abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Rabu, 24 Maret 2010

Prahara Kuasa dan Tunakuasa

Diposting oleh abrar aziz

Abrar Aziz

Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah



Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolute cendrung menimbulkan korup yang absolute pula)

Ungkapan bangsawan Inggris, Lord Acton di atas sangat popular dalam kamus kekuasaan di Indonesia. Bukan saja karena ungkapan itu bertebaran di berbagai tulisan dan mimbar politik, tetapi juga kerena negeri ini mengerti betul bagaimana pahitnya diperintah oleh rezim dengan kekuasaan yang absolut. Tiga puluh tahun lamanya kita dipimpin oleh kekuasaan absolut yang menyebabkan korupsi absolut pula.

Akibat yang ditimbulkan dari rezim ini sangat jelas. Rakyat tidak diberi banyak pilihan kecuali mengikuti semua kebijakan penguasa tanpa bisa menyuarakan bahwa kebijakan tersebut sangat tidak berpihak kepada mereka. Rakyat dipaksa untuk membenarkan setiap tindakan penguasa meski kadang mereka tahu persis bahwa tindakan yang dianggap benar itu sebetulnya tidak benar. Bagi yang memiliki modal keberanian untuk menyampaikan keberatan-keberatan atas kebijakan rezim, tuduhan subversif berikut berbagai siksaan siap menanti.

Saat ini, sebelas tahun setelah rezim absolut itu runtuh, Indonesia masih belum keluar dari masa transisi. Kurun waktu yang sangat lama untuk sekedar masa transisi. Tentu saja masa transisi ini harus segera diakhiri untuk memulai Indonesia baru yang mandiri dan bermartabat.

Hasil Pilpres 2009

Pemilihan umum 2009 menempatkan Partai Demokrat sebagai pemenang dan pasangan SBY – Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dengan kemenangan yang nyaris sempurna. Dengan koalisi besar yang menguasai labih dari separoh kursi parlemen, pemerintahan ini diharapkan dapat menjadi pemerintahan yang kuat. Apalagi jika Partai Golkar benar-benar bergabung dengan Partai Demokrat, maka kekuatan SBY jelas tidak akan terbendung.

Inilah pangkal masalahnya. Jika logika Lord Acton diatas kita ikuti, maka yang terbentuk bukan pemerintahan yang kuat, tetapi pemerintahan yang absolut yang pada ahkirnya berujung pada korupsi yang absolut pula. Jika Partai Demokrat benar-benar membuka diri terhadap bergabungnya Partai Golkar, dan apalagi PDIP setelah pertemuan Boediono dengan Megawati beberapa waktu lalu, maka langit demokrasi Indonesia akan runtuh dan kita akan memulai perjalanan kembali ke masa lalu; kekuasaan tanpa kontrol.

Lihat saja perilaku politik rakyat Indonesia. Faktor utama yang mempengaruhi pilihan rakyat adalah figur dan citra. Bukan lagi visi dan jejak rekam para kandidat. Ini membuktikan bahwa kekuasaan sangat efektif digunakan sebagai media pencitraan. Beberapa survei menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat telah menentukan pilihan jauh-jauh hari sebelum kampanye dimulai. Karena citra positif berhasil dibangun oleh SBY dan timnya selama memegang puncak kekuasaan. Meski apa yang dicitrakan itu belum tentu benar sepenuhnya.

Jika hal ini tidak disikapi secara jernih, maka jalan menuju kekuasaan absolut sepertinya sudah mulai terbuka. Sudah selayaknyalah partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP, bahkan termasuk Hanura dan Gerindra, berani mengambil sikap oposisi sebagai upaya menjaga agar langit demokrasi kita tidak runtuh dan untuk mencegah kekuasaan absolut tersebut.

Beberapa kasus, meskipun ini tidak bisa dipastikan keterkaitannya, menunjukkan indikasi bahwa kita sudah mulai berjalan memutar waktu. Upaya sebagian kelompok untuk mengecilkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya. Sekali lagi, meskipun kita belum bisa memastikan keterkaitannya, namun upaya memperlemah posisi lembaga yang sudah memberi harapan besar kepada kita untuk memberantas prektek korupsi ini secara sistematis nampaknya mulai dilakukan.

Sejak mencuatnya kasus ketua KPK non-aktif Antasari Azhar, KPK pun mulai digerogoti oleh beberapa kelompok. Bahkan sempat tersiar kabar bahwa beberapa anggota komisioner juga akan diperkarakan di pengadilan. Belum jelas betul siapa atau kelompok mana yang berada di balik upaya mengkerdilkan peran KPK ini. Namun yang jelas kelompok ini sangat bernafsu menghalangi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Dan itu jelas merupakan mental koruptor absolut seperti yang pernah terjadi selama puluhan tahun.

Indikasi lainnya adalah disiapkannya Rancangan Undang Undang (RUU) Rahasia Negara. Agak mengherankan memang sikap pemerintah yang bersikeras mengesahkan RUU ini secepatnya. RUU ini berupaya keras untuk mempersempit akses publik terhadap penyelenggara negara dan birokrasi. Prinsip kerahasiaan dalam RUU ini memiliki cakupan sangat luas sampai ke aspek birokrasi. Dan parahnya lagi, RUU ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada birokrasi untuk menentukan mana yang merupakan rahasia negara dan mana yang bukan. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan sangat mungkin bagi seorang pejabat birokrasi untuk melindungi diri atau koleganya dari jeratan hukum jika mereka melakukan korupsi. Karena mereka memiliki kewenangan untuk menentukan sesuatu sebagai rahasia negara.

Prahara Tunakuasa

Kekuasaan absolut memiliki kekuatan untuk meyakinkan rakyat terhadap kebijakan yang diambilnya. Dengan penguasaan media secara massif dan sistematis, rakyat dipaksa percaya kepada penguasa. Rakyat tidak memiliki pilihan lain kecuali percaya bahwa apa yang dilakukan sang penguasa adalah benar. Kondisi tidak punya banyak pilihan kecuali meyakini kebenaran penguasa inilah yang disebut tunakuasa.

Istilah tunakuasa pertama kali penulis temukan dalam tulisan Amien Rais (1999). Yaitu suatu keadaan dimana rakyat tidak memiliki akses terhadap pengambilan kebijakan. Meskipun sebenarnya mereka sadar bahwa ini adalah kondisi yang tidak layak. Namun ketiadaan akses terhadap pengambilan kebijakan serta kemampuan penguasa meyakinkan mereka bahwa setiap kebijakan yang diambil adalah sesuatu yang benar dan harus didukung membuat kelompok tunakuasa harus menerima kondisi tersebut.

Sebagaimana kekuasaan absolut merupakan musuh bebuyutan demokrasi, tunakuasa juga membawa kemudaratan yang sangat besar. Demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah akan runtuh seiring terbatasnya ruang berpendapat dan akses terhadap pusat-pusat penyelenggaraan negara. Padahal kebebasan berpendapat dan terbukanya akses terhadap pemerintahan adalah tiang utama demokrasi.

Untuk itu, langkah para elit bangsa ini sangat menentukan arah perjalanan kita nantinya. Apakah kita akan terus maju dengan memparkuat demokrasi. Atau kita harus berjalan mundur dengan menebas satu persatu pilar demokrasi. Kearifan dan kejernihan hati para politisi mutlak dibutuhkan agar kita tidak memutar arah jarum jam. Karena negara ini adalah milik seluruh bangsa Indonesia, maka partisipasi rakyat dalam setiap kebijakan harus terus menerus ditingkatkan sebagai wujud penguatan pilar-pilar demokrasi.

0 komentar: