan Hasan al Banna pada tahun 1928 ini dianggap berbahaya. Namun di Indonesia mereka mendapat lahan yang cukup “basah” terutama setelah berhembusnya angin reformasi dengan didirikannya Partai Keadilan yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Tujuan gerakan ini adalah membawa umat Islam kepada ajaran Islam yang murni. Sebuah tujuan yang sangat mulia tentunya.

Namun tujuan baik ini dilakuka dengan cara yang ekstrim. Sayyid Qutb, ideolog IM memimpin gerakan yang agressif melawan panguasa. Setelah ditangkap dan disiksa dalam penjara, Qutb menyerang pemerintah melalui tulisan-tulisannya yang keras. Dalam tulisannya Quth menjelaskan bahwa terwujudnya Negara Islam adalah cita-cita agung yang harus diperuangkan. Tulisan-tulisan inilah yang kemudian mengilhami segenap pengikutnya untuk melakukan aksi-aksi kekerasan yang mengancam keselamatan para pejabat Negara di masa itu.

Di Indonesia, gerakan ini berbagai diberbagai elemen masyarakat terutama di kampus, masjid, sekolah, dan tentu saja pemerintahan dan parlemen. Mereka lebih dikenal dengan nama Gerakan Tarbiyah. Tujuannya kurang lebih sama, yaitu kembalinya Piagam Jakarta. Hal ini dimulai dengan memberlakukan perda-perda syari`h dimana kader-kader mereka berhasil merebut kekuasaan. Seperti yang diberlakukan gubernur Jawa Barat yang mulai membatasi tradisi yang sudah melekat lama di masyarakat, tari Jaipongan.

Menurut KH. Hasyim Muzadi, ide dan gagasan formalisasi syari`at adalah gagasan yang tidak memiliki akar dalam tradisi ke-Indonesia-an. Sehingga jika dipaksakan akan menimbulkan konflik. Integrasi bangsa berada dalam ancaman serius jika syari`at Islam berlaku sebagai hukum formal. Kita harus meyakini Islam sebagai sebuah ajaran yang universal dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Menghilangkan tradisi atas nama Islam adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan.

Bukan hanya soal agenda, cara yang ditempuh kelompok ini juga membuat ormas-ormas Islam gerah. Bahkan Pimpminan Pusat Muhammadiyah merasa perlu mengeluarkan Surat Keputusan nomor 149/KEP/I.0/B/2006 yang intinya mengingatkan warga Muhammadiyah agar berhati-hati dengan ideologi tersebut. SK ini tentu tidak keluar dengan sendirinya. Kasus penyusupan kader-kader Tarbiyah ke masjid-masjid Muhammadiyah, sekolah, dan amal usaha lainnya adalah topik paling hangat dalam Muhammadiyah dewasa ini.

Dan, gerakan terakhir yang diyakini sadang melakukan import ideologi besar-besaran adalah Wahabi. Di Indonesia, gearakan yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab tahun 1703 M ini bergerak dalam berbagai gerakan seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, LIPIA, Majelis Mujahidin Indonesia, dll. Ciri gerakan ini adalah pembacaan terhadap teks secara tertutup. Mereka menolak pengetahuan humanistik, apalagi menafsirkan teks dengan perspektif sejarah. Hasilnya adalah perlawanan yang keras terhadap siapapun yang berbeda pandangan dengannya. Kekerasan bahkan perang sekalipun adalah suatu hal biasa bagi mereka.

Meskipun perang adalah salah satu jalan yang pernah ditempuh Rasulullah. Namun pelaksanaannya harus melalui institusi Negara. Bukan pribadi atau kelompok. Inilah yang menjadi titik soal dari kelompok ini. Mereka merasa berhak menyatakan perang karena menganggap Negara ini dipimpin oleh orang kafir hingga tidak perlu diikuti. Aksi kekerasan itu bukan hanya dilancarkan kepada orang-orang non Islam, tapi juga kepada sesama muslim yang berbeda paham dengan mereka. Tindakan ini tentu saja sangat bertentangan dengan semangat kasih sayang yang diajarkan Al Quran. Dan yang lebih penting lagi, otoritas kebenaran hanya milik Tuhan semata. Sehingga siapapun yang merasa berhak menghakimi keberagamaan orang lain, maka sejatinya mereka telah merampas hak Tuhan itu sendiri.

Terakhir, Islam yang hadir di bumi Indonesia seharusnya memiliki “wajah pribumi” yang pluralsitik hingga mampu berdampingan dengan kekayaan tradisi yang ada di negeri ini. Tradisi Islam yang “diimport”, baik itu dari Palestina, Mesir, bahkan Mekkah sekalipun hanya akan membuat Islam terasa asing. Sekali lagi, sebagai sebuah hasil itihad, gagasan tentang Khilafah, Negara Islam, dan apapun namanya adalah suatu hal yang patut dihargai. Namun memaksakan kehendak ditengah keberagaman merupakan tindakan yang tidak bisa diterima. Sistem apapun yang digunakan, jika masyarakatnya hidup dengan penuh kasih sayang dan saling menghormati, maka masyarakat tersebut sejatinya telah hidup dalam nuansa Islami. Meskipun bukan Negara Islam.

Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah




0 komentar: