abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Rabu, 24 Maret 2010

Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo

Diposting oleh abrar aziz

Zainal Abidin Bagir

Center for Religious and Cross-cultural Studies, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
Secara garis besar, ada dua gagasan utama Kunto yang dibahas di sini: pengilmuan Islam dan integrasi ilmu dengan etika. Meskipun di tulisan-tulisan awalnya (80-an dan awal 90an) ia tampak bersimpati pada gerakan islamisasi ilmu, belakangan ia membedakan gagasannya tentang pengilmuan Islam dari gerakan tersebut, bahkan mengatakan bahwa “gerakan islamisasi ilmu mesti ditinggalkan”. Kuntowijoyo meyakini objektifitas ilmu, namun menolak klaim bebas-nilainya, dalam artian netralitas/ketakberpihakan. Di satu sisi, Islam mesti dijadikan ilmu (diobjektifikasi); di sisi lain, ilmu-ilmu (khususnya sosial) mesti menyatakan keberpihakan yang jelas, yaitu kepada cita-cita profetik universal agama-agama: humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Almarhum Kuntowijoyo pernah membawakan kisah yang dikutipnya dari Bakdi Sumanto. Alkisah, Pak Fulan bin al-Jawi, seorang pensiunan, duduk di kursi goyang sambil memutar tasbihnya. Ia gelisah, “Apa yang kurang ya?” Pajak … sudah, zakat … sudah, premi asuransi sudah, Takaful sudah…. Tiba-tiba ia teringat: Tuhan menyuruhnya masuk Islam secara total. Padahal, mobil Kijangnya yang baru belum masuk Islam. Ia pun mengambil gergaji dan jongkok di samping mobilnya. Ketika ditanya istrinya, ia menjawab, “ternyata mobil kita belum masuk Islam. Maka saya sedang menyunat, memotong ujung knalpotnya.” [2]

Tak sembarangan kiranya jika Kunto mengambil kisah ini untuk menggemakan peringatannya. Kisah ini adalah satu sisi krusial dari beberapa persoalan besar yang ingin dipecahkannya. Sebagai seorang Muslim pemikir, Kunto ingin menemukan bagaimana janji Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat dijadikan kenyataan. Haruskah untuk itu Islam dijadikan ideologi? Atau paradigma keilmuan? Haruskah hermeneutika diterapkan untuk memahami pesan al-Qur'an? Atau strukturalisme?

Kisah pembuka tulisan ini memang amat sinis, tapi juga merupakan ilustrasi amat kuat tentang bagaimana menjadikan Islam sebagai rahmat alam semesta dapat dipahami sebagai gerakan “islamisasi semua bidang kehidupan demi menjalankan Islam kaaffah” dalam wujudnya yang naif. Sebagai seorang ilmuwan, Kuntowijoyo menggali pandangan-pandangan alternatif yang berputar di sekitar beberapa konsep kunci: objektifikasi, pengilmuan Islam (atau Islam sebagai ilmu), dan cita-cita profetik. [3]

Secara harfiah, frasa “pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dari sini saja bisa muncul banyak pertanyaan. Pertama, perlu diperhatikan bahwa ia tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, misalnya. Tapi Islam itu sendiri yang merupakan ilmu. Dengan “pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam adalah caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.



Objektifikasi Islam: dari mitos dan ideologi menjadi ilmu

Satu cara untuk memahami gerak “pengilmuan Islam” adalah dengan memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan Muslim yang dibuat Kunto. (ISI, 80-81) Periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu. Keputusan baik yang diambil di suatu periode belum tentu akan bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos , lalu sebagai ideologi , dan terakhir sebagai ilmu . Pembahasan lebih dalam mengenai ini ada di cukup banyak tulisan Kunto yang tersebar sejak tulisan-tulisan awalnya mengenai analisis sosisal politik umat Islam Indonesia . Untuk keperluan makalah ini, cukuplah dikemukakan beberapa unsur terpentingnya saja.

Periodisasi ini sesungguhnya awalnya dibuat untuk membagi sejarah politik umat Islam (khususnya di Indonesia ). Namun karena pembagian ini dibuat berdasarkan sistem pengetahuan masyarakat, ia berguna pula untuk memahami gerakan pengilmuan Islam yang diusulkan untuk periode terakhir umat Islam ini. Pada periode pertama, Islam dipahami lebih sebagai mitos ; sebagai sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, dijaga kemurniannya dari campuran-campuran non-islami, dan jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar. Karenanya Kunto menyebut bahwa tradisi ini biasanya bersifat deklaratif atau apologetis. (MTM, 102-103). Sebuah indikasi menarik yang diajukan Kunto adalah mengenai maraknya buku-buku jenis itu yang diterbitkan Bina Ilmu atau Gema Insani Press.

Islam sebagai ideologi sudah bersifat lebih rasional, tapi masih terlalu apriori/ nonlogis. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam bidang politik, ciri utama gerakan ini adalah berdirinya organisasi-organisasi politik, dan ditandai dengan gagasan pembentukan Negara Islam. Islam eksis hanya jika ia eksis secara institusional-formal. Karena itu, ketika di Indonesia semua ormas diharuskan berasas Pancasila, ini dipahami sebagai upaya de-islamisasi. Padahal, kata Kunto, ini juga bisa dilihat sebagai isyarat bahwa Islam perlu memasuki babak baru, yaitu periode Islam sebagai ilmu.

Dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam, yang akan di bahas di bawah. Untuk mengambil contoh aktifitas dalam periode ini di bidang politik, Kunto memahami benar bahwa bagi para founding fathers Indonesia yang Muslim, menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta amat berat dilakukan, namun toh akhirnya dilakukan juga. Keputusan yang sama beratnya mesti diambil ketika pada masa Orde Baru terjadi marjinalisasi keterlibatan politik Muslim. Namun, kata Kunto, “sekali lagi diminta kesadaran bahwa umat menjadi bagian dari bangsa yang plural.” (ISI, 50) “Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … [Padahal] Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” (ISI, 82) Gagasan objektifikasi Islam diharapkan “dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi, umat sendiri, dan nonumat.” (ISI, 83)

Secara kurang tepat namun mungkin cukup instruktif, bisa dikatakan bahwa dengan melakukan objektifikasi, “baju Islam” (“Islam sebagai baju”) ditanggalkan, dan Islam secara substansial tampil secara universal. Nilai-nilai Islami menjadi sesuatu yang bisa diterima orang, Muslim ataupun non-Muslim, karena kebaikan nilai-nilai itu sendiri, bukan karena nilai-nilai itu disebut “Islami”. [4] Dengan cara ini, Islam menjadi rahmat untuk alam semesta.

Namun ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar ia benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya memenuhi keinginan eksklusif sebagian kaum beragama tertentu untuk menegaskan identitasnya. Persis itulah yang menjadi salah satu tujuan objektifikasi, yaitu untuk menghindari dominasi satu kelompok agama atas kelompok-kelompok lainnya. (ISI, 65) Dengan ini, Muslim masih dapat tetap menjadikan al-Qur'an sebagai sumber hukum. Namun, “Objektivikasi Islam akan menjadikan al-Qur'an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara.” (ISI, 66) Muslim tak dapat serta merta menerapkan syari'ah menjadi hukum negara, misalnya, tapi itu hanya dapat dilakukan jika ada kesepakatan dari semua, termasuk non-Muslim. Ini hanya bisa dicapai jika nilai-nilai Islam itu telah diobjektifikasi sehingga tampil sebagai nilai-nilai yang dapat diterima semua orang lepas dari latar belakang/sumber nilai-nilai itu.

Sesungguhnya, Kunto juga menyarankan bahwa semua agama melakukan hal yang sama, objektifikasi. (ISI, 67) Jika demikian, ini akan menjamin bahwa konflik dapat dihindari. Islam—dan sesungguhnya semua agama—bukan lagi berwujud identitas atau simbol yang diterjemahkan dalam label-label institusional yang menarik garis antara kelompokku dan kelompokmu, tapi justru ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif. Kalaupun, misalnya, partai Islam atau partai Kristen ingin didirikan, perjuangannya tak lagi bersifat partisan. Nilai-nilai agama tertentu bisa diusung dalam agenda perjuangannya, tapi sebagai nilai-nilai yang kebaikannya bersifat objektif, bisa dipahami semua orang.



