abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Sabtu, 11 Mei 2013

Siapa yang Membunuh Tuhan?

Diposting oleh abrar aziz

Dulu semasa kuliah, saya berlangganan di sebuah toko buku murah dan bisa ngutang bernama Gerak Gerik. Lokasinya di pinggir jalan Pesanggerahan persis sebelah kanan kampus UIN Jakarta. Entah sekarang toko buku itu masih ada atau tidak. Suatu hari saya menemukan buku dengan judul yang sangat provokatif. Saya lupa persis redaksi judulnya, mungkin Para Pembunuh Tuhan atau redaksi lain yang semakna. Sekarang buku itu sudah hilang entah kemana. Bagi teman yang masih menyimpan sudilah kiranya berbaik hati meminjamkan saya :). Tidak banyak yang bisa saya ingat dari buku tersebut. Yang jelas, beberapa orang telah mendeklarasikan “kematian Tuhan”. Friedrich Nietzsche adalah salah satu tokoh yang ikut dalam “deklarasi” ini. Kalau tidak salah tokoh-tokoh seperti Agustin Comte, Sigmund Freud, dan Karl Marx juga masuk rombongan. Membicarakan gagasan-gagasan orang-orang ini akan menimbulkan kerumitan tersendiri. Jadi mari kita tinggalkan mereka. Yang ingin saya urai adalah; benarkah Tuhan telah mati? kalau benar, siapa yang membunuh-Nya? Nietzsche mengatakan ; “Tuhan sudah mati… Dan kita telah membunuh-Nya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri?”. Kata “mati” atau “membunuh” pastilah tidak bermakna harfiah. Mungkin yang dia maksud adalah bahwa gagasan tentang Tuhan sudah tidak lagi mampu menjadi landasan dalam kehidupan manusia. Kata “kematian Tuhan” adalah sebuah cara untuk menyampaikan kepada manusia bahwa agama sudah tidak lagi menjadi dasar perilaku dan moral. Agama menggantung jauh di langit sementara manusia asik bekerja dan berbuat semaunya di bumi. Jika makna ini yang dimaksud Nietzsche, Cs., maka saya bersedia ikut gerombolan orang-orang ini. Tidak ada perang yang lebih mengerikan selain perang atas nama Tuhan. Perang ini sudah berlangusng berabad-abad. Di era modern ini kita tiap hari mendengar satu kelompok, atas nama Tuhan, merasa berhak membunuh kelompok lain. Para “tentara Tuhan” ini berkeliaran dimana-mana seolah-olah mereka mendapat mandat dari Tuhan untuk membunuh siapapun yang dianggap musuh-Nya. Tuhan yang sebenarnya Maha Lembut dan Penyayang mereka “bunuh” untuk kemudian menciptakan tuhan imajiner dalam ilusi mereka; tuhan yang haus darah. Setiap melancarkan aksinya, orang-orang ini berteriak menyebut kebesaran Tuhan, tapi di hatinya terpendam sifat yang bertolak berlakang dengan sifat Tuhan; kebencian, dendam, keangkuhan, dan penghinaan terhadap ke-Maha Kasih-an Tuhan. Maka saya memilih untuk menempatkan orang seperti ini dalam kategori Pembunuh Tuhan. Kategori Pembunuh Tuhan yang lain adalah; mereka yang hanya menempatkan Tuhan dalam pikirannya tapi membuang Tuhan dari hatinya. Sebagian kita gemar menghafal nama-nama, sifat-sifat, dan pujian-pujian terhadap Tuhan. Tapi kita tidak pernah benar-benar menghadirkan-Nya dalam kehidupan. Di Negara-negara Islam, atau berpenduduk mayoritas Islam, sebagaimana Indonesia, korupsi justru merajalela. Bahkan di Indoensia departemen yang mengurusi urusan Agama mendapat julukan departemen terkorup. Sebagian mereka adalah para ustadz, mubaligh, ulama, atau cendekiawan. Tentulah mereka menghafal firman-firman Tuhan jauh lebih banyak. Inilah yang saya maksud dengan menciptakan Tuhan dalam hafalan namun membunuh-Nya dalam kehidupan. Orang yang secara kasat mata terlihat paling rajin beribadah justru menunjukkan sifat-sifat jauh dari Tuhan. Dalam Islam, para ahli tasawuf mengkritk cara hidup yang hanya menempatkan Allah pada hafalan semata. Ibn `Arabi menyebutnya dengan al haq al makhluk fil i`tiqad atau “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan”. Mestinya, menurut ahli tasawuf, Allah tidak hanya didefenisikan dalam sifat-sifat, tetapi harus dirasakan kehadiran-Nya. Saya jadi ingat cerita pendek populer karya Ali Akbar Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami. Dalam cerpen itu, Haji Saleh, yang semasa hidupnya menjadi orang yang paling rajin beribadah ternyata di akhirat mendapat tempat paling rendah dalam neraka. Di kerak neraka. Haji Saleh dalam cerita ini mewakili tipologi manusia yang menciptakan Tuhan dalam imajinasinya tapi membunuh Tuhan dalam hatinya. Terakhir. Kata “kematian Tuhan” juga ingin memberi petunjuk pada sebuah fenomena; agama sudah tidak penting lagi bagi sebagian manusia modern. Di lingkungan anda, berapa persen orang yang menjalani hidupnya berdasarkan norma agama? Berapa banyak anak-anak muda yang berlatar belakang pendidikan agama kemudian terjebak pembunuhan, pencurian, atau narkoba? Dimana mereka meletakkan Tuhan yang mereka pelajari? Pergilah ke tempat-tempat pelacuran. Tanyakan kepada wanita-wanita malang itu, tentu yang beragama Islam, apakah mereka bisa baca al Quran? Sebagian akan menjawab; Bisa!. Sebagian mereka bahkan tetap melaksanakan sholat dan puasa. Lalu dimana mereka menempatkan Tuhan?. Berapa banyak wanita-wanita yang rajin ke gereja tapi melakukan aborsi? Dimana mereka menempatkan Tuhannya?. Dan saya, anda, kita semua harus kembali bertanya; dimana kita telah menempatkan Tuhan? Sudahkah kita menempatkan-Nya dalam posisi yang seharusnya? Ataukah kita telah membunuh-Nya? Wallahu a`lam bisshowab. Simpang Basoka Kurai Taji, Pariaman Selatan. Sabtu, 3 Nopember 2012. 02.43 WIB.

0 komentar: