abrar aziz

"Jadilah orang yang benar-benar hidup, bukan sekedar bernafas ..."

Sabtu, 11 Mei 2013

Pariamanku Kini

Diposting oleh abrar aziz

Disini aku lahir, disini aku besar, disini aku merasa bodoh,,, (Iwan Fals – Kotaku) Inilah kampungku, kawan. Pariaman. Sepuluh tahun lalu aku pergi meninggalkannya. Rupanya rentang waktu itu terlalu singkat untuk sebuah perubahan. Dulu, kampungku ini merupakan pelabuhan penting dalam rute dagang internasional. Sejak abad ke 15, pelabuhan Pariaman sudah dikenal oleh bangsa asing sebagai pelabuhan strategis. Catatan tertua tentang kampungku ini ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Kapal – kapal dari Gujarat setiap tahun singgah di Pariaman membawa kain untuk dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda. 21 November 1600, untuk pertama kalinya bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman, dengan dua buah kapal di bawah pimpinan Paulus van Cardeen. Tahun 1686 orang Pariaman memulai hubungan perdagangan dengan Inggris dan begitulah sampai kemudian pemerintah Hindia Belanda memusatkan semua kegiatan di Padang dengan dibukanya rute kereta api dari Padang ke Pariaman. Maka lama kelamaan pamor Pariaman memudar dan hilang sama sekali dalam panggung sejarah Minangkabau. Satu lagi, Kawan. Dan ini sangat penting. Kampungku yang berada di pesisir barat Minangkabau ini adalah pusat penyebaran agama Islam. Konon, kata Pariaman berasal dari kata “Paria”, yaitu sebuah kasta Muslim di India dan kata “Man” yang berarti laki-laki. Aku tidak tau kebenaran cerita itu. Tapi yang pasti, jika kawan berkunjung ke makam Syeikh Burhanuddin, penyebar Islam di Minangkabau, kawan akan menemukan fakta bahwa dari kampung kecilku inilah Islam diajarkan ke santero Minangkabau. Hingga kemudian terjadilah kesepakatan antara Syeikh Burhanuddin dengan Kerajaan Pagaruyung di Bukit Marapalam tahun 1668 yang melahirkan postulat Minangkabau nan terkenal itu ; Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Itulah kampungku kawan. Kampung yang dahulunya sangat religius bahkan menjadi pusat penyebaran Islam. Kenapa aku katakan dahulunya? Itulah yang ingin ku curahkan padamu. Waktu tentu tidak berhenti disini, dia terus berjalan melanjutkan detak zaman hingga akhirnya Allah benar-benar menghentikannya. Dua puluh tahun yang lalu. Ketika aku setiap pagi berangkat ke Sekolah Dasar, siangnya kami mengaji ke Sekolah Mengaji, dan malamnya kami mengaji lagi ke Surau. Itulah rutinitasku di masa kecil. Aku bersyukur karenanya. Setiap hari minggu aku dan teman-teman dengan riang gembira membersihkan Surau di kampung kami mulai dari pekarangan Surau hingga ke kuburan di belakang Surau. Itulah kami, anak-anak kampung yang di besarkan oleh Surau. Bahkan tidurpun kami jarang sekali di rumah. Lebih banyak tidur di Surau. Makanya kau jangan terlalu heran, kawan. Bagaimana mungkin aku dengan tampang berantakan tak terurus begini bisa juga sedikit-sedikit memberi ceramah layaknya seorang ustad? Itu adalah sisa-sisa didikan masa laluku, yang harus ku akui sekarang sudah banyak terlupa daripada yang teringat. Tapi tak apalah. Tetap saja harus disukuri. Jakarta memang membuat insting kebaikan menjadi tumpul, insting maksiatlah yang meruncing. Soal ini, tentu kau sudah paham, kawan. Tak perlu ku ceritakan. Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku meninggalkan kampungku ini, aroma religiusitas masih terasa. Sebelum berangkat ke Jakarta dan bertemu denganmu, aku adalah seorang guru mengaji. Eh, kau jangan kaget, kawan. Aku memang guru mengaji. Tapi itu dulu. Sebelum kau dan kotamu itu menghilangkan banyak hafalan al Quranku. Dan kini. Sepuluh tahun kemudian. Kampungku ini sudah mulai berubah, bahkan sangat berubah. Kampungku ini sudah tidak sudi lagi disebut kampung. Maunya dipanggil kota. Tapi bagiku dia tetap kampung. Meskipun dia tidak rela kupanggil demikian. Memang, sudah tidak ada lagi yang membedakan kampungku ini dengan Jakarta kecuali tugu monas dan gedung-gedung tingginya. Soal gaya hidup, kau jangan tanya kawan. Lebih metropolis, atau tepatnya lebih norak dari Jakarta. Anak-anak sekolah juga sudah menggunakan kata “loe gue” sebagai instrument komunikasi sehari-hari. Model kehidupan religius yang pernah kutemui dua puluh tahun yang lalu sudah punah, tak bersisa. Perempuan minang yang dikenal sopan dan anggun sudah jarang. Mereka digantikan gadis-gadis bernasib malang yang dikalahkan oleh obsesi mereka tentang Jakarta. Saban hari mereka mondar mandir di pinggir pantai dengan pamer paha dan dada kemana-mana. Bagiku pemandangan seperti ini biasa saja. di Jakarta ini adalah keseharianku. Tapi disini, di kampung ini, ini adalah pemandangan yang lucu. Aku kadang-kadang tertawa geli menyaksikan ulah anak-anak yang hampir tak mengenali dirinya ini. Mereka benar-benar tidak berdaya melawan arus globalisasi yang melanda bak tsunami. Mungkin zamanlah yang patut disalahkan. Dia berjalan terlalu cepat tanpa mampu dikejar oleh akal anak-anak ini. Dalam kemaksiatan kampungku ini tak mau ketinggalan dengan Jakarta. Mulai dari geng motor, narkoba, hingga prostitusi terselubungpun sudah ada di kampungku. Hebat bukan? Meskipun jumlahnya tentu tak sampai dua atau tiga. Ada lagi isu yang sama sekali tidak pernah ku dengar di masa kecilku, yaitu korupsi pejabat daerah. Sebenarnya soal korupsi ini aku tidak kaget. Di Negara ini mana ada daerah yang tidak ada kurupsinya. Desentralisasi kebijakan pasti akan menghasilkan desentralisasi korupsi pula. Itu hukum alamnya barangkali. Satu-satunya yang membuatku agak terhibur adalah jumlah Masjid dan Surau yang terus bertambah. Setiap satu desa rata-rata memiliki dua atau tiga masjid dan surau. Tapi jangan kau tanya soal aktifitasnya. Aku malu menjawabnya. Ingin rasanya aku meruntuhkan Surau-Surau tak berpenghuni itu. Sekarang, disinilah aku berdiri. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Memperbaiki? Memperbaiki apa? Atau mungkin memang seharusnya begini. Aku saja yang terlalu bodoh untuk memahami. Aku pernah mengutuk Jakarta sebagai keraknya neraka. Tapi kini, di kampung nyala api neraka sudah mulai berkobar. Entah siapa yang akan memadamkan. Aku tidak tau. Kurai Taji, Pariaman, 17 12 2012, 16.22 WIP

1 komentar:

valentinewagster mengatakan...

Blackjack 101 Casino - Mapyro
The Best 성남 출장마사지 Blackjack 화성 출장샵 Casinos. Blackjack is one of the most popular games on 문경 출장안마 the casino floor in New Jersey. Blackjack is a 군산 출장마사지 variation on 경산 출장마사지 American roulette