Dua pra-anggapan filosofis: rasionalisme dan pluralisme

Beberapa paragraf terakhir di atas menyiratkan beberapa pra-anggapan filosofis Kuntowijoyo. Setidaknya ada du hal yang bisa dicatat di sini: (1) Dalam polarisasi mazhab rasionalis dan tekstualis, posisi Kuntowijoyo ada dalam “kubu” pemikiran Islam yang lebih rasionalis; (2) Ia meyakini bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa.

(1) Sejak masa awal pemikiran Islam, ada perdebatan di kalangan pemikir Muslim yang membagi mereka ke mazhab-mazhab rasionalis ( mu'tazili ) dan tekstualis. Kaum tekstualis, misalnya, memahami bahwa sesuatu perbuatan bersifat baik atau buruk karena ia diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan; kaum rasionalis, sebaliknya, melihat bahwa sesuatu perbuatan dilarang atau diperintahkan oleh Tuhan karena perbuatan tersebut bersifat baik atau buruk. Yang pertama menaruh kesetiaannya pertama-tama pada teks; yang kedua terutama melihat adanya nilai inheren yang objektif dalam agama. Ini jelas memberi ruang yang cukup besar bagi manusia untuk memikirkan rasionalitas teks. Bahkan, bagi kaum rasionalis yang cukup “ekstrem”, karena kebaikan tersebut bersifat objektif, itu berarti ia accessible untuk pikiran manusia. Implikasinya, kebenaran-kebenaran tersebut dapat dicapai tanpa melalui medium kenabian/kitab suci. (Inilah salah satu yang ingin ditunjukkan dalam novel populer Hayy ibn Yaqzhan. )

Kunto saya kira tak ingin bergerak sejauh itu. Namun secara teoretis, keyakinannya akan rasionalitas Islamlah yang memungkinkannya menggagas objektifikasi Islam. Sementara kaum tekstualis selalu ingin kembali kepada teks; kaum rasionalis seperti Kuntowijoyo berangkat dari teks namun kemudian bergerak jauh untuk menjelajahi dunia. Yang pertama biasanya bersifat amat normatif, yang kedua empiris. Inilah yang di bawah nanti akan ditunjukkan sebagai salah satu pembeda pengilmuan Islam dari islamisasi ilmu.

Ciri utama periode ilmu adalah aktifitas objektifikasi Islam agar “Islam jadi rahmat untuk semua”. (ISI, 50) Gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena ia berasal dari Islam; berasal dari Islam atau tidak, itu tak penting lagi. Yang penting adalah bahwa nilai-nilai itu bisa ditunjukkan sebagai mengandung kebaikan pada dirinya sendiri, sehingga sumber nilai-nilai itu menjadi tak penting; yang penting adalah kemampuan menjustifikasinya secara rasional, demi mempersuasi sebanyak mungkin orang untuk menerimanya.

Sebagai hasilnya, “Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.” (ISI, 57) Objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tanpa mengenal agamanya, non-agama, bahkan anti agama. “Pendeknya, dari orang beriman untuk seluruh manusia.” (ISI, 58)

(2) Hal yang persis sama berlaku untuk agama-agama lain, yang bagi Kunto juga perlu melakukan objektifikasi agar manfaatnya dirasakan semua orang. Ini karena ia tampak yakin benar bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa. Untuk ini, cukuplah mengutip pernyataannya yang paling jelas dan eksplisit dalam tulisan terakhirnya “Maklumat Sastra Profetik” (MSP) di Horison (Mei 2005). Sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, yang melampaui keterbatasan akal manusia,

“… Kitab Suci yang satu tidak lebih tinggi daripada Kitab Suci lainnya. Mereka sejajar. Islam mengajarkan (Al-Quran, 3: 64) tentang adanya kalimah sawa' (titik temu, konsensus, common denominator ). Tidak ada pertentangan tentang hal-hal yang fundamental, meskipun ada perbedaan dalam detailnya. Maka sekalipun dalam maklumat ini saya hanya mengemukakan ajaran dari satu Kitab Suci saja, saya yakin dapat mewakili semua Kitab Suci lainnya. Sebab, maklumat ini hanya akan membicarakan hal-hal yang ada titik temunya, dan yang tidak kontroversial.” (MSP, 8)

Kalimat terakhir perlu digarisbawahi: bagi Kunto, keberpihakan pada etika profetik (yang dijabarkannya menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) adalah hal-hal yang tak kontroversial, bisa diterima semua orang (kecuali mungkin nilai ketiga, yang bermakna hanya bagi kaum beragama). Bagi Kunto yang Muslim, inspirasi mengenai ketiga cita-cita profetik ini didapatnya dari Al-Qur'an 3: 110 (“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf , dan mencegah dari yang munkar , dan beriman kepada Tuhan ”). Kunto membaca ayat ini sebagai perintah untuk meperjuangkan humanisasi ( amar ma'ruf ), liberasi ( nahi munkar ), dan transendensi (beriman kepada Tuhan). Tanpa melakukan kajian lebih jauh, tampaknya tak sulit menemukan cita-cita profetik yang serupa di agama-agama lain.

Dalam tulisan terakhirnya, “Maklumat Sastra Profetik”, ia menjabarkan agenda etika profetik itu secara lebih terinci. Yang pertama, adalah melawan kecenderungan dehumanisasi (dalam wujud manusia mesin, manusia massa , dan budaya massa ). Agenda liberasi adalah pembebasan masyarakat dari penindasan politik dan negara, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender. Agenda transendensi adalah “menghidupkan kembali” Tuhan yang telah dibunuh oleh beberapa aliran filsafat Barat. (MSP, 11-16)





Islamisasi ilmu versus pengilmuan Islam

Di atas “pengilmuan Islam” dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan “pengilmuan Islam”. Dalam konteks yang berbeda, Kunto membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan islamisasi ilmu . (ISI, 6-11) Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks ke konteks; islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks; sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur'an dan Sunnah).

Dalam beberapa pembahasan Kunto, pengilmuan Islam terkadang sulit dibedakan dari islamisasi ilmu, dan tampaknya di tulisan-tulisan awalnya Kunto tak secara ketat membedakan keduanya. Atau, penjelasan yang menurut saya lebih memuaskan adalah bahwa Kunto sesungguhnya telah mengubah posisinya mengenai gagasan islamisasi ilmu, yang di tahun 80-an dan 90-an merupakan gagasan yang amat populer di dunia Muslim. Perubahan posisi Kuntowijoyo tampak cukup jelas dalam buku Islam sebagai Ilmu yang mengandung bab-bab yang ditulis pada 1991 hingga 2004. Sebagai contoh, di bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991) ia menyebutkan secara positif (dan eksplisit) upaya islamisasi ilmu yang dipahami sebagai upaya perumusan teori yang didasarkan pada paradigma al-Qur'an. (ISI, 26). Ia juga tak bersepakat dengan Ziauddin Sardar yang mengkritik upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. (ISI, 93) Namun dalam tulisannya yang terbit pada 2002, ia menghadapkan pengilmuan Islam sebagai alternatif bagi islamisasi ilmu. (ISI, 6). Di pengantar buku itu, Kunto bahkan secara tegas mengatakan, “… gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah ‘pengilmuan Islam'. Kita harus meninggalkan ‘Islamisasi pengetahuan'….” (ISI, 1)

Di tulisan-tulisannya yang belakangan itu, tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman ilmu dengan pengilmuan Islam. Perbedaan pertama adalah dalam hal metodologinya. Yang pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah wujud, yang dipandang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih dipahami sebagai teks. (ISI, 8) Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular. (ISI, 53) Berangkat dari keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan humanisasi), yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan peran yang cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan umat manusia. Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah bahwa yang belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat memecahkan persoalan. (ISI, 52)

Di sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan tek-teks agama; dengan kata lain, menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan Islam”. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif.

Jadi, di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekular, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikan, tapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. (ISI, 52, 57) Kerangka teoretis inilah yang ingin diturunkan Kuntowijoyo dari kitab suci (dalam hal ini, al-Qur'an).

Secara umum, bagi Kunto, modal utama untuk memperbaiki ilmu-ilmu modern adalah agama. Agama penting dilibatkan di sini justru karena keberpihakannya cukup jelas, yaitu kepada kepentingan kemanusiaan (yang, sebagaimana disinggung di atas, dijabarkan menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) . Namun, sekali lagi, ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya absah bagi pemeluknya.

Dari pemaparan sejauh ini, perlu diperhatikan bahwa meski Kuntowijoyo menyebut pengilmuan Islam sebagai alternatif islamisasi ilmu, gagasan ini tak bisa semata-mata ditempatkan dalam rubrik “ilmu dan agama”. “Ilmu dan agama” biasanya berbicara tentang hubungan ilmu dan agama (misalnya, pertanyaan mengenai apakah keduanya dalam konflik atau harmoni? Bagaimana mengintegrasikan keduanya? Perlukah ilmu menjadikan agama sebagai salah satu sumbernya?) Pengilmuan Islam sedikit banyak memang berbicara tentang hubungan ilmu dan agama, tapi juga tentang bagaimana Islam sebagai sebuah agama mesti dihayati Muslim kontemporer. Untuk yang belakangan ini, contoh-contoh terbaiknya justru berada dalam wilayah pembicaraan tentang posisi Muslim dalam ranah sosial-politik Indonesia .

Pertama , melalui analisis tiga periode yang diajukannya, pengilmuan Islam berusaha menjelaskan posisi umat Islam dalam panggung sosial politik. Kedua , tak berhenti pada memberikan penjelasan, pengilmuan Islam juga merupakan saran kemana umat Islam mesti bergerak. Ketiga , secara lebih umum, pengilmuan Islam dapat dianggap sebagai suatu teori sosial mengenai gerak sejarah umat Islam. Di sinilah tampaknya kedua makna pengilmuan Islam bertemu: karakter ilmu sosial yang digagas Kunto tak sekadar berhenti sebagai ilmu (yang fungsi utamanya adalah menjelaskan fenomena/peristiwa), tapi punya ‘ambisi' melakukan transformasi.

Dalam sebuah tulisannya, Kuntowijoyo menyinggung tentang gagasan teologi transformatif yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman, dan ia mencoba memahami mengapa gagasan ini sulit diterima kebanyakan Muslim. (ISI, 88-91) Sebabnya, bagi mereka teologi adalah sesuatu yang sudah selesai—tak perlu ada teologi baru. Dengan pembahasan di paragraf sebelum ini, kita bisa memahami mengapa kemudian dalam kesempatan itu Kunto mengajukan “ilmu sosial profetik” sebagai alternatif bagi “teologi transformatif”. “Ilmu” bisa menjadi alternatif bagi “teologi” ketika keduanya dipahami secara lebih luas. Di satu pihak, teologi dipahami bukan sebagai sekumpulan doktrin tentang masalah-masalah ketuhanan saja, tapi juga keingina n menyikapi kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan (ISI, 89); dengan kata lain, teologi adalah juga cara menafsirkan realitas empiris, dan karenanya dinamis. Di pihak lain, ilmu dipahami sebagai tak bebas-nilai (tak berpihak), tapi mengandung aspirasi transformasi sosial dalam bentuk cita-cita profetik.

Pertanyaan berikutnya: apakah ketakbebasnilaian itu tak bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif (melakukan objektifikasi)? Satu penjelasan yang bisa diajukan adalah, ketika Kunto menyebut objektifitas, yang lebih ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam artian pengalaman publik yang bisa dipahami/diverifikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subjektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof kini lebih senang menggunakan istilah trans-subjektif. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas di antara komunitas keilmuan.

Sementara itu, keberpihakan (ketakbebasnilaian) adalah persoalan lain. Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern mengklaim bersifat bebas-nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan yang tersembunyi. Beberapa contoh yang bisa diberikan adalah ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi (neo-)liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal [5] ; ilmu mengenai sumber energi yang lebih dikembangkan ke teknologi tertentu (misalnya, energi fosil dan nuklir, sembari mengabaikan energi surya); dan sebagainya. (Contoh-contoh lain diberikan dalam ISI, 57) Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini, kalaupun pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya hanya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan Kuntowijoyo adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada akhirnya, ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya. (ISI, 57) Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia.

Sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa perbedaan pengilmuan Islam dengan islamisasi ilmu terletak dalam beberapa hal. Pertama , pengilmuan Islam lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua , islamisasi ilmu lebih bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan memberikan perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga , pengilmuan Islam (dalam wujudnya sebagai ilmu sosial profetik) lebih menekankan pada berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris itu.



Penutup

Kuntowijoyo adalah suatu sosok multidimensional—seorang ilmuwan sosial, sejarawan, dan sastrawan. Dengan mengangkat gagasan pengilmuan, ia ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.

Dengan ini kita bisa memahami “ambisi”-nya melakukan outreach ke sebanyak mungkin orang, tanpa mengenal batasan-batasan identitas. Perhatian utamanya adalah kemanusiaan, dan semua aktifitas, termasuk aktifitas beragama, mesti ditujukan untuk melayani kepentingan umat manusia. Tak mengherankan jika ia sempat menolak ajakan malaikat untuk terbang ke langit, seperti disampaikan oleh puisi yang menjadi motto seminar ini. Sebagaimana ditunjukkan Nabi Muhammad, hatinya ada bersama manusia yang hidup di dunia ini, khususnya kaum yang menderita. Salah satu kisah Nabi Muhammad yang tampaknya menjadi favoritnya dan kerap disampaikannya adalah kisah yang disampaikan penyair-filosof Muhammad Iqbal mengenai penolakan Nabi untuk tetap tinggal di langit dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Ia ingin kembali ke bumi untuk melaksanakan cita-cita profetiknya. Solidaritas kemanusiaan universal inilah kiranya yang menjadi pesan utama dakwah Kunto, dan yang sulit ditolak bahkan oleh kaum pasca-modernis yang mencurigai setiap klaim universalitas.



Daftar Rujukan Karya-karya Kuntowijoyo:



MSP: “Maklumat Sastra Profetik”, Horison , Mei 2005, 8-19

ISI: Islam Sebagai Ilmu , Jakarta : Teraju-Mizan, Juni 2004.

MTM: Muslim Tanpa Masjid , Bandung : Mizan, Februari 2001.

IPUI: Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan, Mei 1997.



[1] Disampaikan dalam diksusi tentang pemikiran Kuntowijoyo yang diadakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005, di UGM.

[2] Diungkapkan Kuntowijoyo dalam makalahnya untuk Seminar dan Lokarya IAIN Sunan Kalijaga, 18-19 September, 2002.

[3] Bahan terpenting untuk makalah ini adalah salah satu buku terakhirnya, Islam Sebagai Ilmu (Teraju, Juni 2004; selanjutnya disingkat ISI) Buku ini sebetulnya merupakan kumpulan tulisan dari bab-bab atau makalah-makalah yang sudah pernah diterbitkan di tempat lain. Meski demikian, ini sama sekali tak mengurangi nilainya. Benih-benih gagasan ini telah ada sejak tulisan-tulisan paling awalnya, dan tersebar di banyak tempat. Dengan menyatukannya dalam satu buku, gagasan ini mampu tampil dengan lebih utuh. Alasan lain penerbitan buku ini, seperti diakui penulisanya sendiri, adalah karena gagasan pengilmuan Islam yang digagasnya telah cukup sering dikacaukan dengan islamisasi ilmu yang memang cukup populer, tak hanya di Indonesia tapi di dunia Muslim umumnya, sejak sekitar dasawarsa 70-an.

[4] Kuntowijoyo membandingkan ini dengan gagasan Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”; substansinya mirip, tapi argumennya berbeda. (ISI, 73)

[5] Satu contoh untuk ini adalah gagasan ekonomi Pancasila yang dikembangkan Alm. Prof. Mubyarto. Secara singkat, ekonomi Pancasila adalah ekonomi rakyat; ekonomi yang meletakkan kesejahteraan rakyat, bukan pemilik modal, pada prioritas pertama. Keberpihakan kepada rakyat dalam hal ini adalah suatu nilai yang perlu diajukan tidak secara normatif, tapi dengan cara mengobjektifkannya: yaitu, meyakinkan orang lain secara argumentatif dan menggunakan data-data empiris bahwa ekonomi yang sehat harus meletakkan kepentingan rakyat pada prioritas pertama. Jadi, di sini ada pilihan etis, dan ekonomi, menurut ilmu profetik, tak seharusnya bersikap netral. Keinginan untuk netral seringkali justru berarti keberpihakan tersembunyi.



Makalah Dipresentasikan dalam Diskusi Sehari tentang Pemikiran Kuntowijoyo, Diselenggarakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005, di UGM.

0 komentar: