abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Sabtu, 11 Mei 2013

Paradoks Dunia Laksmi

Diposting oleh abrar aziz

Aku ingin berbagi kisah denganmu, teman. Kisah semasa aku di Jakarta dulu. Seperti yang mungkin kau mafhum, Jakarta tak pernah tidur. Jika di waktu siang hiruk pikuk kemacetan menjadi detak jantung ibukota, maka di malam hari musiklah detak jantungnya. Kau penikmat musik, bukan? cobalah berkeliling Jakarta di malam hari. Setiap sudut kota ini akan memanjakan telingamu dengan berbagai alunan musik. Kalau kau penikmat musik dangdut dan kebetulan sedang tidak memegang banyak uang, kau bisa minum teh di pinggiran jalan Prumpung, Jatinegara. Suguhan dangdut jalanan akan membuatmu sulit menghentikan goyangan. Tapi hati-hati, disana banyak laki-laki berwujud wanita seksi yang akan menggoda imanmu. Kalau punya uang agak lebih, sebuah café kecil di pinggiran Manggarai bisa jadi pilihan. Dari café inilah cerita akan ku mulai. Sebut saja namanya Laksmi. Jika kau ingin menemuinya kau bisa berjalan kaki dari halte Busway Halimun kira-kira seratus meter ke arah selatan. Di sebelah kiri jalan, sebuah café kecil dengan lampu temaram berkedap kedip akan menyambutmu. Disinilah Laksmi bekerja. Tugasnya adalah menemani para tamu untuk sekedar minum atau bercengkrama. Atau jika ingin penghasilan yang lebih besar, layanan lebihpun harus siap diberikan. Usianya dua puluh enam tahun. Menikah di usia tujuh belas tahun dan bercerai di usia dua puluh tahun dengan satu anak laki-laki. Kondisi inilah yang membawa Laksmi meninggalkan kampungnya, Cianjur, dan mencari hidup sendirian di Jakarta. Sementara si buah hati diasuh oleh neneknya. Dan di café ini laksmi berjuang menafkahi putra tercinta. “Aku hanya menginginkan anakku menjadi anak yang pintar dan sholeh”. Ucapnya sambil memandangi temaram lampu. Di sela jarinya terselip sebatang rokok yang hampir habis. Sebuah gelas besar berdampingan dengan botol bir hitam selalu setia menemaninya. Setelah mengisap rokoknya sedalam yang dia sanggup, menghembuskan asapnya sekuat yang dia bisa, Laksmi kembali bercerita. “Jika ada kerjaan yang lebih baik tentu aku tak akan mau kerja disini. Setiap hari aku berdoa agar Tuhan memberi jalan yang lain. Tapi sampai saat ini hanya inilah pilihan yang ku punya. Sepertinya hanya jalan ini yang disediakan Tuhan untukku. Ya, aku terima saja pilihan-Nya ini”. Sulit ditebak rona wajah datar itu. Bagi Laksmi, hidup adalah perjuangan membesarkan anaknya. Dia sedari awal telah menyadari betapa besar resiko yang harus dihadapi dengan pekerjaan ini. Sebagai remaja yang lahir dan besar di tengah lingkungan yang religius, Laksmi mengerti betul ancaman siksaan akibat perbuatannya. Tapi dia rela membayar semahal itu demi membesarkan anaknya. “Biarlah aku yang dipanggang di neraka asalkan anakku bisa menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi agama”. Kalimat itu meluncur tanpa beban dari bibir tipisnya. Menjelang subuh, Laksmi pulang ke kontrakan kumuhnya dekat stasiun Manggarai dan tidak pernah lupa sholat subuh sebelum tidur. Bukan hanya subuh, sholat lainpun ternyata tak pernah ia tinggalkan. Kiriman uang untuk biaya sekolah anak tak pernah telat setiap bulan. Dari hasil “jasa kenikmatan” itulah anaknya sekolah, belajar mengaji, membeli al Quran, pakaian muslim dan buku-buku agama. Dengan bangga dia memperlihatkan foto anaknya. Seorang bocah sekitar delapan tahun berpakaian muslim lengkap dengan peci haji bergaya seadaanya. Putra kebanggaanya. Inilah dunia Laksmi, dunia yang tak pernah bisa kupahami. Pahamkah kau dunia apa yang sedang ditinggali Laksmi ini, teman? Setidaknya uang dua ratus ribu rupiah harus kau sediakan jika ingin berbincang dengan Laksmi. Ingat, hanya berbincang. Seratus ribu untuk membayar bir hitam dan rokonya, seratus ribu untuk nafkah anaknya. Tapi jika kau ingin lebih dari sekedar berbincang, kantongmu harus kau keruk lebih dalam. Ada banyak wanita seperti Laksmi di Jakarta. Perkiraanku ribuan jumlahnya. Mulai dari yang bertarif lima puluh ribu di pinggiran rel kereta Jatinegara, persis di depan LP Cipinang, atau di pinggir jalan Hayam Wuruk, ada juga di pinggir gerbang tol Kemayoran, sampai yang kelas menengah di tempat-tempat hiburan kawasan Gajah Mada atau Glodok Plaza, bahkan yang bertarif jutaan di hotel-hotel berbintang lima. Perjalananku di lanjutkan ke Utara Jakarta, tepatnya beberapa puluh meter dari Mangga Dua TownSquere. Sebelah kanan dari arah Pasar Senen. Tempatnya sangat mudah di temukan. Sebuah bangungan berlantai empat dengan empat tiang besar gaya Yunani kuno. Terlihat sepi jika kau lihat dari luar. Tapi jika kau masuk pada jam sepuluh malam sampai jam dua dini hari, suasananya ku jamin berbeda. Disana kau bias bertemu Diana. Usianya jauh lebih muda dari Lakmsi, sembilan belas tahun. Postur tubuhnya yang relatif pendek dengan rambut sebahu mempertegas usia remajanya. Tapi jika kau ingin masuk ke gedung ini persiapanmu harus lebih baik. Orang pakai sandal dilarang masuk. Pakailah sepatu. Kau harus registrasi dulu di lantai satu sebelum melanjutkan ke lantai dua, bar, ruang full musik. Sebuah raungan besar dikelililingi sofa berwarna merah. Dengan lampu kedap kedip, hentakan musik diiringi empat wanita muda yang menari meliuk-liuk di tengah ruangan akan memacu degup jantungmu. Semua minuman dan layanan lainnya akan dipesan melalui sebuah kartu pesanan yang kau terima saat registrasi tadi. Begitupun jika kau ingin bertemu Diana, kau harus memesanya dengan kartu itu. Jika kau bisa berbincang dengan Laksmi sampai subuh hanya dengan dua ratus ribu rupiah, maka kau harus merogoh kocek tiga ratus ribu rupiah agar dapat bertemu Diana untuk waktu dua jam. Itu belum termasuk minuman dan rokok. Kira-kira lima ratus ribu rupiah yang harus kau siapkan untuk sekali kunjungan. Diana adalah wanita cantik asal Subang, Jawa Barat. Sebagaimana Lakmsi, nikah di usia sangat muda dan bercerai dengan satu anak membuat dia rela menempuh perjalanan delapan jam menuju Jakarta. Anak perempuannya berusia dua tahun. Terlihat sangat cantik, seperti ibunya. Foto gadis mungil itu diperlihatkan padaku melalui BlackBarry Gemini putih miliknya. Awalnya dia tertarik ke Jakarta saat diajak temannya untuk menjadi pembantu. Ayahnya mengizinkan. “Yang penting pekerjaannya halal. Dapat uang sedikit tidak apa-apa”. Ucapnya menirukan kata-kata sang ayah. Tapi kenyataan sungguh berlainan. Panjang ceritanya hingga dia berakhir disini. Meski kepada orang tua di kampung Diana tetap mengaku bekerja ebagai pembantu. Saat ramai Diana bisa menemani sampai tiga orang tamu. Dengan deretan kamar yang tersedia di lantai tiga dan empat gedung itu, Diana bukan hanya bercengkrama di ruangan bar yang luas nan ramai, tetapi pada jam berikutnya harus menemani sang tamu ke dalam kamar mewah. Bayangkan kawan, dia bisa melayani tiga lelaki dalam satu malam. Itulah malam penuh kontradiksi dalam hidupnya. Satu sisi dia merasa jijik harus melayani para lelaki pendosa itu, di sisi lain dia bisa tersenyum karena lima ratus hingga delapan ratus ribu rupiah dapat dibawa pulang. Uang itu cukup untuk membeli banyak keperluan anak kesayangannya. Tapi jika malam sepi dan dia tidak mendapat satu orang tamupun, kontradiskipun kembali menghampirinya. Dia bersyukur tidak harus meladeni birahi para pendosa, tapi pulang dengan kecewa karena tak ada sepeser uangpun yang dia peroleh. Di akhir perbincangan kami, Diana masih antusias dengan harapannya untuk pekerjaan yang lebih baik. Tak seberapa jauh dari tempat Diana bekerja, ada sebuah hotel yang baru berdiri. Persis beberapa meter di belakang Hotel Sheraton. Dua kilometer sebelum gerbang Ancol. Di sana bekerja seorang wanita belia bernama Syerly. Tugasnya adalah memijat para tamu yang kesemuanya lelaki. “Tapi aku tak pernah benar-benar memijat mereka, aku kan ga bisa mijat. Jadi kubiarkan saja mereka yang memijatku, hahaha”. Aku tak percaya semua lara itu mampu diceritakannya dengan terawa. Meski tawa itu sama sekali tak menyembunyikan perih di hatinya. Beberapa pengunjung warung pinggir jalan tempat kami berbincangpun melihat Syerly dengan tatapan aneh. Mungkin mereka tau apa pekerjaan perempuan delapan belas tahun asal Parung, Bogor itu. Tempat kerja Sherly persis di seberang warung. Semua pertemuan itu terjadi lebih dari dua tahun lalu. Laksmi sudah kembali ke kampung halamannya dan bekerja di sebuah pabrik kecil. Aku tak tau kabar Diana, semoga dia sudah kembali ke Subang dan membesarkan gadis mungil kesayangannya. Sekarang usia anaknya sudah empat tahun. Pasti sangat cantik. Syerly entah ada dimana. Pertemuan di warung makan itu adalah pertama dan terakhir bagiku. Aku berdoa untuk wanita-wanita luar biasa ini. Aku ingat kisah seorang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi makan seekor anjing yang kesakitan. Mereka harusnya mendapat tempat yang lebih mulia karena perjuangan mereka. Kuceritakan semua ini kepadamu, kawan. Agar kau melihat mereka tidak seperti sebagian orang melihat mereka. Mereka tampak seperti najis bagi orang-orang yang merasa pantas menilai orang lain. Di mata orang-orang “suci” ini, Laksmi dan teman-temannya adalah sampah masyarakat, pezina yang harus dirajam, atau wanita murahan. Kuharap kau tak demikian kawan. Laksmi lebih baik dari manusia-manusia “suci” itu. Pantai Gandoriah Pariaman, 14 Maret 2013. 10.40 WIP.

0 komentar: